Topswara.com -- Cinta Bukan Kompetisi
Sobat sakinah, barangkali cukup sering kita mendengar ucapan seorang istri bertanya kepada suaminya, lebih kamu cintai siapa aku atau mantan istrimu? Atau sebaliknya seorang suami kepada istrinya, lebih kamu cintai aku atau mantan suamimu? Atau kasus lain, seorang istri bertanya, lebih kamu cintai aku atau istri pertamamu? Bisa juga, seorang istri bertanya lebih kamu cintai aku atau ibumu?
Atau mungkin juga kasus kasus lain.
Sebenarnya pertanyaan semacam ini tak layak ada muncul pada diri seorang suami atau istri shalihah. Mengapa? Karena dua hal:
Pertama, cinta itu bukan kompetisi, yakni bukan tentang siapa yang lebih dicintai. Siapa yang lebih dicintai istri atau ibu? Siapa yang lebih dicintai suami atau ayah? Siapa yang lebih dicintai istri pertama atau kedua?.
Karena tuntutan ini muncul dari sikap egois bahwa seseorang harus lebih dicintai bagi suami atau istrinya dibanding keluarga yang lain. Kemudian berkompetisi lah istri dengan ibu suami atau antara istri pertama dan kedua. Yang terjadi justru akan menjadi sumber konflik diantara mereka.
Kedua, merasa lebih dicintai atau tidak itu tidak penting. Atau ungkapan suami atau istri bahwa istri atau suaminya lebih dia cintai daripada orang tuanya juga enggak penting. Bahkan bisa menjadi ungkapan kebodohan.
Lalu apa yang penting? Yang penting suami atau istri tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik. Suami tetap menafkahi, membimbing, mengajari dan sayang sama istri. Dan istri tetap sayang dan taat kepada suami. Keduanya bukan ahli maksiat. Tetap taat kepada Allah. Itu sudah cukup. Enggak usah kita dibebani dengan perkara yang enggak penting.
Ketiga, Allah tidak menuntut seorang suami lebih mencintai istri atau orang tua. Atau istri pertama dari istri kedua. Namun Allah hanya menuntut suami memberikan hak-hak kedua orang tuanya yakni berbakti dengan tulus dan cinta kepada kedua ortunya. Juga hanya menuntut suami untuk memenuhi hak hak istrinya. Jika semua hal ini telah ditunaikan suami dengan baik maka itu cukup.
Keempat, Allah RasulNya hanya menuntut dalam hal cinta ini agar suami istri wajib lebih mencintai Allah, Rasul dan jihad di jalan Allah daripada ortu, suami, istri, anak, kaum kerabat, harta dan hobi atau pekerjaaan dan seluruh urusan dunia.
Artinya jika kita mengurus keluarga, bisnis, maka hanya kita urus sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Kita lakukan sesuai syariat Allah. Jangan sampai dengan alasan menafkahi istri kemudian bekerja secara haram.
Juga jika kewajiban memanggil untuk kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya makan tinggalkan semua perkara lain. Misalnya ketika kewajiban jihad memanggil maka tinggalkan keluarga dan bisnismu.
Allah berfirman dalam Surat At-Taubah Ayat 24
قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ
"Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik."[]
Oleh: Ustaz Abu Zaid
Ulama Aswaja
0 Komentar