Topswara.com -- Narasi nyeleneh dari seorang perempuan berbunyi: "Bu ibu, yuk normalisasikan punya anak satu saja. Yang penting tidak kurang apapun. Tidak berbagi dengan siapapun. Tidak harus menjadi pundak untuk adiknya. Karena anak berhak atas kebahagiaan dirinya."
Hm, pendapat itu keluar, kemungkinan karena dia bukan anak tunggal yang dulu harus berbagi dengan kakak adiknya. Hidupnya serba kekurangan. Atau, dia punya anak cuma satu dan capek ditanya, kapan nambah; atau kapan hamil lagi. Maunya dia jangan ditanya-tanya. Biar damai.
Mungkin dia pernah trauma melahirkan, hingga memutuskan untuk mencukupkan diri hanya punya satu anak. Mungkin dia gak paham bahwa setiap anak punya rezekinya masing-masing.
Mungkin dia lupa di kajian dibahas, bagaimana pentingnya regenerasi umat Rasulullah Saw yang kelak akan berkumpul dalam kebaikan yang membanggakan beliau. Mungkin karena, narasi atau pendapat seseorang, bisa yang sangat subjektif.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh:
Pertama, maklumat atau informasi yang dia dapat (bisa dari bacaan, pandangan orang lain, film).
Kedua, pengalaman hidup yang dia alami (apakah selalu bahagia, pernah trauma, atau sedang stres).
Ketiga, lingkungan tempat dia bertumbuh (budaya keluarga, atauran dan sistem hidup yang memaksanya).
Keempat, status sosial saat itu (masih single, sudah menikah, janda, seorang ibu atau nenek, bahkan seorang pejabat atau rakyat biasa).
Kelima, usia (pendapat seorang remaja 17 tahun pasti berbeda dengan seorang dewasa usia 50 tahun misalnya).
Ketujuh, tsaqafah dan nilai-nilai spiritual (apakah dia mempelajari agamanya, ngaji atau tidak)
Jadi, kalau keluar pendapat nyeleneh seperti di atas, kemungkinan karena pengalaman hidupnya sendiri. Mungkin dia pernah trauma melahirkan, hingga memutuskan untuk mencukupkan diri hanya punya satu anak. Saya enggak tahu dan perlu tahu.
Yang jelas, jangan mudah silau dengan narasi seseorang. Belum tentu dia benar, meski keluar dari seorang doktor atau profesor sekalipun.
Termasuk pendapat saya ini, juga dipengaruhi oleh hal-hal di atas. Mungkin saja menurut kalian tidak benar.
Jadi, mohon maaf kalo saya tidak sependapat dengan narasi tersebut.
Hati-hati. Menormalisasi anak satu saja, pernah diterapkan negara komunis Cina yang menggunakan sistem hidup komunis. Puluhan tahun kebijakan itu diterapkan dan gagal.
Kenapa? Karena tidak sesuai dengan fitrah manusia. Apakah kalian mau diajak-ajak mengikuti ajaran komunis seperti itu. Sebagai muslim, tentu tidak setuju.
Islam yang saya tahu, tidak pernah membatasi jumlah anak. Biarlah Allah yang membatasi.
Allah Maha Tahu untuk mengendalikan populasinya. Allah Maha Tahu yang terbaik untuk masing-masing keluarga berapa jumlah anaknya. Masing-masing diizinkan Allah untuk mengambil keputusan.
Jika Allah hanya izinkan punya anak satu saja, ya itu takdir. Terimalah. Gak usah ngajak-ngajak yang lain, seolah yang anaknya lebih dari satu itu enggak normal.
Anak satu tercukupi dan bahagia, itu harus. Demikian juga anak banyak. Semua anak berhak atas kebahagiaan dirinya. Berbagi dan menjadi pundak bagi saudaranya, satu sama lain, juga adalah sumber kebahagiaan.
Oleh: Ustazah Asri Supatmiati
Founder Salehah Institute
0 Komentar