Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rohingnya Seperti Itik Kehilangan Induknya

Topswara.com -- Sungguh malang! Di Indonesia kondisi muslim Rohingya tenggelam oleh pemberitaan Gaza dan hiruk pikuk pemerintahan baru. Berdasarkan laporan UNHCR tercatat pada Kamis 24 Oktober 2024 terdapat 152 imigran Rohingya yang terdiri dari 20 anak-anak, 62 perempuan dan 70 laki-laki berlabuh di pesisir Deli Serdang, Sumatera Utara (cnnindonesia.com, 25/10/2024).

Masalah menahun Rohingya seakan tidak berpangkal. Mirisnya dunia tak berdaya, diam seribu bahasa seakan tidak terjadi apa-apa. Mengapa demikian? Akankah mereka terus hidup menjadi manusia perahu? 

Terjerat Nasionalisme 

Hingga kini masalah Rohingya masih menjadi permasalahan internasional. Konflik yang terjadi di tempat asal mereka (Myanmar), memaksa untuk meninggalkan negara mereka sendiri. Berbondong-bondong mengarungi lautan yang luas dengan kapal seadanya mengharap perlindungan dan sambutan hangat dari negara lain. 

Namun lagi-lagi bagai punuk merindukan bulan. Negara yang mengadopsi sistem kehidupan sekularisme, mengusung paham nasionalisme dan demokrasi mustahil mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi umat saat ini, termasuk masalah Rohingya. 

Pada Skala Internasional, peraturan terkait suaka internasional dan pengungsi telah diatur dalam The 1951 Refugee Convention. Di mana UNHCR menyatakan hak-hak pengungsi internasional serta kewajiban setiap negara untuk menerima pengungsi tersebut. Intinya tidak boleh mengembalikan pengungsi ke tempat di mana mereka dihadapkan dengan ancaman yang serius terhadap kehidupan atau kebebasan mereka. 

Perjanjian ini tidak berjalan semulus yang diharapkan walau telah diratifikasi oleh 146 negara. Faktanya, banyak negara yang menolak kedatangan pengungsi Rohingya. Bahkan PBB hanya mengeluarkan 2 resolusi Dewan Keamanan yang tidak bisa menghentikan kekerasan. Negeri muslim di ASEAN tidak mampu bersikap tegas kepada Myanmar dengan alasan non interference policy.

Alih-alih mengeluarkan kebijakan tegas terkait penanganan Rohingya, pemerintah Indonesia justru menyerahkan penanganan ke masyarakat dan mengandalkan dana UNHCR dan IOM dengan dalih Indonesia tidak meratifikasi konvensi 1951 tentang pengungsi. 

Maka bukan suatu hal yang wajib bagi Indonesia untuk menangani pengungsi Rohingya. Inkonsistensi satu aturan dengan berbagai solusi yang ditawarkan terkesan bahwa Indonesia tidak memiliki keinginan kuat untuk menuntas persoalan Rohingya. Tawaran repatriasi justru menyempurnakan genosida terhadap Rohingya. 

Tawaran resettlement, dengan tetap mengandalkan kehidupan mereka di bawah tanggungan UNHCR dan IOM tidak mampu menyelesaikan problem mendasar Etnis Rohingya akan kewarganegaraan. Parahnya banyak negara menawarkan solusi yang tidak manusiawi yaitu push back policy (dorong Kembali ke laut). 

Islam Mampu Tuntaskan Masalah Rohingya 

Masalah Rohingya merupakan masalah umat islam. Namun pemahaman ini hilang dari benak kaum muslimin tidak terkecuali para pemimpin negeri-negeri muslim. Nasionalisme berhasil meracuni kaum muslim dengan racun 'persoalan Rohingya adalah masalah negara lain'. Efek yang ditimbulkan dari racun ini adalah hilangnya rasa tanggung jawab untuk menolong dan memberikan perlindungan kepada muslim Rohingya.

Dalam islam telah jelas, tidak ada perbedaan di kalangan ulama terkait kewajiban menolong dan membela sesama Muslim. Rasulullah Saw. bersabda: 

“Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya. Tidak menzalimi dan tidak membiarkan saudaranya disakiti. Siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, Allah akan membantu kebutuhannya. Siapa yang menghilangkan satu kesusahan saudaranya, Allah akan menghilangkan satu kesusahannya dari kesusahan Hari Kiamat” (HR al-Bukhari). 

Hadis ini berlaku umum ditujukan kepada kaum muslim tanpa membedakan suku bangsa maupun ras untuk saling tolong-menolong, dan tidak membiarkan saudaranya disakiti. 

Setidaknya terdapat dua penyebab utama yang harus dituntaskan kaum Muslim dalam berbagai persoalan khususnya masalah pengungsi Rohingya. Pertama, menghancurkan tembok-tembok nasionalisme yang menghalangi kaum Muslim untuk mengulurkan tangan kepada Muslim lainnya. 

Paham nasionalisme menjadi pemicu munculnya kebencian terhadap bangsa lain sekalipun mereka sesama muslim. Akibatnya, timbul berbagai provokasi untuk mengusir kedatangan pengungsi dari negara lain. 

Padahal nasionalisme adalah salah satu jenis fanatisme kelompok yang diharamkan Islam. Kedua, menciptakan pelindung yang hakiki untuk umat dalam skala internasional. Terbukti PBB dan berbagai badan yang ada di dalamnya tidak becus mencegah genosida serta menjamin keamanan bagi kaum Muslim. 

Mereka justru berpanjangan tangan dengan negara-negara Barat untuk menancapkan dominasi mereka di berbagai dunia. 

Seperti inilah nasib kaum Muslim. Bak itik kehilangan induknya. Tercecer dan terancam di mana-mana. Induk yang mampu melindungi dan menjaga kaum Muslim hanya khilafah. Dengan tegas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa keberadaan khilafah laksana perisai yang melindungi umat. 

Khilafah wajib menerima para pengungsi muslim yang lari dari penindasan di negerinya sebagai muslim yang hijrah, mengakui sebagai warga negara tanpa syarat. Muslim Rohingya yang masih tertinggal di negerinya wajib dibela dengan jihad fi sabilillah, yaitu mengirim pasukan untuk menghentikan kekerasan dan mengusir militer Myanmar dari Arakan. 

Khilafah tidak akan bekerjasama dan terikat pada konvensi apapun yang melancarkan penindasan pada muslim. Khilafah juga akan memaklumkan pada dunia bahwa siapapun yang menindas muslim akan berhadapan dengan kekuatan khilafah. 

Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Diyah Aulia Cahyani
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar