Topswara.com -- Hari Guru Nasional di Indonesia diperingati setiap tanggal 25 November. Bertepatan dengan berdirinya organisasi profesi untuk para guru dan tenaga kependidikan di Indonesia yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI resmi dibentuk pada tanggal 25 November 1994.
Berdasarkan Pedoman Peringatan Hari Guru Nasional 2024 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Hari Guru Nasional tahun 2024 mengusung tema "Guru Hebat, Indonesia Kuat" (kompas.com, 23/11/2024).
Tema ini diangkat dengan tujuan untuk memotivasi para guru di Indonesia bahwa mereka memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak generasi yang berkualitas untuk Indonesia yang lebih maju.
Permasalahannya adalah apakah dengan mengusung tema tersebut benar-benar mampu mendorong para guru untuk bisa menunaikan kewajiban mereka dengan optimal di tengah berbagai problematika yang menimpa kehidupan para guru itu sendiri?
Realitas Guru di Indonesia
Sebagai sosok yang diberi gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, guru memang menjadi pelaku utama dalam mendidik generasi. Juga menyiapkan mereka untuk mampu menerima tongkat estafet pembangunan Indonesia.
Agar Indonesia menjadi negara yang memiliki sumber daya manusia yang handal. Untuk mampu menunaikan tugas mulia ini tentu saja dibutuhkan guru yang berkualitas tinggi.
Realitasnya, Sekretaris Umum Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia (PTIC) DKI Jakarta Periode 2021-2026, Muhammad Irfan Efendi mengungkapkan bahwa secara umum kualitas guru di Indonesia masih tergolong rendah (kumparan, 1/12/2023). Ada tiga aspek yang bisa dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai kualitas seorang guru secara keseluruhan.
Pertama, dinilai dari aspek kompetensi guru menunjukkan bahwa hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2021 memaparkan sekitar 81 persen guru di Indonesia tidak mencapai nilai minimum. Sementara hasil Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 guru Indonesia meraih skor 371, jauh di bawah rata-rata OECD 487.
Skor ini menempatkan Indonesia pada peringkat 72 dari 79 negara peserta. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kompetensi kognitif guru Indonesia memang masih rendah.
Kedua, dilihat dari aspek kesejahteraan guru. Masalah kesejahteraan guru masih menjadi sorotan utama dalam hal menilai kualitas guru. Gaji yang diterima oleh guru bisa dijadikan salah satu variabel untuk menilai apakah guru sejahtera atau tidak. Di Indonesia masih terdapat ketimpangan yang nyata antara gaji yang diterima oleh guru PNS dan guru honorer.
Gaji guru PNS berkisar antara Rp2 juta hingga Rp5 juta. Dengan berbagai fasilitas capaian angka Rp5 juta bisa dikatakan bahwa guru itu cukup sejahtera. Selain gaji pokok guru PNS menerima fasilitas lain seperti tunjangan suami/istri, tunjangan anak, tunjangan makan, tunjangan kesehatan dan tunjangan pensiun.
Berbeda dengan guru honorer. Gaji guru honorer di kota besar berkisar antara Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Sementara di daerah mereka menerima gaji antara Rp300 ribu hingga Rp1 juta tanpa tunjangan apapun (moneynesia, 26/05/24).
Dari faktor gaji ini dapat dilihat bahwa guru di Indonesia masih jauh dari status sejahtera. Hal ini tentu berdampak signifikan terhadap kinerja mereka sebagai seorang guru.
Ketiga, ditinjau dari aspek profesionalitas guru. Sangat disayangkan bahwa masih saja mengalir pemberitaan di media tentang guru yang mengalami kriminalisasi maupun guru yang melakukan tindakan asusila terhadap muridnya.
Kasus pelecehan seksual guru berinisial DH (57) di Gorontalo (kompas.com, 26/9/24) dan kasus kriminalisasi yang menimpa Supriyani seorang guru honorer di kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (kompas.com, 30/10/24) menambah deretan ironi realitas guru di Indonesia.
Semua fakta di atas menunjukkan bahwa secara umum guru di Indonesia belum memenuhi apa yang dicanangkan dalam tema Hari Guru Nasional 2024 yaitu Menjadi Sosok Guru Hebat. Dibutuhkan langkah urgen komprehensif yang harus segera dilakukan oleh pemerintah agar seluruh permasalahan guru di Indonesia bisa segera diatasi.
Solusi Komprehensif Menuju Guru Hebat
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua permasalahan yang terjadi di negara ini termasuk di dalamnya yang menimpa guru-guru di Indonesia adalah akibat berlakunya sistem sekuler kapitalistik. Sistem ini juga yang diterapkan dalam dunia pendidikan.
Kapitalisasi di dunia pendidikan selalu berorientasi pada keuntungan semata. Sehingga kualitas pendidikan tidak menjadi prioritas. Sistem sekuler kapitalistik juga berimbas kepada guru sebagai aktor utama di dunia pendidikan.
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan memiliki solusi yang mumpuni. Syariat Islam telah dirancang dengan sempurna oleh Dzat Yang Maha Sempurna yaitu Allah SWT. Syariat Islam sangat memperhatikan pendidikan dan semua unsur yang terlibat di dalamnya termasuk guru.
Sebagai contoh untuk menjamin kesejahteraan guru, pemerintah Islam pada masa Khalifah Harun Al Rasyid memberikan gaji kepada para pengajar setara dengan gaji yang diterima oleh para mu’azin yaitu sebesar 1000 dinar per tahun (mediaindonesia.com, 17/11/22).
1 dinar setara dengan 4,25 gr emas. Jika saat ini harga 1 gr emas adalah Rp1,5 juta maka gaji yang mereka terima setara dengan Rp6,375 milyar per tahun atau Rp531,250 juta per bulan.
Angka di atas masih terlampau tinggi jika dibanding dengan gaji guru di negara-negara maju saat ini. Organisation for Economic Cooperation and Development (OEDC) melaporkan daftar gaji guru di negara-negara maju yaitu di urutan tertinggi Luksemburg gaji guru rata-rata Rp1,008 milyar per tahun atau sekitar Rp84 juta per bulan, Jerman sekitar Rp979,233 juta per tahun, Swiss sekitar Rp858,381 juta per tahun, Korea Selatan sekitar Rp842,824 juta per tahun, dan Kanada sekitar Rp801,196 juta per tahun (detikfinance, 10/10/24).
Lalu dari mana pemerintah Islam mendapatkan dana sebesar itu untuk menggaji para guru? Islam memiliki sistem ekonomi yang melarang sumber daya alam diserahkan pada pihak asing untuk dikelola. Pemerintah mengolah semua sumber daya alam terebut dan menggunakan hasilnya untuk 100 persen untuk kesejahteraan rakyat termasuk guru.
Selain masalah gaji, sistem Islam juga sangat memperhatikan kualitas para guru. Pemerintah tidak akan segan-segan untuk membiayai eksperimen atau kajian-kajian keilmuan yang bisa meningkatkan kualitas keilmuan para guru. Sehingga dengan demikian mewujudkan misi mencetak guru hebat sangatlah mungkin dilakukan dengan dukungan penuh dari pemerintah.[]
Oleh: Tri Suwarni
(Mahasiswi S1 International Open University Jurusan Psikologi Islam)
0 Komentar