Topswara.com -- Opini hukum Islam hak pengasuhan anak atas kasus gugat cerai di Pengadilan Agama Banjarmasin
Pengasuhan anak merupakan suatu kewajiban, karena dengan menelantarkan anak, dia akan binasa. Pengasuhan anak termasuk kategori menjaga jiwa (hifzh al-nafs) yang telah diwajibkan oleh Allah SWT.
Jiwa anak wajib dijaga agar terhindar dari kebinasaan, sekaligus diselamatkan dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya.
Namun meski pengasuhan anak merupakan kewajiban, pengasuhan anak juga terkait dengan hak kerabatnya, karena kerabat mempunyai hak pengasuhan terhadap anak. Maka hak pengasuhan anak terkait dengan kerabat, sebagaimana kewajiban pengasuhan anak juga terkait dengan kerabat.
Pengasuhan adalah hak bagi setiap anak dan bagi siapa saja yang telah diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengasuhnya. Pengasuhan anak menjadi wajib atas seorang pengasuh tertentu jika ia telah ditentukan secara khusus.
Adapun hak untuk mengambil pengasuhan anak bagi orang orang yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengasuh, adalah khusus bagi mereka yang memang berhak, tidak bersifat umum. Maka pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak tersebut, karena hal itu secara pasti akan membahayakan anak.
Atas dasar ini, pengasuhan anak tidak diberikan kepada kepada anak kecil atau orang yang kurang waras pikirannya (al-ma’tuh). Sebab, keduanya tidak akan mampu mengasuh anak, sedang mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuhnya. Lalu bagaimana mungkin mereka mampu mengasuh orang lain?
Demikian juga pengasuhan anak tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak karena kelalaian atau kesibukannya dengan berbagai aktivitas lain sehingga tidak memungkinkannya mengasuh anak tersebut.
Pengasuhan anak juga tidak diserahkan kepada orang yang memiliki sifat-sifat buruk, seperti fasik, (misalnya selingkuh, pent). Sebab sifat-sifat buruk semacam itu dapat mengakibatkan anak yang diasuhnya tumbuh dengan sifat-sifat yang rusak, sebab kerusakan itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kebinasaan.
Pengasuhan anak juga tidak dapat diberikan kepada orang kafir, kecuali pengasuhan anak oleh ibu atas anaknya.
Jika seorang ibu tidak termasuk ahl al-hidhanah (orang yang berhak dalam pengasuhan anak) karena tidak terpenuhinya semua atau sebagian syarat-syarat yang disebutkan dalam pengasuhan anak.
Misalnya ia telah kawin lagi (termasuk berencana menikah dengan laki-laki selingkuhannya, pent), atau kurang waras akalnya, atau yang semisal itu, maka ibu itu dianggap tidak ada, dan hak pengasuhannya berpindah kepada pihak berikutnya dalam hak pengasuhan anak.
Mengenai keadaan pengasuhan anak, harus dilihat lebih dulu. Jika anak itu sudah agak besar yakni pada umur yang sudah dapat memikirkan segala hal dan mampu membedakan perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, misalnya sudah lewat masa penyapihan (telah lewat usia 2 tahun qomariyah), maka ia diberikan pilihan di antara kedua orangtuanya.
Siapa yang dia pilih, berarti anak itu turut bersamanya. Ini berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad dan Abû Dâwud dari Abdul Hamid bin Ja’far dari bapaknya dari kakeknya yaitu Râfi‘ bin Sinân bahwa:
“Sesungguhnya ia telah masuk Islam, sedangkan istrinya menolak masuk Islam. Sang istri lalu datang kepada Nabi SAW dan kemudian berkata, ‘Ini anak perempuanku. Ia telah disapih atau hampir selesai masa disapih.’ Râfi‘ berkata, ‘Ini anak perempuanku.’ Nabi SAW lantas berkata kepada Râfi‘, ‘Duduklah di sebelah sana.’ Nabi SAW juga berkata kepada istri Rafi’, ‘Duduklah di sebelah sana.’ Setelah itu Nabi SAW berkata,’Coba panggillah anak ini oleh kalian berdua.’ Si anak ternyata condong kepada ibunya. Nabi SAW pun berdoa, ‘Ya Allah, berilah anak itu petunjuk.’ Setelah Nabi SAW berdoa, si anak pun kemudian condong kepada ayahnya, sehingga diambillah ia oleh ayahnya.”
Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan An-Nasâ’î dengan redaksi yang berbeda, tetapi dengan makna yang sama dengan riwayat di atas.
Jika anak itu masih kecil yakni pada umur yang belum dapat memikirkan segala sesuatu dan belum dapat membedakan perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, misalnya anak itu masih dalam masa penyapihan, atau sebelum masa penyapihan, atau pun sesudah masa penyapihan, dan anak itu dekat kepada ibunya maka anak itu tidak diberi pilihan, tapi diikutkan kepada ibunya.
Hal ini berdasarkan mafhum (pemahaman implisit) dari hadis riwayat Râfi‘ bin Sinân di atas. Karena telah ditetapkan bahwa ibu lebih berhak dalam pengasuhan anak, sementara tidak ada nash yang melarang seorang ibu mengasuh anaknya.
Hadis ini dan hadis-hadis yang lain sangat jelas dan menjadi dalil bahwa jika terdapat perselisihan antara seorang ayah dan seorang ibu mengenai hak pengasuhan anaknya, maka harus diberikan pilihan kepada sang anak.
Maka siapa saja yang dipilih anak, dia berhak membawa anak itu. Hak untuk memilih ini tidak terikat dengan usia tertentu. Tetapi hal itu dikembalikan kepada hakim sesuai pandangannya berdasarkan penetapan para ahli.
Jika mereka mengatakan bahwa anak itu tidak lagi membutuhkan pengasuhan, lalu hakim puas dengan pendapat tersebut, maka hakim memberikan hak memilih kepada anak tersebut.
Jika tidak, maka anak itu diserahkan kepada orang yang berhak mengasuhnya. Kenyataan ini bisa berbeda-beda bagi setiap anak bergantung pada keadaan mereka masing-masing. Seorang anak yang berusia lima tahun boleh jadi tidak lagi memerlukan pengasuhan.
Boleh jadi anak yang lain telah berusia tujuh tahun masih memerlukan pengasuhan. Maka yang menjadi patokan adalah fakta anak tersebut, apakah masih memerlukan pengasuhan ataukah tidak.
Dikutip dari kitab an-Nizham al-Ijtima’i bab Kafalah ath-Thifl halaman170-174.
Banjarmasin, 25 November 2024
Oleh: Dr. Wahyudi Ibnu Yusuf
Doktor Ilmu Syari'ah Alumni UIN Antasari
0 Komentar