Topswara.com -- Banjir kembali melanda wilayah Kabupaten Bandung. Seolah sudah menjadi langganan, setiap kali musim hujan tiba, bencana ini selalu datang menyapa. Penduduk daerah yang terdampak pun seakan sudah terbiasa dengan kondisi ini.
Saat rumah mereka terendam air hingga merusak harta benda yang dimiliki, yang dilakukan hanya bisa pasrah menanti bantuan pemerintah.
Seperti yang terjadi pada Kamis, 21 November 2024 sore hari, tanggul Sungai Cisunggalah yang terletak di Kampung Puja, Desa Panyadap, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, jebol akibat banjir.
Dikonfirmasi oleh Kepala Desa Panyadap, Teddy Julia Taufik, bahwa sebanyak 90 rumah terendam air, dengan 6 rumah di RW 02 mengalami kerusakan dan 14 rumah di RW 18, Kampung Bojong Keusik, mengalami kerusakan ringan.
(Kompas.com, 22/11/2024).
Musim hujan yang datang setiap tahun merupakan siklus alami di wilayah tropis seperti Indonesia. Periode ini akan berganti dengan musim kemarau. Pergantian cuaca tersebut seharusnya tidak perlu dirisaukan, apalagi menjadi sumber bencana yang menyebabkan berbagai kerusakan dan kerugian materi, bahkan mengancam nyawa.
Namun tingginya curah hujan kerap kali membawa musibah seperti banjir dan tanah longsor, terutama di daerah dataran rendah serta tebing-tebing gundul di berbagai wilayah. Parahnya kondisi ini selalu berulang setiap tahunnya dan seringkali tidak mendapatkan penanganan serius dari pemerintah.
Warga yang terdampak banjir pun sering kali menemui kesulitan ketika musibah ini datang. Korban banjir yang sangat parah mau tidak mau harus mengungsi dan tentu memerlukan bantuan berupa tenda pengungsian, makanan, pakaian, serta obat-obatan.
Belum lagi rumah dan harta benda mereka rusak akibat terendam air, tentu saja membutuhkan dana dan perbaikan. Selain itu akses jalan sudah pasti tidak dapat dilewati dengan mudah yang mengakibatkan terganggunya aktivitas masyarakat.
Banjir seharusnya tidak menjadi tradisi, karena musim hujan secara ilmiah bisa diprediksi, dan wilayah-wilayah yang terdampak pun dapat diantisipasi. Namun faktor-faktor penyebab bencana ini hingga kini masih sulit diatasi.
Misalnya dari level paling rendah, yaitu individu masyarakat yang kurang kesadaran dalam membuang sampah pada tempatnya. Masih banyak warga di sekitar aliran sungai buang sampah ke kali dan saluran pembuangan air. Hal ini tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah, pelakunya paling-paling hanya diberi peringatan untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Penguasa sendiri pun punya andil yang tidak sedikit dalam menyebabkan terjadinya banjir. Gagalnya menentukan tata kelola ruang, salah satunya. Padahal para pemangku kebijakan seharusnya adalah pihak yang paling mengetahui karakter dan topografi wilayahnya.
Dengan itu semestinya mereka bijak dalam menentukan lahan mana yang cocok dijadikan perumahan, industri, perkantoran, pusat perdagangan/perbelanjaan, dan lain-lain. Termasuk wilayah yang akan dijadikan daerah resapan air.
Namun yang terjadi adalah penguasa memberikan izin kepada para pengusaha untuk menguasai dan memanfaatkan lahan secara serampangan. Wilayah-wilayah yang seharusnya diperuntukkan untuk daerah resapan air berubah menjadi beton-beton bertingkat milik para oligarki. Mal, apartemen, perumahan mewah berdiri megah di perkotaan.
Belum lagi alih fungsi lahan menjadikan daerah yang permukaan tanahnya rendah diperuntukkan bagi wilayah pemukiman, sawah-sawah habis dijadikan perumahan, pohon-pohon besar di perbukitan yang berfungsi mengikat air diganti menjadi tempat wisata ataupun tanaman perkebunan, belum lagi buruknya pengaturan drainase air turut menyumbang terjadinya banjir.
Penguasa membuat undang-undang hanya untuk memuluskan kerakusan para pemilik modal meraup keuntungan. Contohnya UU Ciptaker (Omnibus Law) yang semakin memudahkan oligarki menguasai dan mengelola lahan dengan dalih mengedepankan investasi.
Dari sini dapat kita lihat keberpihakan pemerintah bukan pada rakyat, melainkan kepada orang-orang kaya yang menguasai sebagian besar sektor ekonomi negeri ini.
Inilah buah busuk dari penerapan demokrasi dalam sistem kapitalisme yang menjadikan kebijakan pro oligarki seolah adalah hal yang lumrah, karena penguasa membutuhkan dukungan modal dari pengusaha untuk melanggengkan kekuasaan mereka di negeri ini.
Rakyat hanya dibutuhkan suaranya pada saat pemilu saja, dengan janji-janji kampanye yang sedikit sekali terealisasi. Selepas itu nasib mereka tidak pernah sekalipun diperhatikan.
Pembangunan jelas bukan untuk kepentingan rakyat. Masyarakat terus terpinggirkan dan terhimpit kesulitan akibat ketamakan segelintir orang berduit yang didukung pembuat kebijakan.
Antisipasi banjir dengan mitigasi bencana yang tepat pun sulit dilaksanakan, sebab alokasi dana penanggulangan bencana memang tidak diperhatikan dengan serius. Yang terlihat nyata adalah alam semakin rusak dan penderitaan rakyat kian jelas.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah Ruum ayat 41:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Satu-satunya jalan adalah kembali kepada penerapan Islam kafah. Sebagai sebuah ideologi, agama ini memiliki aturan yang komprehensif dalam mengatur kehidupan umat manusia. Termasuk dalam menangani bencana alam, khususnya banjir.
Negara akan mengatur tata kelola ruang yang sangat khas agar lingkungan hidup tertata baik dan rapi. Tentu saja dengan memperhatikan faktor-faktor ekologis sehingga tidak merusak alam.
Penguasa akan menentukan dimana wilayah yang cocok untuk dibangun pemukiman, industri, perdagangan, pusat pemerintahan, sekolah, rumah sakit, serta infrastruktur yang dapat menunjang aktivitas masyarakat.
Islam juga dengan rinci mengatur kepemilikan tanah. Mana yang boleh dimiliki individu rakyat, milik negara atau harta milik umum. Dengan begitu penguasa tidak sembarang memberi izin untuk mengelola dan memiliki tanah kepada segelintir orang bermodal seperti yang terjadi di sistem kapitalisme.
Karena pada hakikatnya, tanah dan seluruh yang berdiri di atasnya adalah kepunyaan Allah Swt. Oleh karena itu manusia wajib mengelolanya sesuai dengan tuntunan syariat yang telah ditetapkanNya. Tujuan pengelolaan ini tak lain adalah untuk kemaslahatan seluruh umat manusia.
Dengan dikelola secara benar sesuai syariat, maka bencana alam seperti banjir dan tanah longsor pun dapat dihindari. Andaikata terjadi musibah maka negara telah siap dengan mitigasi yang tepat sehingga tidak ada korban yang kesulitan mendapatkan bantuan apalagi sampai kehilangan nyawa.
Hanya dengan penerapan syariat Islam lah paradigma pembangunan suatu negeri ditujukan semata untuk kemaslahatan seluruh umat manusia. Sehingga dapat memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi masyarakat untuk hidup, beribadah, dan berkembang dalam lingkungan yang sehat.
Wallahu alam bissawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia
Pegiat Literasi dan Dakwah
0 Komentar