Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Nasib Buruh dalam Pusaran Kapitalisme

Topswara.com -- Pekerjaan yang layak adalah hak fundamental yang diakui secara universal. Dalam konteks Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia serta berbagai peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Pekerjaan yang layak bukan hanya soal upah yang mencukupi, tetapi juga mencakup kondisi kerja yang aman, perlindungan sosial, dan kesempatan untuk berkembang secara profesional. 

Kesepakatan mengenai upah pekerja, khususnya buruh, menjadi diskursus yang tak pernah selesai. UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020 kembali dikaji ulang dan dilakukan perubahan aturan pada 7 November 2024. 

Penentuan UU baru melahirkan tiga komponen utama, yakni Komponen Hidup Layak (KHL), Dewan Pengupahan, dan Upah Minimum Sektoral (BBC News Indonesia, 5/11/24). MK mengatakan bahwa perubahan UU ditujukan agar substansi dari UU Cipta Kerja selaras dengan UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan. 

Hal ini juga dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan buruh serta pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja. Yang menjadi persoalan, apakah perundang-undangan ini terbukti efektif untuk menyelesaikan kisruh upah buruh di masyarakat?

Jawabannya, tidak. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, di Indonesia, hak ini diatur dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun, meskipun sudah ada regulasi yang mendukung, pada realitanya, tantangan ekonomi yang perlu dihadapi oleh umat sangatlah dinamis. 

Kesenjangan antara harapan dan kenyataan di pasar kerja semakin lebar. Kewajiban mencari nafkah menjadi semakin berat sebab untuk mencapai kesejahteraan serta pekerjaan yang layak. 

Selain problematika pemberian upah yang tidak sesuai, masyarakat juga perlu berjuang lebih keras untuk mendapatkan pekerjaan sebab ketersediaan lapangan kerja dengan jumlah angkatan kerja pada tahun ini memiliki kesenjangan yang cukup besar (rri.co.id, 5/8/24). 

Di Tanah Air regulasi ketenagakerjaan sering justru berpihak kepada pengusaha atau investor. Dengan dalih menyuburkan iklim investasi, yakni agar para investor mau berinvestasi dan membuka lapangan pekerjaan, beragam regulasi dibuat untuk kepentingan mereka dengan meminggirkan kepentingan tenaga kerja. memiliki bahan baku murah dan tenaga kerja yang juga bisa dibayar semurah-murahnya. 

Warga yang membutuhkan pekerjaan akhirnya terpaksa menerima tawaran upah yang murah karena kebutuhan nafkah. 

Akibatnya, terjadilah kesenjangan sosial yang amat dalam. Para pengusaha kaya raya, sedangkan buruh menderita
Islam memberikan perlindungan kepada buruh dengan memberlakukan tiga hal berikut: 

Pertama, perusahaan harus menjelaskan kepada calon pekerja jenis pekerjaan, waktu/durasi pekerjaan serta besaran upahnya. Mempekerjakan pekerja tanpa kejelasan semua itu merupakan kefasadan. 

Kedua, upah buruh tidak diukur dari standar hidup minimum di suatu daerah. Cara inilah yang dipakai sistem Kapitalisme di seluruh dunia. Dibuatlah standar upah minimum daerah kota/kabupaten atau provinsi. Akibatnya, kaum buruh hidup dalam keadaan minim atau pas pasan. 

Ketiga, perusahaan wajib memberikan upah dan hak-hak buruh sebagaimana akad yang telah disepakati, baik terkait besarannya maupun jadwal pembayarannya. 

Perusahaan haram hukumnya untuk mengurangi hak buruh, mengubah kontrak kerja secara sepihak, atau menunda-nunda pembayaran upah. 

Khilafah adalah negara yang bertanggung jawab penuh atas nasib rakyatnya. Khilafah yang menerapkan syariah Islam wajib menjamin kebutuhan hidup rakyat dengan memberikan lapangan pekerjaan, menjamin kebutuhan hidup seperti pendidikan dan kesehatan, serta menjaga keamanan mereka.


Oleh: Nabila A.S.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar