Topswara.com -- Ekonomi sedang sulit, tetapi rela utang demi membeli barang-barang penunjang gaya hidup yang tidak penting.
Ada anomali dalam konsumsi masyarakat saat ini, terutama kalangan menengah. Keadaan ekonomi sedang lesu, tapi belanja kesenangan jalan terus. Terutama pembelanjaan produk-produk sekunder dan tersier yang dianggap memberi kepuasaan. Padahal, sebetulnya barang dan jasa itu tidak penting.
Masih ingat, bagaimana tiket konser artis internasional laris manis, meski harga selangit. Tiket konser Bruno Mars yang dibanderol Rp950.000 hingga Rp7.650.000 sold out. Tiket konser Ed Sheroon seharga Rp900.000 hingga Rp5.000.000 habis.
Demikian juga tiket grup Marron 5 kisaran Rp1.450.000 hingga Rp6.000.000 laris manis. Apakah pembelinya hanya orang kelas atas yang kaya raya? Tidak. Sebagian besar kalangan menengah. Mereka rela menabung atau utang demi bertemu idolanya.
Tidak kalah mencengangkan adalah tingginya animo masyarakat untuk membeli boneka Labubu. Hanya karena artis idolanya dari grup idol Black Pink menyandang boneka kecil itu, para penggemar langsung heboh ikut-ikutan. Mereka segera berbaris antre di gerai yang menjual boneka itu secara offline. Bahkan ada yang antreannya mencapai 17 jam.
Sementara untuk pembelian secara online di marketplace, harga boneka itu mulai puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan di platform marketplace hijau, rekor harga boneka Labubu menyentuh angka Rp66,605 juta per unit.
Harga yang tidak masuk akal untuk ukuran sebuah boneka. Siapa konsumennya? Selain para influencer dan cracy rich yang FOMO (fear of missing out alias tak mau ketinggalan trend), kalangan middle class juga tak mau ketinggalan.
Termasuk yang selalu dibeli adalah peralatan kecantikan bernilai fantastis. Produk make up, pencerah wajah atau antipenuaan berharga ratusan hingga jutaan pun laris. Tidak ayal bisnis kosmetika meledak.
Industri kosmetika, pada kurun waktu 2021-2024 mengalami total kenaikan 48 persen, yakni dari Rp21,45 triliun pada 2021 menjadi Rp31,77 triliun pada 2024 (Statista.com).
Fenomena di atas adalah contoh nyata dari lipstick effect, yakni suatu kondisi di mana ekonomi sedang lesu, tetapi masyarakat tetap mencari kesenangan dengan membeli barang-barang yang dianggap memberi kepuasan materi.
Kesenangan Semu
Dilansir dari Investopedia (9/10), istilah lipstick effect pertama kali dilontarkan oleh Ekonom & Sosiolog Juliet Schor dalam buku berjudul ‘The Overspent American’ terbitan 1998. Fenomena, ketika konsumen tetap bersedia mengeluarkan uang untuk kesenangan sesaat dan sederhana dalam situasi ekonomi yang menurun.
Sedangkan menurut Collen Kirk, Manajement & Marketing Profesor di New York Institute of Tecknology, lipstick effect merujuk pada penjualan kosmetik yang ternyata berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi yang krisis.
Dan ini terbukti tahun 2008, ketika New York Times memuat pernyataan Leonard Lauder, pewaris tunggal Estee Lauder Company. Ia heran dengan penjualan lispstik di perusahaannya yang meningkat pesat pasca tragedi 9/11. Ekonomi sedang lesu, tetapi mengapa lipstik malah laris.
Ternyata, hal itu berkaitan dengan sikap para perempuan yang saat itu ingin punya pasangan yang mapan finansial. Seperti diungkap dari hasil study 2012 oleh American Psychological Assosiation, di mana dalam kondisi ekonomi sulit, perempuan mempercantik diri agar menarik lawan jenis yang mapan.
Nah, lipstik mewah yang harganya cukup terjangkau, menjadi solusi untuk mempercantik diri.
Saat ini, lipstick effect merujuk pada gaya hidup masyarakat yang menghabiskan uangnya untuk barang mewah kecil, seperti parfum, tas, sepatu, aksesoris, skincare, tiket bioskop, atau kopi di kafe. Padahal, kondisi keuangan sedang rawan.
Intinya, mereka mencari pelarian untuk bersenang-senang dengan sesuatu yang relatif terjangkau, di tengah kecemasan akan kondisi keuangan yang menantang. Mereka berpikir akan meraih kebahagiaan dari barang mewah kecil itu, padahal hanya kepuasan sesaat.
Overspending
Lipstick effect menunjukkan seolah konsumsi masyarakat tinggi. Namun, itu tidak menunjukkan bahwa ekonomi sedang baik-baik saja. Ingat, para pembelanja ini tak sedikit yang sebenarnya utang alias tak mampu. Artinya, mereka sebenarnya tidak punya uang berlimpah, tetapi memaksakan diri membeli demi gaya hidup.
Indikasi itu tampak dari tingginya penggunaan fasilitas paylater alias buy now pay later (BNPL) oleh anak-anak muda yang secara ekonomi belum mapan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendata, pengguna paylater mayoritas merupakan generasi zoomers (Gen Z) dengan rentang usia 26-35 tahun.
Rinciannya, 26,5 persen pengguna paylater berusia 18-25 tahun. Lalu 43,9 persen pengguna berusia 26-35 tahun. Berikutnya, 21,3 persen berusia 36-45 tahun. Selanjutnya, 7,3 persen pengguna berusia 46-55 tahun, serta hanya 1,1 persen pengguna paylater berusia di atas 55 tahun.
Apa yang mereka beli? Kebanyakan 66,4 persen membeli fashion, 52,2 persen beli alat rumah tangga, 41 persen belanja elektronik, 34,5 persen beli laptop atau ponsel, dan perawatan tubuh sebesar 32,9 persen. Tampak bahwa yang dibeli bukanlah kebutuhan pokok, melainkan gaya hidup.
Ini dirangsang oleh sikap FOMO alias tidak mau ketinggalan trend. Merasa tidak bahagia kalau tidak beli produk dan jasa yang sedang hits. Apalagi jika circle pertemanan mereka sama-sama kompak membeli barang yang sejenis.
Pengaruh YOLO
Lipstick effect juga dipengaruhi oleh prinsip hidup yang melanda anak muda seperti You Only Live Once (YOLO). Meski ekonomi lesu, kondisi keuangan masih rawan terguncang, mereka berlomba-lomba mencari kesenangan. Bahkan, mereka cenderung overspending atau belanja berlebihan.
Mereka begitu konsumtif demi penampilan. Misal, membeli baju sebulan sekali atau setiap trend terbaru muncul. Sebab, saat ini memang era fash fashion, di mana desain terbaru muncul dengan frekuensi lebih sering.
Tidak hanya itu, mereka juga menormalisasi perilaku jalan-jalan ke tempat wisata dan jajan kuliner setiap akhir pekan. Seolah kalau week end di rumah saja alias tidak hang out adalah sebuah perilaku yang tidak normal. Lihat saja, tiap akhir pekan, jalanan menuju tempat wisata dan kafe atau restoran penuh antrean kendaraan yang mengular.
Apakah kesenangan yang mereka dapat? Tidak hanya kepuasan materi, mereka ingin disanjung dengan rasa bangga. Ya, fenomena lipstick effect ini tak bisa dilepaskan oleh perilaku masyarakat yang ingin mendapatkan validasi di media sosial. Mereka ingin terlihat sukses, kaya dan berkelas. Karena itu, membeli barang bukan karena butuh, tapi demi kepentingan konten.
Malu dan gengsi jika tidak menampilkan sesuatu yang baru di media sosialnya. Merasa insecure jika tidak mengunggah barang berkelas atau tidak jalan-jalan. Karena, hampir semua orang ingin tampil dengan citra berkelas, mahal dan trendy.
Kebahagiaan Semu
Fenomena lipstick effect menunjukkan rapuhnya kondisi ekonomi dan keuangan, baik masyarakat secara individu maupun negara. Belanja barang printilan kecil yang tidak penting yang mampu mereka beli, hanyalah untuk menutupi ketidak-mampuan mereka membeli barang besar yang sesungguhnya mereka butuhkan.
Misal, kalangan menengah sulit membeli rumah. Harganya sangat mahal dan bahkan overprice. Dengan gaji UMR, harus menabung berapa lama jika ingin beli rumah tanpa riba. Tentu butuh belasan hingga puluhan tahun.
Akhirnya, mereka mencari sedikit penghiburan dengan membeli aksesoris rumahnya dulu. Akibatnya, barang dekoratif atau alat rumah tangga sudah penuh, padahal masih di kontrakan. Kebahagiaan yang diperoleh pun hanya semu dan sesaat.
Oleh karena itu, sebagai muslim, khususnya para Muslimah, jangan terjebak dalam fenomena lipstick effect. Fokuslah belanja kebutuhan pokok dan kebutuhan besar. Jangan mudah tergoda pada kemewahan kecil yang hanya menawarkan kebahagiaan semu. Raihlah kebahagiaan hakiki dengan menjaga stabilitas keuangan diri.[]
Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
0 Komentar