Topswara.com -- Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN atau pajak konsumsi dari 11 persen menjadi 12 persen yang targetnya mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kenaikan tarif ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pemerintah mengatakan kenaikan ini dibutuhkan untuk menjaga kesehatan APBN di saat prospek penerimaan seret akibat kondisi global yang tidak pasti. Kenaikan ini akan mengenai barang kebutuhan harian seperti pakaian, sepatu, alat elektronik, perlengkapan xkebersihan, obat, dan kosmetik yang akan langsung dirasakan masyarakat.
Faktanya, berbagai indikator menunjukkan, daya beli masyarakat sedang tertekan. Hal itu tecermin lewat data pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selama empat triwulan berturut-turut telah tumbuh di bawah 5 persen. Secara beruntun, 4,47 persen pada triwulan IV-2023; 4,91 persen (triwulan I-2024); 4,93 persen (triwulan II-2024); dan 4,91 persen (triwulan III-2024).
Dapat disimpulkan bahwa keputusan pemerintah dalam teramat menyulitkan masyarakat. Mereka terus dibebani berbagai tagihan bulanan yang berat seperti biaya kesehatan, pendidikan, serta pajak yang semakin banyak jenisnya.
Beban pengeluaran itu tak diimbangi dengan pendapatan yang cukup. Bahkan, sumber penghasilan mereka akan terancam mengingat kenaikan PPN ini akan berdampak pada banyak perusahaan.
Lapangan pekerjaan yang ada saat ini jauh dari harapan yang diharapkan masyarakat. Jumlah lapangan pekerjaan dan jumlah penduduk yang ada dalam negeri tak sebanding. Beberapa jenis pekerjaan malah dialihkan kepada warga negara asing.
Dalam hal ini, negara kerap berdalih dengan berbagai alasan yang salah satunya adalah alasan profesionalitas. Rakyat kelimpungan sendiri mencari penghidupan.
Beberapa yang memiliki modal memilih untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri. Dengan modal seadanya, rakyat mencoba membuka UMKM. Namun, usaha ini tergerus arus impor yang kian tinggi sedangkan dukungan bantuan modal ataupun bantuan lain tak sebanding dengan tantangan yang harus dihadapi. Rakyat berjuang dengan kaki sendiri tanpa adanya pelindung.
Lalu, bagaimana pemenuhan kebutuhan harian jika tak ada pemasukan yang memadahi?
Berbagai permasalahan tersebut muncul akibat dari sistem kapitalis yang ada saat ini. Kapitalis akan selalu diutamakan, rakyat akan dikesampingkan. Untung rugi dalam bernegara menjadi hal biasa, sehingga hilang esensi negara sebagai pelindung dan penjamin kehidupan rakyat.
Pajak yang digaungkan sebagai sumber penghasilan utama negara tak ada bekasnya untuk rakyat. APBN yang selalu membengkak, hutang yang kian bertambah. Entah bagaimana aliran dananya, namun rakyat terus menerus dirugikan tak dapat imbal baliknya.
Pajak adalah beban yang tak seharusnya diterima rakyat, jika sistem ekonomi Islam diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Justru rakyat akan mendapatkan kompensasi dari negara hasil dari pengelolaan sumber daya alam yang baik serta pos-pos pendapatan negara yang jauh dari kata defisit. Bukan seperti saat ini, negara berpihak pada asing dan para pemilik modal.
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang telah Allah beri amanah untuk mengurus urusan rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan memperdaya rakyatnya, kecuali ia tidak akan mencium bau surga.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Hal ini harus menjadi perhatian bagi negara dan penyelenggaranya. Aturan yang menyengsarakan harus segera diganti dengan aturan yang mensejahterakan. Aturan manusia pasti tak sempurna, tak pernah menyelesaikan hingga tumpang tindih. Negara harus mencari solusi lain dari sistem yang ada saat ini.
Wallauhu’alam bishawab.
Hima Dewi, S.Si.,M.Si.
Aktivis Muslimah
0 Komentar