Topswara.com -- Air merupakan bagian penting dari kehidupan, banyak dari aktivitas manusia yang selalu berkaitan dengan air. Sebagian tubuh manusia juga terdiri dari air, tanpa air, manusia akan mengalami dehidrasi, tanpa air, manusia juga akan mengalami kesulitan dalam beraktivitas.
Air memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia, lantas bagaimana jika kita dihadapkan pada situasi sulit untuk mengakses air bersih atau mengalami krisis air secara keseluruhan?
Sejak 7 November 2024, sebanyak 10.000 warga Gili Ketapang, Probolinggo, Jawa timur mengalami krisis air bersih, hal ini disebabkan oleh putusnya pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di bawah laut sebab tersangkut jangkar kapal (kompas.com, 03/12/2024).
Sementara itu di Bengkalis, Perumda Air Minum Tirta Terubuk Kabupaten Bengkalis akan melakukan pengurangan kapasitas air bersih ke pelanggan menjadi 60% mulai 6 Desember 2024 dikarenakan adanya peningkatan kapasitas produksi Instalasi Pengolahan Air (IPA) dengan sistem nano filter (rri.co.id, 05/12/2024).
Persoalan kurangnya air bersih telah menjadi persoalan klasik yang tak kunjung usai. Dari dulu hingga sekarang, tak hanya warga Gili Ketapang ataupun warga Bengkalis, tapi masih banyak warga di daerah lain kerap mengalami krisis air bersih.
Seperti warga di wilayah Tanah Kali Kedinding yang belum terakses paving dan air PDAM, atau daerah timur Indonesia seperti NTB dan NTT yang sangat sulit mengakses air bersih. Padahal negeri kita dikenal sebagai negara maritim, yaitu negara yang dikelilingi perairan yang luas dan memiliki sumber mata air yang berlimpah.
Mirisnya, krisis air bersih di beberapa daerah yang masih berlangsung hingga saat ini, terjadi di tengah isu monopoli sumber mata air untuk industri, alih fungsi lahan yang merusak daerah resapan, dan pencemaran DAS akibat buruknya tata lingkungan, industrialisasi serta buruknya perilaku masyarakat. Tata kelola air yang buruk yang menyebabkan terjadinya krisis air bersih merupakan buah dari diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini.
Sistem kapitalisme telah meniscayakan kondisi pengelolaan sumber daya air yang selalu tidak kondusif dan tidak tepat terus terjadi hingga masyarakat terus menerus mengalami krisis air, jangankan air yang berkualitas dan gratis, air bersih pun akan sulit untuk diakses.
Terbukti, sistem kapitalisme telah membuat negara mengabaikan perannya sebagai ra’in, alih-alih memperbaiki tata kelola air dan mengupayakan rakyat memperoleh air bersih, negara malah kerap bertindak sebagai pedagang melalui berbagai kebijakannya yang cenderung menyerahkan pengelolaan air kepada swasta atau para kapitalis yang sudah pasti bertujuan mencari profit yang sebesar-besarnya dengan menjadikan kebutuhan dasar akan air sebagai produk yang diperjualbelikan.
Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan telah menjadi salah satu kebutuhan dasar. Manusia memanfaatkan air untuk berbagai kepentingan, seperti memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, membantu proses produksi, irigasi, sebagai pembangkit tenaga listrik dan lain sebagainya.
Air termasuk dalam salah satu kebutuhan yang vital dan dasar bagi manusia, maka dari itu, Islam menetapkan aturan yang tegas terkait pengelolaan air.
Dalam Islam, sumber mata air, sungai, laut, selat, teluk dan danau memiliki status sebagai kepemilikan umum yang dilarang untuk dikomersialisasi.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “ Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput dan api” (HR. Ibnu Majah).
Kedudukan air sama halnya dengan sumber daya alam lain seperti tambang, migas, hutan dan lainnya yang tidak boleh dikapitalisasi atau diswastanisasi dan wajib sepenuhnya dikelola oleh negara yang hasilnya akan dipergunakan untuk kemaslahatan rakyat. Negara dalam Islam akan mengupayakan tata kelola yang optimal agar keberadaan sumber daya air terpelihara dengan baik dan berkelanjutan.
Negara akan mengelola dan mendistribusikan air secara merata ke seluruh wilayah dengan mendirikan industri air bersih yang berteknologi canggih hingga semua orang dapat mengakses air dengan mudah dan gratis kapan pun dan di mana saja.
Pengelolaan air pada masa peradaban Islam dikenal sebagai sistem pengelolaan air terbaik, sebagai contoh yang dilakukan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid pada 789, beliau membangun waduk di bawah tanah yang memiliki fungsi menampung air hujan dan sebagai jalur transportasi perdagangan di kota Ramla, hingga saat ini waduk tersebut masih mampu memberikan manfaat bagi penduduk kota tersebut dan telah menjadi salah satu situs sejarah dunia.
Tak ada aturan terbaik selain sistem Islam karena hanya dalam Islam, kehidupan berjalan dengan aman dan tenang, dan hanya dalam Islam pula seorang pemimpin menjalankan fungsinya sebagai ra’in atau pengurus kepentingan rakyat dan sebagai junnah atau pelindung rakyat, bukan pengurus atau pelindung kepentingan para kapitalis atau konglomerat. []
Oleh: Irohima
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar