Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Amnesti Koruptor: Negara Tidak Serius Memberantas Korupsi?

Topswara.com -- Presiden Prabowo Subianto kembali menjadi sorotan setelah mengemukakan wacana pemberian pengampunan kepada para koruptor yang bersedia mengembalikan hasil curian mereka ke negara. Ini ia sampaikan dalam pidato di Universitas Al Azhar Kairo, Rabu (18/12/2024) (bbc.com, 23/12/2024).

Negara memberi amnesti yang dianggap sebagai solusi untuk mengembalikan kekayaan negara. Tak heran, sebagian pegiat antikorupsi menuturkan bahwa strategi pengampunan koruptor berkedok amnesti tersebut memperlihatkan wajah rezim yang sesungguhnya. Rezim sedang memperlihatkan wajah aslinya yang memang hendak memberikan perlakuan istimewa bagi para koruptor dan teman-temannya. 

Sebagaimana pernyataan Yusril yang menyebut undang-undang tindak pidana korupsi atau Tipikor memang jelas menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus sifat pidana dari perbuatan korupsi, tetapi ia mengatakan ketentuan pemberian amnesti dari presiden telah diatur dalam ketentuan lain yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945.

Jika kita teliti, amnesti bagi koruptor bertentangan dengan komitmen Presiden Prabowo sendiri. Sebelumnya pada Maret dan Agustus 2024 Presiden Prabowo berkomitmen untuk memberantas korupsi. Ia berulang kali menekankan komitmen untuk tidak berkompromi terhadap korupsi. 

Sehingga pernyataan amnesti koruptor seolah menunjukkan tidak adanya konsistensi terhadap komitmen pemberantasan korupsi. Itu berarti korupsi akan tetap merajalela dan rakyat lagi-lagi tertipu oleh narasi.

Ini juga menunjukkan bagaimana hukum bisa dimanipulasi sebab memang dalam demokrasi tidak ada kepastian hukum. Hukum bisa saja berubah. Sebab pembuat hukumnya adalah manusia. Wajar dalam demokrasi hukum selalu tampak tajam ke bawah dan tumpul ke atas. 

Wacana amnesti bagi koruptor menjadi salah satu buktinya. Jika begitu upaya pemberantasan korupsi hanyalah narasi.

Selama sistem kapitalisme demokrasi eksis sebagai sistem kepemimpinan, masyarakat hanya akan menelan kegetiran karena kebijakan penguasa bisa dipastikan berpihak kepada pengusaha seperti amnesti koruptor ini. 

Sungguh mengherankan saat kejahatan diampuni itu berarti kejahatan yang sama akan terus meluas sebab tidak ada efek jera dari hukum yang ada.

Berbeda halnya ketika sistem politik diatur oleh sistem Islam yakni khilafah. Sistem ini tegak di atas landasan akidah yang terwujud dalam seluruh amal perbuatan sehingga aturan halal haram, benar salah, terpuji dan tercela sangat jelas sebagai pedoman. 

Islam telah menetapkan bahwa korupsi termasuk perbuatan khianat, karena pelakunya melakukan penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepadanya. Dengan demikian korupsi hukumnya haram. Pelakunya berdosa karena sudah melakukan kemaksiatan. 

Dalam sistem Islam, pelaku maksiat tidak dibiarkan dan tidak dibebaskan begitu saja. Tidak pula sekadar menanggung sanksi sosial dari masyarakat. Setiap kemaksiatan dihukumi kejahatan dan pelaku kejahatan wajib diberi sanksi. 

Untuk perbuatan korupsi, syariah telah menetapkan pelakunya akan diberi sanksi ta'zir. Syekh Abdurrahman Almaliki dalam kitabnya Nidzamul Uqubat menjelaskan ta'zir adalah sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. 

Bentuk sanksinya bisa dari yang paling ringan seperti sekedar nasihat atau teguran hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu itu hukuman mati. 

Berat ringannya hukuman ta'zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Pelaku korupsi selain diberi sanksi ta'zir, syariat juga menetapkan harta hasil korupsi termasuk harta ghulul yang harus dikembalikan. Harta ghulul adalah harta yang diperoleh melalui kecurangan. Harta ghulul hukumnya haram. 

Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian gaji untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulul" (HR. Abu Daud dan Al Hakim).

Harta ghulul wajib diserahkan kepada negara yang nantinya akan dimasukkan ke dalam baitul mal pos kepemilikan negara. Islam akan memberikan sanksi yang tegas bagi koruptor. Sanksi ini akan memberikan efek jawabir sebagai penebus dosa dan zawajir atau pencegah.

Khalifah wajib berlaku adil kepada siapa pun yang terbukti bersalah melakukan korupsi termasuk jika pelakunya adalah teman sendiri, kerabat, atau sanak saudara.  

Sebab Islam menetapkan hukum harus ditegakkan dan semua rakyat sama di hadapan hukum. Demikianlah sanksi bagi koruptor dalam Islam yang niscaya bisa menimbulkan efek jera dan mampu mencegah korupsi. []


Oleh: Nurjannah Sitanggang 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar