Topswara.com -- Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di tahun 2025 memicu sejumlah konsekuensi. Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah tengah mengkaji pembagian bantuan sosial atau bansos bagi kelas menengah.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) angkat bicara soal wacana kelas menengah mendapatkan bantuan sosial atau bansos imbas kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Namun, dia menuturkan, bahwa Kementerian Sosial dan pemerintah belum dapat memastikan kalangan mana saja yang berhak mendapatkan bantuan tersebut. Sebab, saat ini pematangan data masih terus dilakukan lantaran masih menunggu data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang akan mengkategorikan penerima bantuan (tvonenews.com, 1/12/2024).
Adanya kebijakan kenaikan pajak apalagi di tengah kesulitan rakyat, sangatlah zalim, khususnya terkait harta, apalagi yang dilakukan oleh penguasa terhadap ratusan juta rakyatnya, jelas haram. Allah SWT berfirman,
“Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil.”
(QS. Al-Baqarah: 188).
Begitulah, dalam sistem kapitalisme pajak dan utang adalah sumber utama pendapatan negara. Kebijakan kenaikan pajak yang terus menerus seharusnya bisa membuat umat sadar betapa zalimnya negara yang menerapkan sistem kapitalisme kepada rakyatnya.
Ditengah kondisi ekonomi yang sudah babak belur, rakyat masih saja dipaksa membayar pajak untuk mendapatkan subsidi dan bantuan sosial. Padahal, anggaran subsidi atau bansos bisa diambil dari dana hasil pengelolaan sumber daya alam atau SDA.
Namun, sayangnya negara kapitalisme telah meliberalisasi kekayaan alam hingga sumber daya alam tersebut dikuasai oleh para kapital. Alhasil, negara tidak memiliki anggaran untuk mengurus rakyat.
Adapun kebijakan kenaikan pajak yang diklaim untuk subsidi dan bansos menunjukkan negara kapitalisme tidak menjalankan fungsinya sebagai periayah atau pengurus rakyat, melainkan tak lebih hanya sekedar regulator.
Ditambah lagi dana pajak sering dikorupsi, sebut saja kasus pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp 300 triliun oleh 300 pengusaha 'nakal' yang diduga bergerak disektor sawit berdasarkan informasi yang dihimpun oleh presiden Prabowo Subianto.
Dilansir dari cnbcindonesia.com (30/11/2024) dirangkum sebelas nama yang menjadi terdakwa kasus korupsi pajak, sebut saja Gayus Tambunan (2009) yang menjadi sorotan lantaran nilai rekeningnya mencapai Rp. 28 miliar.
Angin prayitno (2021), Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tahun 2016-2019 tersebut akhirnya menjadi tersangka setelah dinyatakan terlibat tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pemeriksaan perpajakan tahun 2016-2017 senilai Rp. 50 miliar.
Rafael Alun Trisambodo yang merupakan sebelumnya menjabat Kabag Umum Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II harus menghadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pegawai eselon III tersebut menjadi sorotan karena memiliki harta dalam jumlah yang fantastis yakni Rp 56,10 miliar. Bahkan, informasi terakhir, PPATK menemukan transaksi Rp 500 miliar dari 40 rekening terkait dengan Rafael.
Atas nama undang-undang, pemerintah mengatakan tidak bisa menghindari kenaikan pajak. Pernyataan ini hanya omong kosong. Pasalnya dalam sistem demokrasi, manusia diberi kedaulatan hukum, manusia bisa membuat, menghapus atau merevisi hukum.
Artinya, jika penguasa mau, penguasa bisa saja meniadakan pajak. Karena pajak begitu menyengsarakan rakyat. Hanya saja, semua itu mustahil terjadi. Karena, selamanya sistem demokrasi akan menjadi penjaga sistem kapitalisme. Sungguh, keberadaan negara kapitalisme demokrasi hanya membuat sengsara rakyat karena gagal mengelola keuangan negara.
Cara Islam Mengelola Keuangan Negara
Sangat berbeda dengan tata kelola keuangan dalam negara yang menerapkan sistem Islam, yaitu negara khilafah. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Solusi untuk mencegah kezaliman pajak, yaitu kembali pada syariat Islam.
Sehingga perekonomian negara pun diatur dengan hukum-hukum Islam, termasuk dalam pengelolaan APBN, baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.
Menurut Syekh Abdul Zallum (2003), terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori, seperti pemasukan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumûs), pungutan dari tanah kharaj, pungutan dari nonmuslim (jizyah), harta milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr), harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram, zakat, dst. (Syekh Abdul Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 30).
Dari keterangan di atas, maka salah satu sumber terbesar dalam APBN khilafah, yaitu harta milik umum (milkiyyah ‘âmah).
Rasulullah Saw. bersabda,
“Manusia berserikat dalam tiga perkara, yakni air, padang rumput, dan api (energi).” (HR Abu Dawud).
Dari Abyadh bin Hammal ra., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menarik (mengambil) kembali tambang garam yang semula sempat beliau berikan kepada Abyadh ra.. Tindakan beliau ini dilakukan setelah beliau diberi tahu oleh para sahabat tentang betapa melimpahnya tambang garam tersebut (menyerupai “al-mâ‘u al-‘iddu”, air yang terus mengalir tanpa henti). (HR Ibnu Majah).
Dari kedua hadis tersebut, para ulama m?bersepakat bahwa semua sumber daya alam, seperti tambang yang depositnya melimpah merupakan milik umum. Harta milik umum tersebut wajib dikelola oleh negara untuk kemudian diberikan kepada seluruh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Haram menyerahkan harta milik umum kepada individu atau swasta, apalagi kepada pihak asing sebagaimana yang terjadi selama ini. (Lihat: Syekh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 48–66).
Menurut ekonom Muslim, Muhammad Ishak (2024), potensi pendapatan negara dari kekayaan sumber daya alam negeri ini adalah sebagai berikut.
Pertama, minyak mentah. Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD97 per barel dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp183 triliun.
Kedua, gas alam. Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD6,4 per MMBTU dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 54,1 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp136 triliun.
Ketiga, batu bara. Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 57,4 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp2.002 triliun.
Keempat, emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD63,5 juta per ton dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp29 triliun.
Kelima, tembaga. Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD8.822 per ton dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 34,9 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp159 triliun.
Keenam, nikel. Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD2.583 per ton dan nilai tukar Rp15.600/USD, serta gross profit margin 26,6 persen, maka laba yang diperoleh sebesar Rp189 triliun.
Ketujuh, hutan. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebutkan progres penetapan kawasan hutan hingga Juni 2024 telah mencapai 106.554.226,72 ha.
Kedelapan, kelautan. Dengan luas wilayah Indonesia yang 75 persen merupakan laut, potensi ekonomi berbasis sektor kelautan (blue economy) sangat besar. Beberapa sumber pendapatan kelautan dan perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, serta industri, dan jasa maritim.
Potensi pendapatan juga diperoleh dari energi dan mineral, pariwisata bahari, transportasi laut, dan coastal forestry. Kepala Bappenas memperkirakan nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru akan mencapai US$30 triliun pada 2030. (Lihat: Muis, Al-Waie, Edisi Maret 2024).
Bahkan warga miskin yang hidup di bawah naungan khilafah akan terjamin pembiayaan hidupnya, karena ada pos zakat. Pos zakat ini hanya akan dikeluarkan untuk delapan asnaf, tidak akan dikeluarkan untuk pembiayaan keperluan lainnya.
Seperti inilah sistem keuangan dalam khilafah, rakyat tidak perlu membayar pajak untuk mendapatkan bansos dan subsidi. Karena negara khilafah memiliki sumber pendapatan negara untuk menjamin kebutuhan rakyat.
Di sinilah dimensi perihayahan atau kepengurusan negara khilafah sebagai negara yang taat dan bertakwa. Negara yang beriman pasti tidak akan menyengsarakan warga negaranya. Sangat berbeda dengan negara kapitalisme bukan? []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar