Topswara.com -- Musibah bencana alam yang terus terjadi, baik dalam skala lokal maupun global, seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor, hingga badai dahsyat, adalah peringatan keras bagi manusia.
Terakhir, banjir yang melanda Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, disebut sebagai yang terparah dalam satu dekade terakhir. Bencana ini bukan hanya soal faktor alam semata, tetapi juga hasil dari perbuatan manusia yang mengabaikan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Sebagaimana disampaikan oleh Plh Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat, Anne Hermadianne, salah satu penyebab utama banjir Sukabumi adalah banyaknya alih fungsi lahan.
Ketika hutan yang seharusnya menjadi penahan air dirusak demi pembangunan ekonomi, maka bencana tidak terhindarkan. Namun, persoalan ini sejatinya lebih mendalam, yakni kegagalan sistem kehidupan yang saat ini mendominasi dunia.
Akar Masalah Bencana: Sistem Kehidupan yang Salah
Kerusakan lingkungan yang memicu bencana tidak terjadi secara tiba-tiba. Kapitalisme sebagai sistem kehidupan global saat ini menjadi pemicu utama. Sistem ini mendasarkan kebijakan pembangunan pada keuntungan ekonomi semata tanpa memperhatikan keberlanjutan ekosistem.
Hutan ditebang, gunung digali, dan sungai dicemari, demi mengeruk hasil tambang atau membangun kawasan industri.
Allah SWT berfirman, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian akibat dari perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar-Rum: 41).
Kerusakan ini bukan sekadar dampak teknis atau hasil kesalahan perencanaan semata, melainkan konsekuensi dari cara pandang yang salah terhadap alam. Dalam kapitalisme, alam dipandang sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi untuk memenuhi ambisi manusia. Padahal, Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah yang bertugas memelihara bumi, bukan merusaknya.
Islam Menawarkan Solusi Hakiki
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki panduan yang jelas dalam pengelolaan alam. Dalam Islam, sumber daya alam adalah milik bersama yang harus dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab demi kesejahteraan seluruh umat manusia.
Rasulullah SAW bersabda, "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api" (HR. Abu Dawud).
Hadis ini mengajarkan bahwa sumber daya vital seperti air, hutan, dan energi tidak boleh dikuasai individu atau korporasi demi keuntungan pribadi. Negara sebagai pengelola utama sumber daya ini, bertanggung jawab memastikan pemanfaatannya tidak merusak keseimbangan lingkungan.
Sebagai contoh, dalam sistem Islam, hutan dilindungi sebagai bagian dari ekosistem yang mendukung kehidupan. Kawasan konservasi dijaga ketat agar tidak berubah fungsi menjadi kawasan industri atau perumahan. Selain itu, setiap proyek pembangunan harus melalui kajian mendalam untuk memastikan tidak ada kerusakan ekologis yang ditimbulkan.
Kepemimpinan Islam: Solusi Sistemis Atasi Bencana
Islam juga mengatur bagaimana negara menjalankan perannya sebagai pelindung (junnah) dan pengatur (raa'in) bagi rakyatnya. Khalifah atau pemimpin Islam bertugas menerapkan syariat secara kaffah, termasuk dalam hal pengelolaan lingkungan dan pembangunan.
Allah SWT berfirman, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (QS. Al-A’raf: 96).
Ayat ini menjelaskan bahwa keberkahan dari Allah hanya akan diberikan kepada umat manusia jika mereka beriman dan bertakwa. Dalam konteks ini, keberkahan berarti tidak hanya kesejahteraan materi, tetapi juga keselamatan dari bencana. Dengan menegakkan syariat Islam secara kaffah, negara dapat meminimalisir risiko bencana alam, baik melalui kebijakan yang adil maupun pengelolaan sumber daya yang bijaksana.
Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, misalnya, pengelolaan lingkungan dilakukan dengan sangat hati-hati. Ada lembaga khusus yang bertugas memantau kelestarian hutan, menjaga kualitas air sungai, serta memastikan pertanian dan peternakan dilakukan secara berkelanjutan. Khilafah memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan tidak hanya menguntungkan manusia, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem.
Bencana Adalah Peringatan untuk Kembali ke Jalan Allah
Bencana alam yang terus terjadi sejatinya adalah peringatan dari Allah agar manusia kembali kepada jalan-Nya. Kita harus menyadari bahwa selama ini kita telah mengabaikan amanah untuk menjaga bumi. Tobat kolektif diperlukan, tidak hanya dalam bentuk perubahan perilaku individu, tetapi juga dalam skala sistemis.
Perubahan sistemis ini hanya dapat diwujudkan melalui penegakan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah islamiyah. Dengan sistem ini, kebijakan pembangunan, pengelolaan lingkungan, hingga ekonomi akan didasarkan pada hukum Allah yang mengutamakan keadilan dan keberlanjutan.
Sudah saatnya kita berhenti berpikir bahwa solusi atas bencana ini adalah sekadar program reboisasi atau mitigasi bencana. Solusi sejati terletak pada perubahan mendasar dalam tata kelola kehidupan, yakni menjadikan Islam sebagai pedoman utama. Dengan demikian, manusia tidak hanya akan selamat dari bencana, tetapi juga akan hidup dalam keberkahan dan rahmat Allah SWT.
Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri" (QS. Ar-Ra’d: 11).
Mari jadikan musibah bencana ini sebagai momen muhasabah dan titik balik untuk kembali kepada syariat Islam. Dengan menegakkan kepemimpinan Islam, keberkahan akan meliputi bumi, dan kita semua akan hidup dalam kesejahteraan yang diridhai Allah SWT.[]
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar