Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kenaikan Pajak Makin Menyengsarakan Rakyat

Topswara.com -- Pemerintah telah memutuskan untuk tetap menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025 nanti. Hal ini tentu saja, akan menimbulkan polemik diberbagai kalangan. Sebab, ini menjadikan beban masyarakat makin bertambah. Pun ditambah harga-harga kebutuhan pokok serba merangkak naik.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (IndeF) Faisal Basri mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Menurutnya, kenaikan ini hanya menyengsarakan rakyat dan tidak berpengaruh signifikan terhadap pemasukkan negara. 

Dan ini merupakan tindakan yang tidak adil. Sebab, pemerintah masih memberikan intensif fiskal kepada korporasi besar. (CNBC Indonesia, Agustus 2024). 

Pajak adalah salah satu pendapatan utama negara. Sehingga, pemerintah menganggap bahwa kebijakan yang dilakukan untuk menaikan pajak adalah strategi yang tepat guna meningkatkan APBN untuk kemudian bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. 

Padahal, ini adalah keputusan yang sangat merugikan dan sebagai bentuk ketidak pedulian pemerintah terhadap rakyatnya. 

Negara mengatur APBN yang dirancang untuk digunakan setahun sekali dan anggaran ini dianggap akan mampu digunakan dan terserap dengan baik. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. 

Dalam sistem kapitalisme, pemerintah menerapkan prinsip anggaran belanja berimbang (balance budged). Anggaran pendapatan belanja berimbang (balance budged) adalah penerimaan sama dengan pengeluaran. 

Artinya, penerimaan pajak sama dengan pengeluaran pemerintah dalam suatu periode tertentu. Hanya saja, dalam prakteknya, pemerintah menganut prinsip anggaran belanja defisit (defisit budged). 

Karena itu, penerimaan pajak pemerintah selalu lebih kecil dibandingkan pengeluaran pemerintah dalam setiap periode anggaran. Sehingga, cara yang dilakukan untuk menyeimbangkan neraca, pemerintah melakukan utang dalam dan luar negeri, serta menggenjot penerimaan melalui sektor pajak. 

Sehingga pajak menjadi sesuatu yang wajib, yang harus dibayar oleh rakyat. Tentu hal ini akan sangat membebani seluruh golongan masyarakat, termasuk rakyat yang berpenghasilan rendah atau rakyat miskin. 

Kenaikan pajak ditengah sulitnya kondisi ekonomi hari ini. Menunjukkan bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat, terutama rakyat kecil. Dan ini merupakan perbuatan yang zalim. Pemerintah telah mencekik rakyatnya dengan kebijakan yang zalim.

Dalam Islam, pemerintah atau penguasa adalah pelayan atau pengurus rakyatnya. Pengurus rakyat tidak pantas memalak rakyat dengan berbagai macam pajak. Inilah yang terjadi jika negara dibangun diatas utang dan pajak. 

Sejatinya, negara yang mengandalkan utang dan pajak sebagai pemasukan negara, hanya akan membuat rakyatnya umpama sapi perah. Padahal, Rasulullah SAW bersabda " Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai)".

Islam Membangun Negara Tanpa Pajak

Ketika Islam diterapkan secara sempurna (kaffah). Maka, perekonomian negara pun diatur dengan syariat Islam, termasuk pengelolaan APBN. Terkait dengan sumber penerimaan APBN, secara umum ada tiga sumber, yaitu 

Pertama; bagian fai dan kharaj, yang meliputi ghanimah, termasuk anfal, fa'i dan khumus, sewa tanah milik negara, jizyah, barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harga sitaan, pajak. 

Kedua; bagian kepemilikan umum, yang meliputi minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, padang rumput, aset produktif yang dikuasai negara, misalnya yang berasal dari wakaf.

Ketiga; bagian shadaqat, yang terdiri dari shadaqah wajib, seperti zakar harta dan perdagangan yang berupa uang atau emas/perak, zakat pertanian dan buah-buahan dan zakat ternak. 

Namun, untuk Indonesia saat ini, dari ketiga bagian ini, harta yang paling dapat diandalkan untuk APBN adalah kepemilikan umum, sehingga pada pos inilah dilakukan beberapa perhitungan dengan sejumlah asumsi, yang antara lain tergantung pada harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang dunia.

Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak

Istilah pajak dalam fiqih Islam, dikenal dengan dharibah. Syaikh 'Abdul Qadim Zallum mendefinisikan pajak dengan "Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum muslim untuk membiayainya"

Pemungutan pajak dapat dilakukan ketika pendapatan negara tidak bisa menutupi besaran pengeluarannya. Pajak yang diambil oleh Negara Khilafah dalam hal ini bersifat darurat, yang hanya boleh diambil sebatas untuk menutupi kebutuhan negara. 

Selain itu, negara juga bisa mencari dana talangan (pinjaman) jika kondisinya sangat kritis. Kemudian, tidak semua kaum muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-muslim. Pajak hanya akan diambil dari orang-orang yang mampu saja. 

Inilah perbedaan sistem kapitalisme dan Islam dalam mengatur sebuah perekonomian. Rakyat tidak harus menjadi tulang punggung negara. Justru, negara lah yang berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan rakyat. Seperti sandang, pangan, papan, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Wallahu'alam.


Oleh: Wa Ode Sukmawati, S.E.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar