Topswara.com -- Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, mengingatkan warga untuk mewaspadai potensi bencana banjir yang biasa menggenang saat musim hujan.
Kepala Pelaksana Harian BPBD Kabupaten Bandung, Uka Suska mengatakan berdasarkan prediksi BMKG, saat ini wilayah Kabupaten Bandung sudah memasuki musim penghujan sehingga potensi bencana banjir dan longsor cukup tinggi.
Uka mengimbau agar masyarakat mewaspadai potensi terjadinya bencana banjir sementara pihaknya akan melakukan sosialisasi kepada daerah rawan banjir agar masyarakat bisa meningkatkan kewaspadaannya. Salah satu daerah yang telah diberi sosialisasi adalah Desa Pananjung, Kecamatan Cangkuang. Daerah ini kata Uka, memiliki potensi bencana longsor dan banjir saat musim hujan. (Ayobandung.com, 18/10/2024)
Pergantian musim biasa terjadi antara bulan April hingga Oktober. Dan perkiraan awal musim hujan kali ini akan terjadi di bulan Oktober. Kemudian perkiraan puncak musim penghujan terjadi di bulan Desember dan Januari. Saat musim hujan, banjir menjadi hal yang kerap dikhawatirkan.
Banjir umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi alam dan ulah manusia. Curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor alam yang mengakibatkan naiknya volume air di wilayah daratan. Intensitas hujan yang tinggi dapat menyebabkan daerah aliran air seperti sungai tidak lagi mampu menahan air yang ada. Alhasil, air sungai akan meluap dan menggenangi wilayah daratan yang biasanya kering.
Faktor lain yaitu karena ulah manusia yang menyebabkan banjir, seperti penebangan pohon tanpa melakukan tebang pilih dan reboisasi. Dan penebangan pohon secara liar ini dapat menyebabkan hutan menjadi gundul dan berkurangnya pohon sebagai penyerapan air.
Minimnya daerah resapan air menjadi persoalan turunan dari faktor manusia yang menjadikan daerah resapan dialihfungsikan menjadi gedung atau infrastruktur. Padahal, daerah resapan air yang memadai amatlah penting. Ia merupakan salah satu untuk mencegah terjadinya banjir karena fungsinya sebagai jalur resapan air hujan ke dalam tanah.
Wilayah yang minim daerah resapan air, khususnya di kota-kota besar rawan terjadi banjir. Saat ini, daerah serapan banyak tertutup aspal dan beton, membuang sampah sembarangan juga jadi salah satu penyebab banjir. Perilaku ini jelas memberi dampak buruk bagi lingkungan dan mengundang berbagai bencana alam.
Pemerintah memang telah berupaya melakukan hal-hal yang dapat mengurangi banjir seperti: membuat waduk yang dapat menampung air hujan, selain itu membersihkan gorong-gorong air dan drainase, melakukan pembersihan sampah dan pengerukan sungai, dan mengimbau agar masyarakat tidak membuang sampah sembarangan.
Namun nyatanya bencana banjir terus berulang setiap musim hujan datang. Bahkan, ada kawasan-kawasan tertentu yang menjadi langganan banjir setiap tahunnya. Ini membuktikan solusi yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi banjir belum menyentuh akar sebenarnya.
Berulangnya bencana banjir yang melanda beberapa daerah Indonesia erat kaitannya dengan pembangunan kapitalistik yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam. Wilayah yang mestinya menjadi daerah serapan, ternyata sudah dipenuhi permukiman.
Pembangunan properti telah mengubah bentang alam di daerah hulu sehingga terjadi degradasi atau deforestasi kawasan hutan. Begitu juga dengan pembangunan fasilitas umum, seperti jalan, sekolah, dan rumah sakit, pembangunannya dilakukan tanpa memperhatikan lingkungan.
Demi mengejar cuan, pembangunan dilakukan secara serampangan. Inilah dampak pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan dan abai atas dampak terhadap lingkungan dan tata kota secara keseluruhan.
Oleh karena itu, permasalahan utama banjir sejatinya disebabkan oleh faktor kebijakan kapitalistik-eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.
Keserakahan para oligarki yang dipayungi hukum menjadikan menjamurnya perumahan elite, mal-mal dan pusat pertokoan, serta puluhan apartemen yang menjulang di kota-kota besar.
Penguasa dengan mudahnya memberikan izin lahan untuk dijadikan alih fungsi lahan pertanian dijadikan pembangunan tanpa memperdulikan imbasnya ke masyarakat. Meluasnya banjir di setiap daerah, ini menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkram di negeri ini.
Berbeda dengan pembangunan di dalam Islam. Aspek keuntungan materi tidak menjadi tujuan satu-satunya dalam paradigma pembangunan Islam. Acuan dalam kebijakan pembangunan adalah sesuai syariat Islam dan untuk kemaslahatan rakyat.
Pembangunan dalam Islam akan memperhatikan penjagaan terhadap lingkungan sehingga alam tetap terjaga. Pembangunan dalam Islam hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat seperti pembangunan kawasan industri, permukiman, sekolah, jalan umum, atau kawasan wisata.
Namun jika sekiranya pembangunan tersebut dapat merusak alam dan merugikan masyarakat, maka akan dilarang. Pembangunan dalam Islam juga mengandung visi ibadah, dan jika bertentangan dengan aturan Allah atau dapat menzalimi rakyat, maka pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan.
Dalam Islam, negara adalah raa’in (pengurus) rakyat yang bertanggung jawab terhadap nasib rakyat, termasuk saat terjadi bencana.
Sabda Rasulullah SAW,
"Imam (pemimpin) adalah pengurus, ia bedtanggung jawab atas urusan rakyatnya." (HR. Muslim).
Sebelum terjadi banjir negara akan secara sungguh-sungguh melakukan mitigasi secara disiplin, membuat gorong-gorong, drainase yang baik, mengimbau setiap masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan, dan melarang siapa saja melakukan alihfungsi lahan serta memberi sanksi tegas bagi pelakunya sehingga bisa meminimalkan risiko akibat bencana banjir.
Adapun setelah terjadi banjir, maka negara akan melakukan tanggap darurat secara cepat, memberikan tempat pengungsian terbaik beserta makanan dan obat-obatannya, juga mengedukasi mereka dengan Islam, bahwa bencana merupakan salah satu ujian yang diturunkan Allah.
Khilafah akan mengerahkan segala sumber daya yang ada demi segera terselesaikannya bencana banjir, meski untuk itu butuh biaya yang besar. Negara Islam akan menjamin ketersediaan dana dalam menanggulangi bencana banjir.
Negara tidak akan melimpahkan tanggung jawabnya pada swadaya masyarakat. Berapa pun dana yang dibutuhkan, di dalam baitulmal khilafah terdapat pos khusus untuk keperluan bencana alam. Biaya yang dikeluarkan diperoleh dari berbagai pos pendapatan seperti fa'i dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum. Apabila tidak mencukupi, penguasa akan meminta pajak/daribah kepada para agniya.
Penguasa dalam Islam berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya berjalan sesuai syariat Islam yang diterapkan secara keseluruhan. Syariat inilah yang mengatur segala aspek kehidupan dari yang halal sampai haram. Islam Rahmatan Lil Alamin bisa dirasakan oleh seluruh alam.
Wallahu a'lam bi asshawwab.
Oleh: Popon Marliah
Pegiat Literasi
0 Komentar