Topswara.com -- Berita korupsi tidak ada habisnya. Baru-baru ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bandung menetapkan 3 tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Susun (Rusun) di Kecamatan Ranca Ekek dan Solokan Jeruk yang merugikan negara sebesar RP 7,2 Milyar. (detikjabar.com 10/12/2024)
Donny Haryono Setyawan, selaku Kepala Kejari Kabupaten Bandung mengungkapkan, dari 3 tersangka, 2 tersangka merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian PUPR dan 1 orang lagi sebagai kontraktor.
Di awal masa jabatannya, seluruh presiden berkomitmen memberantas korupsi, termasuk Presiden Prabowo. Pada pidato perdananya, ia menyampaikan bahwa terlalu banyak kebocoran penyelewengan korupsi di negara ini. Dampaknya akan sangat membahayakan masa depan kita dan anak cucu. Ia pun berkomitmen untuk mengurangi korupsi secara signifikan.
Merespons pernyataan Bapak Presiden, muncul pertanyaan, mampukah Bapak Presiden mengurangi korupsi secara signifikan? Mengingat korupsi hari ini bukan hanya oleh oknum pejabat ataupun pengusaha, tapi sudah merambah ke berbagai lembaga, mulai Eksekutif, Legislatif, bahkan Yudikatif.
Yudikatif, yang seharusnya merupakan lembaga tempat masyarakat mencari keadilan, yang dipertontonkan malah seolah sedang memperjualbelikan keadilan. Para hakim yang seharusnya menegakkan keadilan, juga terseret korupsi atau suap menyuap. Maka wajar kepercayaan publik kian tergerus.
Selain itu sejumlah menteri di Kabinet Merah Putih 2024-2029 diperkirakan tersandung kasus korupsi meski belum terbukti. Apalagi kalau berbicara lembaga Legislatif. Sudah banyak anggota Legislatif baik di tingkat daerah maupun pusat yang terjerat korupsi.
Korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, walaupun jumlah nominal yang dikorupsi fantastis. Faktanya regulasi yang dibuat membolehkan mantan koruptor mencalonkan dirinya kembali menjadi anggota legislatif, jika urusan hukumnya sudah selesai dalam jangka waktu tertentu sesuai undang-undang. Keseriusan pemberantasan korupsi makin diragukan.
Mengapa kasus korupsi sulit diatasi? Jawabannya karena sistem kehidupan yang diberlakukan saat ini adalah kapitalisme sekular. Kapitalisme yang memaknai bahagia dengan banyaknya materi tidak bisa menghilangkan keinginan terus menumpuk harta.
Sedangkan sekularisme yang menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan telah menjadikan manusia hidup tidak berlandaskan agama sekalipun muslim, kecuali pada ranah tertentu seperti ibadah. Sedangkan dalam interaksi sesama tidak lagi memakai agama.
Sehingga tidak ada kontrol internal yang bisa mencegah dirinya melakukan dosa. Rasa bersalah, rasa takut kepada Allah Swt. terkalahkan dengan cinta dunia walaupun fana. Ketika berbuat sesuatu tidak ada pertimbangan halal haram, yang dominan hanyalah manfaat, yang penting memperoleh materi. Hisab di akhirat tidak terlintas padahal berat.
Sekularisme bukan hanya menghilangkan kontrol internal, juga kontrol eksternal. Para pelaku korupsi merasa lebih baik saling menutupi daripada saling melaporkan, agar kepentingan masing-masing tetap aman terjaga. Hal inilah yang menjadikan korupsi berjamaah makin banyak dan sulit terungkap. Yang kebetulan tertangkap menjadi tersangka bisa dikatakan karena sial saja.
Sekularisme menjadikan hubungan antar manusia hanya didasarkan pada materi bukan yang lain. Kering dari dimensi ruhiyah. Amar makruf nahi mungkar nyaris hilang, yang ada paham individualistik kian menguat, mementingkan diri sendiri, tidak peduli pada kehidupan orang lain.
Korupsi bukan lagi persoalan individu, tapi sistemis yang membutuhkan solusi sistemis pula. Kapitalisme sekular dipastikan gagal memberantas korupsi, hanya sistem Islam yang mampu. Islam memiliki sejumlah mekanisme sebagai berikut: pertama, sistem Islam tegak berlandaskan akidah.
Akidah inilah yang akan menciptakan kontrol internal baik pada diri pejabat maupun masyarakat pada umumnya. Sehingga jika seseorang akan berbuat sesuatu maka dia akan menimbang apakah yang diperbuatnya diridhai Allah Swt. atau sebaliknya mendatangkan murka Allah. Korupsi akan dihindari karena mendatangkan murka Allah.
Kedua, dalam sistem Islam, para pejabat yang diamanahi mengurus suatu pekerjaan atau mengurus perizinan hanyalah pejabat yang memiliki visi pengurusan atau pelayanan umat selain kapabel.
Mereka semata mengabdikan dirinya kepada Allah dengan mengurusi umat atau melayani umat bukan azas manfaat. Amanah kekuasaan bukan untuk mempermudah menghimpun materi, karena akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Ketiga, dalam sistem Islam walaupun warga negaranya terbina dengan akidah dan tsaqafah lslam, masih dimungkinkan ada oknum yang melakukan korupsi. Maka negara akan memberlakukan sanksi tegas sesuai syariat.
Fungsinya membuat pelaku jera sekaligus membuat orang lain takut mencontoh, sementara untuk pelaku sendiri sanksi tersebut sekaligus sebagai penebus dosa agar kelak di akhirat tidak diazab.
Dari ketiga mekanisme di atas dipastikan sistem Islam mampu memberantas korupsi dan sudah dibuktikan sepanjang sejarah peradaban Islam.
Kemampuan sistem Islam memberantas korupsi bukan hanya isapan jempol semata, mulai dari konsep sampai bukti sejarah yang sulit dibantah.
Oleh karena itu sistem Islam yang menerapkan aturan Islam secara kafah menjadi satu-satunya harapan yang mesti diperjuangkan.
Wallahu a'lam bi ash shawwab.
Oleh: Samratul Ilmi
Pegiat Dakwah
0 Komentar