Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mobilisasi Kades untuk Suksesi Pilkada: Ambisi Cacat Berkuasa

Topswara.com -- Pemilihan kepala daerah (disingkat Pilkada) menjadi event 5 tahunan yang rutin diselenggarakan Indonesia untuk memilih pejabat di daerah. Pilkada biasanya dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia untuk memilih gubernur, bupati, dan juga walikota. 

Di tahun 2024 ini, Pilkada serentak dilaksanakan pada 27 November 2024 di berbagai wilayah di Indonesia. Banyak yang melihat pilkada sebagai cara terbaik mewujudkan pemilihan kredibel seorang pemimpin di wilayahnya, namun tidak sedikit juga problem yang timbul dari pelaksanaan Pilkada itu sendiri. Salah satunya adalah mobilisasi kades untuk memenangkan paslon tertentu. 

Dilansir dari tirto.id (26/10/24), tim Bawaslu Kota Semarang berhasil menggerebek pertemuan tertutup yang dilakukan para kepala desa (kades) dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah di Gumaya Tower Hotel, Semarang. 

Pertemuan ini diduga menjadi ajang suksesi salah satu paslon di ajang Pilkada Jawa Tengah. Ini bukanlah kali pertama, sepekan sebelumnya penggerebekan juga dilakukan pada pertemuan yang dilakukan oleh sekitar 200 kades dari Kabupaten Kendal di Graha Padma Semarang. 

Menurut Nur Hidayat Sardini, Pakar Politik Universitas Diponegoro, mobilisasi kades menjadi langkah yang mungkin dilakukan oleh para calon yang ingin memperoleh suara dengan berbagai cara. Hal ini karena menurut Nur Syamsudin, pakar politik UIN Walisongo, seorang kades memiliki posisi strategis mengingat dia mengepalai langsung mulai dari perangkat desa, ketua rukun warga, bahkan ketua rukun tetangga. 

Posisi seorang kades yang berhadapan langsung dengan masyarakat menjadi ujung tombak pamungkas untuk mengarahkan suara masyarakat level terbawah. Hal inilah yang menjadikan strategi bulus dari mereka yang ingin menang apapun caranya. 

Disini kita mulai berpikir, mengapa mereka melakukan cara kotor seperti ini untuk memperoleh suara? Jawabannya adalah karena mereka harus menang. Sekali lagi, harus menang. Hal ini tak lain adalah karena begitu besarnya modal yang telah mereka keluarkan untuk maju dalam Pilkada. 

Besarnya bukan hanya di angka ratusan juta, namun bahkan milyar dan puluhan milyar. Hasil kajian KPK menemukan bahwa modal yang dibutuhkan untuk menjadi kepala daerah bisa mencapai 40 milyar (detik.com, 30/05/24). Besarnya modal itu hanya bisa ditutupi apabila mereka menang dalam Pilkada. 

Apabila menang, kesempatan mereka mengembalikan "uang pinjaman" dari para pemilik modal akan terbuka lebar melalui berbagai "uang kebijakan" yang mudah untuk diselewangkan. Belum lagi peluang mengotak-atik kebijakan sesuai "pesanan" yang akan membuat mereka untung besar dari jabatan yang telah berhasil dimenangkan. 

Lalu, bagaimana dengan nasib si kalah? Kalahnya mereka dalam ajang pilkada akan membuat mereka rugi besar dan tak mampu balik modal. Uang ratusan juta akan terbuang sia-sia. Mereka juga akan dikenal sebagai pecundang yang kalah dalam Pilkada. 

Kehormatan yang mereka idam-idamkan itu pun hanya jadi angan-angan semata. Alhasil, tak sedikit dari mereka yang berakhir di rumah sakit jiwa karena terganggu kejiwaannya. 

Ending-nya, kita semua bisa memprediksi. Rakyat kembali terlantar tanpa periayahan yang benar. Pesta demokrasi lima tahunan tak membawa perbaikan untuk kehidupan masyarakat, malah semakin menyengsarakan. Alokasi Rp. 38,2 T (mediakeuangan.kemenkeu.go.id/ 01/11/23) hanya dihabiskan untuk euphoria perayaan, namun tidak menuntaskan akar permasalahan. Pendidikan tetap mahal, kesehatan tetap bayar. Rakyat harus kembali jadi korban. 

Inilah mengapa meskipun mobilisasi ini adalah cara yang kotor dan tak dibenarkan, mereka tetap melakukannya demi meningkatkan presentase kemenangan. Mereka sudah terlanjur basah mendaftarkan diri dalam Pilkada sehingga tak ada pilihan lain selain menang. 

Pola pikir seperti ini merupakan imbas nyata dari pemikiran demokrasi kapitalis yang menganggap bahwa jabatan yang mereka emban layaknya bisnis biasa. Tak ada mindset bahwa menjadi kepala daerah adalah amanah untuk mengurus rakyat. Fokus mereka hanya bagaimana menutup modal yang telah dikeluarkan untuk menjabat.

Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila sistem Islam yang diterapkan dalam kehidupan umat. Sistem Islam memiliki mekanisme yang praktis dan hemat biaya untuk memilih kepala daerah. Hal ini karena pemilihan kepala daerah (Wali dan Amil) ditetapkan dengan penunjukan secara langsung oleh khalifah sesuai dengan kebutuhan khalifah. 

Sebagai pembantu khalifah, khalifah-lah yang paling tahu hal kriteria apa saja yang dibutuhkan pada diri para pembantunya sehingga pemilihan langsung oleh khalifah menjadi langkah yang paling efisien. 

Meskipun begitu, khalifah akan tetap mengedepankan profesionalisme dalam memilih para bawahannya. Khalifah dalam Khilafah Islamiyah faham betul bahwa menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. 

Maka, khalifah akan menghujamkan pada dirinya untuk memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas sesuai yang dibutuhkan. Praktik nepotisme tidak akan jadi pilihan mengingat besarnya hisab yang akan dipertanggungjawabkan di pengadilan Allah kelak.

'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (TQS. An-Anfal: 27)

Dengan kepemimpinan yang tepat dan menerapkan hukum syariat, maka rakyat akan diurus dengan baik dan hidup sejahtera. Tidak ada lagi biaya selangit untuk menjabat. Tidak ada lagi cara kotor untuk meraih jabatan. Semua berorientasi untuk memakmurkan rakyat dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Al-Hakam.


Oleh: Asih Senja 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar