Topswara.com -- Dua bidan di sebuah tempat bersalin di Tegalrejo, Kota Yogyakarta, melakukan praktik jual beli bayi. Mereka telah menjual 66 bayi sejak 2010 kepada orang lain dengan modus adopsi secara ilegal.
Menurut Kabid Humas Polda DIY Kombes Nugroho Arianto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/12/2024), tersangka DM maupun JE melakukan aksi tersebut dengan modus memanfaatkan bayi maupun anak yang lahir di luar pernikahan atau lahir tidak dikehendaki untuk selanjutnya menawarkan bayi tersebut dengan modus adopsi secara ilegal dan modus biaya persalinan untuk bayi perempuan kisaran Rp 55 juta hingga Rp 65 juta dan bayi laki-laki Rp 65 juta hingga Rp 85 juta.
Dilansir detikJogja, kedua pelaku, yaitu DM (77), yang merupakan bidan sekaligus pemilik rumah bersalin, dan JE (44), bidan yang bekerja di sana. Kedua tersangka berperan membantu calon pengadopsi untuk mencarikan akta kelahiran bayi (detik.com, 13/12/2024).
Kasus jual beli bayi yang terus berulang di negeri ini menunjukkan adanya problem sistemis. Kasus perdagangan manusia dengan korban para bayi bermodus adopsi ilegal tidak boleh hanya menindak pelaku saja, akan tetapi negara juga harus turut disalahkan. Mengapa?
Karena, para pelaku adalah orang tua sendiri dengan alasan kehamilan tidak diinginkan lantaran kesulitan ekonomi atau bahkan para generasi yang mengalami hamil diluar nikah akibat maraknya seks bebas.
Adapun penyelesaian dengan hanya fokus penindakan represif dengan pemenjaraan saja tanpa menyelesaikan faktor pendorong kejahatan tersebut, maka sampai kapanpun tidak akan mampu menyelesaikan masalah. Yang ada justru cara tersebut seakan menutupi kegagalan negara yang seharusnya menjaga sistem pergaulan remaja, mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya agar tidak terjebak dalam kemiskinan jangka panjang.
Ditambah lagi, kebebasan bergaul termasuk free sex di negeri ini selama tidak ada unsur pemaksaan atau kekerasan. Jauhnya masyarakat dari pemahaman Islam menjadikan aktivitasnya tidak dilandasi oleh aturan Allah SWT. Halal dan haram diabaikan. Asas perbuatannya adalah manfaat dan nilai-nilai materi.
Selama perbuatan yang dilakukannya menghasilkan materi maka akan terus dikejar meski mendatangkan murka Allah SWT dan membahayakan banyak pihak.
Tindak kriminal pun tidak lagi melihat status pendidikan seseorang karena ketidakpahaman Islam melanda semua kalangan. Selain itu, juga akibat tumpulnya hukum dan abainya negara dalam mengurus rakyat. Pelaku-pelaku kejahatan di negeri ini tidak mendapatkan sanksi menjerakan.
Hukuman yang diberikan pada pelaku kejahatan tidak membuatnya berhenti melakukan kejahatan yang sama saat bebas dari hukuman. Hukum bisa dibeli juga sudah lazim kita dengarkan dan dipraktikkan. Aparat-aparat yang diberi tugas jauh dari kata amanah.
Terbukti, kasus kejahatan perdagangan orang selalu ada, bukannya semakin menurun, tapi semakin banyak. Parahnya, masyarakat justru semakin meninggalkan norma Islam dalam memandu perbuatannya.
Masyarakat jadi hilang rasa ‘takut dosa’ yang membuat mereka mudah melakukan aksi kemaksiatan, seperti perzinaan, pemerkosaan, aborsi, penjualan bayi bahkan pembunuhan. Masyarakat lebih fasih bicara hak asasi manusia dibanding bicara tentang Islam. Sungguh ironis untuk masyarakat di negeri yang mayoritas Muslim.
Perlu dipahami, berbagai hal kemaksiatan tersebut erat kaitannya dengan sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik yang diberlakukan dalam seluruh aspek kehidupan saat ini.
Kentalnya orientasi atas materi atau harta telah mematikan hati nurani bidan yang seharusnya berperan dalam membangun keluarga. Sistem ini juga mengakibatkan tertutupnya pintu kebaikan dan terbuka lebarnya pintu kejahatan.
Oleh karena itu, selama sistem sekuler kapitalistik diterapkan, maka problem penjualan bayi dan berbagai tindak kriminal lainnya akan terus mewarnai kehidupan masyarakat.
Solusi Islam
Dalam Islam, tanggung jawab negara diserahkan kepada kepala negara yang biasa disebu khalifah. Khalifah adalah imam (pemimpin) dari kaum Muslim dan sebagai raa’in, maka wajib melindungi rakyatnya dari segala mara bahaya. Karena kelak, ia akan dimintai pertanggungjawaban pada hari kiamat atas amanah kepemimpinannya tersebut.
Rasulullah SAW bersabda,
رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ عَÙ†ْ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ رَاعٍ الإِÙ…َامُ
“Imam adalah raa’in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya”
(HR. Bukhari).
Untuk menuntaskan masalah penjualan manusia ini, khalifah memiliki sejumlah konsep dasar dalam Islam yang menjadi patokan antara lain,
Pertama, tindakan preventif. Dengan menancapkan keimanan kepada Allah Ta'ala sebagai kontrol bagi setiap perbuatan hamba. Pemahaman yang menyeluruh mengenai Islam mampu mencegah seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan, termasuk perdagangan bayi manusia.
Dalam Islam, perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak adalah haram. Hal tersebut tentu saja dilarang oleh Islam berdasarkan kaidah syarak,
(Øرام الØرام إلى الوسيلة)
“Sarana yang dapat mengantarkan pada yang haram adalah haram.”
Untuk memahami semua itu, maka khilafah akan menjadi pemeran utama dalam melakukan proses penanaman akidah Islam bagi rakyatnya dengan menerapkan sistem pendidikan Islam.
Target dari proses edukasi tersebut adalah agar ketakwaan umat Islam semakin kuat dan mereka makin memahami syariat Islam secara benar, lalu selanjutnya menjadikan syariat Islam sebagai pegangan dalam kehidupan.
Dengan edukasi ini, diharapkan setiap kepala keluarga akan memahami tugas dan kewajibannya. Demikian pula para ibu, akan memahami tugas utamanya, yaitu sebagai ummun wa rabbatul bait.
Kedua, negara berperan besar dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya sekaligus menjadi pelindung (junnah) dari berbagai tindak kriminalitas.
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya”
(HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Adanya jaminan negara atas kesejahteraan individu per individu rakyatnya dapat memberikan salah satu efek, yaitu mampu menjaga diri rakyat dari perbuatan mencari harta dengan cara yang haram.
Islam memiliki mekanisme yang khas dalam memenuhi kebutuhan hak asasi masyarakat, seperti mewajibkan laki-laki (para wali) mencari nafkah untuk tanggungannya. Jika tidak mampu, maka kewajiban tersebut dialihkan pada kerabat dekat.
Jika tidak ada kerabat dekat, maka negaralah yang wajib mengambil alih tanggung jawab penafkahan itu melalui pendanaan dari baitulmal. Jika kondisi kas baitulmal kosong, maka negara akan memobilisasi masyarakat yang terkategori mampu (kaya) untuk membantu saudaranya yang miskin.
Selain itu, negara juga wajib membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi para pencari nafkah (laki-laki) demi memampukan mereka dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan keluarganya.
Penerapan sistem ekonomi Islam juga menjadikan pelayanan kesehatan dan pendidikan bisa diakses semua warga negara secara gratis. Kebutuhan transportasi, air, listrik, BBM, gas bisa diakses dengan murah karena negara menjalankan perannya sebagai pelayan rakyat yang mengelola harta rakyat secara amanah untuk dikembalikan manfaatnya kepada seluruh rakyat.
Ketiga, penerapan sanksi yang tegas. Negara akan menjatuhkan sanksi keras dan tegas kepada sindikat atau pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan perdagangan orang. Sanksi akan dijatuhkan sesuai keterlibatan dan kejahatan yang mereka lakukan.
Demikianlah, upaya untuk menangkal kasus penjualan manusia membutuhkan individu masyarakat yang bertakwa, serta sistem kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia, yaitu sistem Islam.
Selama sistem sekuler kapitalisme masih diterapkan, maka praktik penjualan manusia pun akan mustahil diberantas. Oleh karena itu, hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan perlindungan hakiki pada manusia, bukan sistem sekuler yang terbukti menyengsarakan. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar