Topswara.com -- Penjabat Gubernur Jabar, Bey Machmudin, dalam kunjungannya ke Desa Cibiru Wetan, Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, menyatakan bahwa Desa Cibiru Wetan merupakan bentuk nyata dari desa mandiri yang mampu menggerakkan ekonomi.
Terdapat area ketahanan pangan di lahan seluas kurang lebih 2.000 meter persegi dengan berbagai tanaman. Selain itu Desa Cibiru Wetan mampu mengelola sampah secara mandiri sejak 2020. Ada bermacam fasilitas seperti perpustakaan digital, pelayanan administrasi yang ramah dan sigap serta penataan bantuan langsung tunai (BLT) yang rapi serta tertata. (Tribunjabar.id 8/11/2024)
Dari hasil kunjungannya, Bey berharap Desa Cibiru Wetan dapat menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di Jabar untuk membangun kemandirian dan ketahanan pangan.
Sepintas apa yang disampaikan Bey tidak ada yang salah. Pelayanan sigap dan ramah, tercipta ketahanan pangan, dan mampu mengatasi masalah sampah, diharapkan semua orang. Hanya saja kalau ketahanan pangan dan masalah sampah dibebankan kepada tingkat desa, belum tentu setiap desa memiliki kemampuan dan potensi yang sama.
Terlebih bagaimana dengan peran negara? Bukankah menciptakan ketahanan pangan dan menyelesaikan masalah kehidupan lainnya adalah tanggung jawab negara?
Terlalu dini, hanya dengan indikator di atas, sebuah desa dikatakan desa mandiri yang mampu menggerakkan ekonomi, sehingga pantas menjadi inspirasi bagi desa lainnya. Bagaimana dengan masyarakat sekitarnya? Apakah individu per individu sudah tercukupi kebutuhan pangannya atau masih banyak yang kekurangan?
Secara nasional tidak bisa kita pungkiri, sulitnya lapangan kerja, mahalnya biaya hidup termasuk pangan telah melemahkan daya beli masyarakat. Jika persoalan ketahanan pangan berharap masing- masing desa mampu menyelesaikan, sama saja dengan negara berlepas tangan. Aneh juga, desa dianjurkan mandiri, sementara negara terus memberlakukan impor.
Itulah sistem kapitalisme, yang menitikberatkan pada keuntungan. Melalui berbagai program semisal perlombaan antar desa, telah menyibukkan dan melenakan masyarakat agar dapat nilai tinggi di mata penguasa.
Padahal ada maksud terselubung yaitu memberdayakan masyarakat agar mampu mandiri, tidak menjadi beban negara.
Kapitalisme menganggap rakyat sebagai beban bukan amanah. Kata"mandiri" menjadi jurus jitu untuk terus mengurangi subsidi. Negara sangat berharap rakyat tidak merepotkan dan mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Keberhasilan ala kapitalisme mencukupkan diri dengan nilai dan menjadi juara. Setiap desa didorong untuk berlomba semandiri mungkin, tanpa mempertanyakan kemana larinya kekayaan alam melimpah, dan berbagai pungutan pajak. Negara bukannya mengurangi beban rakyat tetapi terus menambah beban rakyat dengan naiknya pajak.
Fungsi negara dalam kapitalisme berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam negara atau penguasa diposisikan sebagai pelayan rakyat. Jika menyia-nyiakan atau mengelabui juga menipu rakyatnya akan berhadapan dengan hisab Allah SWT.
Negara yang dibangun atas pondasi akidah, tidak menjadikan untung rugi dalam pelayanan dan kepengurusan. Negara akan mencurahkan kemampuannya memakmurkan rakyat dan menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapinya.
Negara tidak melibatkan masyarakat dalam berbagai perlombaan yang isinya adalah pemberdayaan. Kekayaan berlimpah akan berbanding dengan kesejahteraan rakyat. Negara dikatakan berhasil jika individu per individu terpenuhi segala kebutuhannya, bukan hitungan rata-rata.
Di masa kekhilafahan yang awalnya sampah dikelola masing- masing kemudian diambil alih oleh negara, mulai dari pembiayaan sampai penyediaan lahan serta alat-alat pengolahan.
Begitupun untuk ketahanan pangan, tidak diserahkan kepada masing-masing wilayah. Khalifah Umar ketika mendapati suatu wilayah yang kekurangan pangan, maka beliau mengambil kebijakan membeli dari wilayah yang surplus untuk didistribusikan ke wilayah yang kekurangan. Negara hadir ketika rakyat berhadapan dengan kesulitan.
Untuk menciptakan ketahanan pangan, negara pun memberlakukan kebijakan sesuai syariat. Setiap tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut oleh pemiliknya akan diambil alih oleh negara dan diberikan kepada siapapun yang mampu mengolahnya.
Negara tidak akan membiarkan tanah produktif ditelantarkan pemiliknya. Juga tidak akan membiarkan alih fungsi lahan yang tak terkendali, sehingga mengurangi hasil pangan dan tergantung pada impor.
Sungguh sudah semestinya kita rindu berada dalam pengaturan Islam yang menyejahterakan.
Wallahu a'lam bi ash shawwab.
Oleh Samratul Ilmi
Pegiat Dakwah
0 Komentar