Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Single Parent

Topswara.com -- Um, tidak ada orang yang sengaja memilih untuk menjadi seorang ibu single parent. Andaikan bisa hidup bahagia bersama dengan suami, maka setiap wanita ingin tetap utuh dalam pernikahan. 

Akan tetapi qadha/takdir Allah tidak pernah ada yang tahu, ternyata pernikahan harus berakhir lalu seorang muslimah harus menjalani hidup sebagai single parent. Ibu yang sendiri membesarkan anak-anak mereka.

Bercermin pada Al-Qur’an, ternyata ada ibu yang sukses sebagai single parent. Maryam binti Imran adalah seorang single parent yang membesarkan putranya, Isa bin Maryam ra menjadi seorang nabi utusan Allah. 

Maryam sudah harus menghadapi ujian sejak kehamilan. Kaum Bani Israil mencurigai Maryam melakukan perbuatan asusila karena hamil tanpa ada suaminya, sampai kemudian Allah memberikan pertolongan pada wanita mulia ini. 

FirmanNya:
Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”, maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?” Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.” (TQS. Maryam [19]: 28-30)

Umahat yang hari ini sedang menjalani fase menjadi single parent juga bisa bercermin dari ibunda yang sukses mengantarkan anak-anak mereka menjadi ulama. Dalam buku Ibunda Para Ulama karya Sufyan bin Fuad Baswedan dikupas kisah sejumlah ibu-ibu single parent namun punya prestasi mencetak putra-putra mereka sebagai ulama.

Di antaranya ada ibunda Imam Syafi’i yang bernama Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah. Beliau berasal dari suku Al-Azd di Yaman. Garis keturunannya bersambung dengan Rasulullah Saw dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. 

Perempuan mulia ini membesarkan sendirian Imam Syafi’i yang menjadi yatim sejak usia dua tahun. Ada juga ibunda Imam Ahmad bin Hanbal, yang bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik As Syaibani dari Bani Amir. Kakek ibunda Imam Ahmad adalah pemuka Bani Amir. Shafiyah mendidik Imam Ahmad seorang diri ketika dia berusia tiga tahun setelah ayahnya meninggal.

Ini sejumlah tips agar ummahat tetap bahagia dan Islami saat menjalani hidup sebagai single parent bersama anak-anak tersayang;

1. Berpikir Positif Terhadap Qadha/Takdir Allah Swt

Seorang muslim dan muslimah wajib mengimani setiap musibah yang menimpa diri dan keluarga adalah ketetapan Allah Swt. FirmanNya:

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”. (TQS. At-Taubah [9]: 51).

Bersedih atas perceraian atau karena kematian suami tercinta adalah fitrah, akan tetapi janganlah berlarut-larut apalagi dibarengi sikap menyalahkan takdirNya. Tetap berprasangka baik pada Allah maka Allah akan memberikan ketenangan.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 216).
Seringkali seorang muslimah baru tahu kebaikan yang akan ia raih dari Allah setelah sekian waktu hidup sebagai single parent.

2. Menata Agenda Kehidupan yang Baru

Setelah tidak ada suami yang juga ayah untuk anak-anak, para umahat harus menata agenda kehidupan yang baru. Terutama untuk para ibu yang kemudian menjadi tulang punggung keluarga, maka harus menata ulang agenda kegiatan dengan seksama. Sebab, kini harus seorang diri menjadi pendidik dan kawan untuk anak-anak.

Aturlah kegiatan di tempat bekerja agar tidak kehilangan fokus membersamai anak di rumah. Benar, di alam kapitalisme seperti sekarang, banyak single parent yang sendirian menafkahi keluarga. 

Apalagi bila keluarga besar tidak mampu menopang kehidupan anggota keluarganya. Akan tetapi jangan sampai seorang ibu berlebihan dalam bekerja yang berdampak kehidupan anak tercecer.

3. Cermat & Qona’ah dalam Keuangan

Dengan ketiadaan suami, maka sumber nafkah untuk keluarga juga berkurang. Sebagian ummahat ada yang berkarir, sebagian lagi ada yang sebagai ibu rumah tangga yang seringkali terpaksa harus bekerja mencari nafkah. 

Dalam kondisi ini, maka ummahat mesti kelola keuangan dengan cermat. Memangkas pengeluaran yang tidak perlu dan fokus untuk kebutuhan-kebutuhan pokok.

Tidak kalah penting, ummahat dan anak-anak patut menguatkan sikap qona’ah. Merasa cukup dengan karunia Allah yang ada, serta banyak bersyukur. Dua sikap ini terpuji di mata Allah, dan justru Allah akan tambahkan lagi karuniaNya. 

Firman Allah:
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (TQS Ibrahim [14]: 7).

4. Bicara Pada Anak-Anak

Tentu bukan berbagi kesedihan pada mereka, tapi berbicara untuk saling menguatkan dan menata kehidupan yang baru. Jangan biarkan satu musibah merampas kesempatan ummahat untuk tetap berkasih sayang dan berbahagia bersama anak-anak.

Bicaralah dengan mereka untuk mulai membangun mental yang sehat pasca tiadanya ayah, belajar untuk sabar dan rido dengan takdir Allah, menata keuangan bersama, dan bersama circle pertemanan yang sehat. Sehingga ummahat bersama anak-anak dapat bersinergi untuk menata kehidupan baru yang sehat dan Islami.

5. Buat Aturan Bersama Anak

Tidak cukup hanya berbicara dan saling menguatkan, tapi buatlah aturan untuk disepakati dan dijalani bersama. Misalnya, anak-anak harus sudah mulai berusaha untuk mandiri sesuai usia mereka. Mengerjakan tugas-tugas sekolah, menjaga ibadah, dan pergaulan. 

Sementara umahat juga mengatur jadwal bersama anak-anak, baik untuk agenda sekolah maupun untuk family time. Beranilah untuk menolak agenda atau pekerjaan tambahan bila merampas waktu bersama anak-anak.

6 . Jaga Pergaulan

Tidak kalah penting untuk umahat tetap menjaga pergaulan sesuai tuntuntan syariat, karena inilah yang akan menyelamatkan. Pahami fase iddah bagi wanita yang bercerai serta hukum-hukum syara tentangnya.

Selanjutnya jaga pergaulan dengan lawan jenis, agar tidak jatuh pada ikhtilat yang terlarang. Jangan biarkan emosi membuat ummahat mudah curhat pada orang yang tidak amanah, apalagi terhadap lawan jenis. Bila memang keinginan untuk kembali membangun rumah tangga, maka jalani sesuai syariat[]

Oleh: Ustaz Iwan Januar 
Pengamat Sosial dan Politik 


iwanjaniar.com
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar