Topswara.com -- Fenomena childfree atau keputusan untuk tidak memiliki anak kian meningkat di Indonesia. DATAin dari Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, prevalensi perempuan childfree yang hidup di Indonesia saat ini sekitar 8 persen.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2022 mengestimasi angka tersebut terhadap perempuan berusia 15-49 tahun yang pernah kawin tapi belum pernah melahirkan anak dalam keadaan hidup. Serta tidak menggunakan alat KB. Diperoleh 71 ribu dari mereka tidak ingin memiliki anak.
Perempuan yang menjalani hidup secara childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Akan tetapi, gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi.
Dalam jangka pendek, perempuan childfree dapat dikatakan meringankan beban anggaran pemerintah karena subsidi pendidikan dan kesehatan untuk anak menjadi berkurang. Namun, dalam jangka panjang, kesejahteraan perempuan childfree usia tua akan berpotensi menjadi tanggung jawab negara (liputan6.com, 19/11/2024).
Padahal, keinginan mempunyai anak merupakan salah satu perwujudan dari adanya gharizah al-nau‘ (naluri melestarikan keturunan) yang telah Allah SWT anugerahkan pada setiap manusia. Naluri tersebut adalah fitrah yang menyertai penciptaan manusia dan mereka yang terjaga fitrahnya akan selalu memiliki keinginan untuk mempunyai anak dan mencintai anak mereka.
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”
(QS. Ali Imran: 14).
Namun, naluri tersebut kini telah dirusak dan diombang-ambingkan oleh arus pemahaman sekularisme kapitalisme. Anak dan keturunan tidak lagi menjadi harapan yang diidamkan kehadirannya, tapi justru dianggap bakal menjadi beban yang memberatkan orang tua. Alhasil, tidak sedikit dari mereka yang menyatakan belum ingin memiliki anak. Bahkan, ada yang terang-terangan memilih childfree.
Keberadaan anak dianggap menghambat karir. Atas nama kesetaraan gender pula, hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) muncul. Implikasinya adalah kendali perempuan atas tubuhnya. Gagasan HKSR tersebut membuat para perempuan merasa bebas mandiri untuk menentukan dengan siapa ia melakukan hubungan seksual, kapan ia mau menikah, apakah ia mau memiliki anak atau tidak.
Ide childfree seolah-olah mampu menjadi solusi lantaran masyarakat harus berhadapan langsung dengan kejamnya kehidupan dalam hutan rimba kapitalisme. Ideologi kapitalisme juga berasal dari Barat ideologi ini membuat kehidupan masyarakat selalu diliputi keresahan dan ketidakpastian, terutama ekonomi.
Pasalnya, ideologi kapitalisme melegalkan kebebasan kepemilikan. Kebebasan ini membuat kesenjangan sosial yang begitu dalam dan mengerikan, hingga kemiskinan struktural. Akhirnya, kesulitan hidup akibat penerapan kapitalisme ini semakin mendorong banyak perempuan memilih childfree.
Berikut berbagai alasan dikemukakan oleh mereka yang menyatakan childfree.
Pertama, khawatir dengan kondisi kehidupan yang penuh ketidakpastian masa depan. Beratnya kehidupan yang dijalani, semakin tingginya harga berbagai kebutuhan pokok, mahalnya biaya pendidikan, kesehatan dan perumahan, disusul dengan naiknya harga listrik, air, BBM dan lain-lain membuat sebagian orang merasa pesimis terhadap kehidupan mendatang.
Dengan kondisi yang ada saja, mereka tidak yakin bisa melewati kehidupan ini dengan aman, bahagia, dan sejahtera apalagi ditambah dengan kehadiran anak.
Kedua, kondisi ekonomi yang makin sulit lantaran sistem kapitalisme telah merampas keadilan dan kesejahteraan rakyat karena hanya berpihak kepada para pemilik modal.
Tidak sedikit realitas kehidupan menunjukkan para kepala keluarga kesulitan memberikan nafkah yang layak bagi anak dan istrinya karena sulitnya lapangan pekerjaan, kalau toh ada, gajinyapun hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Mereka pun terus terimpit kemiskinan bahkan utang semakin menjulang.
Akhirnya, muncul pemikiran bahwa kelahiran anak akan memperberat keadaan, karena secara finansial akan menambah biaya yang harus dikeluarkan.
Ketiga, bagi sebagian perempuan, kondisi kehamilan, proses melahirkan, masa menyusui, mengasuh, dan mengurus anak dianggap sebagai sesuatu yang dapat menghambat karir.
Keempat, kehadiran anak dianggap akan merampas kebebasan diri. Mereka khawatir ketika sudah memiliki anak tidak bisa lagi kumpul-kumpul bersama temannya, tidak bisa sekolah lebih tinggi lagi demi meraih prestasi tinggi.
Kelima, merasa tidak siap menjadi orang tua karena belum tahu ilmunya dan tidak memiliki kecakapan yang cukup. Menurut mereka, pilihan tidak memiliki anak adalah keputusan yang tepat daripada nantinya tidak bisa mengurus anak dengan baik dan menelantarkan mereka.
Ditambah lagi, masyarakat telah dididik dengan sistem pendidikan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka wajar, suasana khawatir atas rezeki, tidak percaya pada konsep rezeki, tidak mau repot mengurus anak, anak dianggap sebagai beban menjadi alasan logis untuk memilih childfree. Karena mereka menjadikan fakta sebagai sumber hukum.
Bahkan kehidupan sekularisme kapitalisme membuat keputusan childfree hanya mempertimbangkan manfaat dan kesenangan tanpa pertimbangan agama sama sekali. Parahnya, paham childfree diberi ruang oleh negara kapitalisme dengan dalih hak asasi manusia (HAM).
Oleh karena itu, umat Islam khususnya Muslimah seharusnya menolak ide childfree ini. Pasalnya, ide ini muncul dari ide feminisme yang dipelihara oleh sistem kehidupan sekularisme kapitalisme. Ide childfree ini jelas bertentangan dengan akidah Islam.
Oleh sebab itu, tidak layak seorang Muslimah menjadi corong untuk mengkampanyekan ide childfree. Karena para Muslimah adalah ibu peradaban, bukan childfree.
Islam memandang perempuan adalah makhluk mulia dan memiliki peran strategis. Dari rahim merekalah lahir generasi dan mendidiknya agar menjadi pribadi yang bertakwa. Tugas ini sangat berat karena itu, ada syariat khusus yang diberikan kepada perempuan agar mereka bisa optimal mengerjakan kewajiban yang telah Allah Swt. berikan, yaitu sebagai al-umm wa rabbatul bayt dan madrasatul ula.
Islam memberi motivasi bahwa dalam setiap kepayahan selama proses mengandung dan melahirkan serta proses hadhanah generasi terdapat pahala terbaik dari Allah SWT. Bagi Muslimah, memiliki anak bukanlah beban, melainkan amanah yang akan menjadi ladang pahala bagi orang tua.
Motivasinya bukan kepentingan dunia yang receh, tapi sudah di level motivasi akhirat. Motivasi ini akan membuat para ibu ikhlas, ridha dan istiqamah bersabar mendidik anak-anak mereka.
Dalam Islam, perempuan dibebaskan dari tanggung jawab nafkah dan syariat justru menetapkan nafkah perempuan ditanggung suaminya, ayahnya atau walinya.
Ketentuan ini dijelaskan dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 233, surah At-Talaq ayat 7, surah Saba' ayat 39. Agar syariat ini berjalan dengan maksimal, maka khilafah akan membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi setiap laki-laki agar mereka mampu memenuhi nafkah istri secara makruf.
Di sisi lain, dengan didukung sistem ekonomi Islam, maka negara khilafah akan mampu menyediakan kebutuhan dasar publik yang meliputi kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis dan berkualitas untuk warga negaranya. Tidak ada monopoli atau liberalisasi kebutuhan (hajat) publik.
Pelaksanaan syariat ini akan menjamin kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidak akan ditemui lagi masa depan penuh ketidakpastian. Karena semua sudah dijamin oleh negara khilafah. []
Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis
0 Komentar