Topswara.com -- Ada ribuan desa di negeri ini yang ternyata belum teraliri listrik. Menjadi miris karena di saat semua serba digital, listrik masih belum merata dirasakan semua. Jangankan dapat mengakses internet, listrik untuk penerangan saja tidak ada.
Sebagaimana yang dilansir dari kompas.com (1-12-2024), Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto mengungkapkan bahwa sekitar 3.000 desa di Indonesia belum punya listrik. Hal ini menurutnya akan memberi dampak yang signifikan pada sektor pendidikan, pertumbuhan ekonomi, dan kesehatan masyarakat.
Listrik Belum Merata
Di tengah kemajuan zaman dan teknologi seperti sekarang, ternyata masih ada daerah yang belum tersentuh listrik. Banyak rakyat negeri ini yang belum merasakan manfaat listrik.
Mereka tentu saja mengalami banyak ketertinggalan dibanding wilayah lainnya. Mereka kesulitan mengakses informasi yang saat ini serba digital. Komunikasi pun menjadi terbatas, padahal semua melalui jaringan internet.
Anak-anak juga sulit belajar di malam hari karena tidak adanya lampu yang menyala. Keberadaan listrik nyatanya berperan penting pada kehidupan seperti sektor pendidikan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat.
Ketiadaan listrik di sebagian wilayah Indonesia menunjukkan belum meratanya fasilitas. Puluhan tahun merdeka, Indonesia masih belum mampu memeratakan fasilitas publik untuk seluruh rakyat.
Pada saat daerah perkotaan menyala dengan lampu-lampunya, banyak daerah pelosok yang masih di dalam kegelapan. Lalu, saat penduduk di kota-kota besar mendapatkan kemudahan akses informasi dan transportasi, orang-orang yang berada nun jauh di pedalaman harus berjalan kaki hingga puluhan kilometer untuk menjangkau satu sama lain. Ketimpangan jelas di depan mata.
Salah Pengelolaan
Pemerataan fasilitas yang masih menjadi masalah di negeri ini sejatinya bersumber dari tata kelola yang dijalankan. Secara sumber daya, baik alam dan manusia, negeri ini cukup, bahkan melimpah. Kita punya sumber daya alam yang dapat diolah menjadi listrik. Kita juga punya sumber daya manusia yang mampu untuk mengolah SDA. Namun, kenapa listrik belum bisa merata ke seluruh wilayah Indonesia?
Jawabannya ada pada pengelolaan yang salah dan ini berkaitan dengan sistem. Saat ini, kapitalisme liberal menjadi sistem yang dijalankan oleh negara. Sistem ini memberikan kebebasan kepemilikan kepada pemilik modal untuk menguasai SDA yang merupakan hajat hidup rakyat banyak. Akibatnya, SDA tidak dapat memberi manfaat bagi seluruh rakyat, melainkan dikuasai oleh segelintir orang saja.
Listrik merupakan hajat hidup orang banyak sehingga harusnya dikelola untuk kepentingan bersama. Namun, negara membiarkan swasta mengelola listrik yang menjadi kebutuhan rakyat. Negara bahkan menyerahkan sebagian wewenang pengelolaan listrik kepada pihak swasta.
Hal ini terlihat pada UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan yang menyebut bahwa penyediaan listrik dilakukan oleh negara, tetapi badan swasta atau asing tetap bisa berperan sebagai pihak penyedia energi listrik.
Tentu saja, dengan mindset bisnisnya, swasta mengelola listrik demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Tanpa memedulikan rakyat, swasta menerapkan harga yang tidak ramah untuk kantong. Rakyat baru dapat menikmati listrik setelah membayar mahal biayanya.
Inilah kesalahan dalam mengelola listrik sebagai hajat hidup bersama. Pengelolaan listrik dalam kerangka liberalisme telah dilegalkan negara dalam berbagai peraturan dan undang-undang. Kebijakan ini cenderung menguntungkan swasta pemilik modal ketimbang mengutamakan kepentingan rakyat. Negara jelas lepas tangan dalam penyediaan listrik yang menjadi kebutuhan rakyat.
Cara Islam Mengelola Listrik
Hal semacam itu tidak akan ada dalam sistem Islam. Negara yang menerapkan sistem Islam memiliki visi riayah syu’unil ummah atau mengurusi urusan umat. Negara menjadi pelayan rakyat. Tanggung jawab untuk mengurusi urusan rakyat ada pada negara sebagaimana sabda Rasulullah: “Pemimpin adalah laksana penggembala dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Dalam sistem Islam, negara akan melaksanakan amanah pengurusan rakyat dengan sungguh-sungguh karena menyadari bahwa kelak hal itu akan dimintai pertanggungjawaban. Negara tidak akan menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain.
Dalam pandangan syariat Islam, listrik merupakan sumber daya energi yang menjadi milik umum. Listrik seperti api yang dalam syariat Islam merupakan salah satu barang yang menjadi hajat hidup orang banyak sebagaimana sabda Rasulullah: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Sebagai kepemilikan umum, listrik wajib dikelola oleh negara. Negara tidak akan memberi peluang kepada swasta untuk mengelola hajat hidup orang banyak ini. Negara juga akan menutup segala celah yang dapat membuat swasta, apalagi asing, untuk menguasai SDA milik rakyat.
Dengan menjalankan pengelolaan listrik menurut syariat Islam, seluruh rakyat akan mendapatkan manfaat darinya. Listrik yang juga menjadi fasilitas publik akan disediakan oleh negara secara merata. Ketika suatu wilayah membutuhkan listrik, maka wajib bagi negara untuk menyelenggarakannya segera tanpa menunggu lama.
Dana untuk menyelenggarakan fasilitas publik ini diambil dari kas negara, yakni Baitulmal. Sumber dana dari Baitulmal juga banyak sehingga dapat mencukupi seluruh penyelenggaraan urusan rakyat. Dengan demikiann, tidak ada ketimpangan dalam urusan fasilitas publik. Semua dapat merasakan manfaat dari fasilitas publik yang dibangun negara untuk kemaslahatan bersama.
Kondisi semacam ini hanya akan terwujud bila Islam benar-benar dijalankan secara menyeluruh. Negara hanya menerapkan Islam sebagai sistemnya sehingga setiap aspek kehidupan manusia dapat terselenggara secara makruf dan mendatangkan maslahat.
Wallahu a’lam bishshawwab
Oleh: Nurcahyani
Aktivis Muslimah
0 Komentar