Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Marginalisasi Peternak Susu Lokal

Topswara.com -- Viral diberbagai media sosial, sebagai bentuk protes atas pembatasan kuota pemasokan susu dari para peternak dan pengepul susu yang dilakukan industri pengolahan susu (IPS), akhirnya peternak dan pengepul gelar aksi protes dengan mandi susu, di Tugu Patung Kota Boyolali. (Dilansir, tempo.co, 08/11/2024)
 
Selain itu, meski disayangkan susu tersebut terpaksa dibuang di tempat pembuangan akhir sebanyak ribuan liter. 

Tidak hanya itu, mereka bahkan membagi-bagikan susu secara gratis kepada warga Kawasan Simpang Lima Boyolali Kota. Alhasil, belasan menit saja sebanyak 500 liter susu ludes diberikan kepada warga sekitar lokasi. 

Mirisnya lagi, menurut dewan persusuan nasional, lebih dari 200 ton susu segar dibuang per hari. Padahal kebutuhan susu di Indonesia 4,3 juta ton per tahun dan kontribusi susu dalam negeri baru sekitar 22,7 persen. 

Artinya, pembatasan IPS menjadi simalakama untuk menolak susu segar lokal dan sayangnya pemerintah hanya mengandalkan komunitas masyarakat untuk kebutuhan pemenuhan gizi rakyatnya. 

Hal ini makin menampakkan potret tidak berpihaknya pemerintah pada rakyat. Alih-alih memberikan regulasi agar susu lokal optimal terserap dengan memudahkan segala hambatan-hambatan mereka untuk pendistribusian susu segar, namun justru negeri ini dibanjiri dengan susu impor. 

Hal tersebut berkelindan dengan program makan bergizi yang diharapkan menjadi angin segar bagi masyarakat pengusaha lokal namun pemerintah justru akan mengundang investor Vietnam untuk memenuhi 1,8 juta ton susu sapi. 

Sehingga, wajar jika rakyat melakukan protes atas tidak adanya jaminan perlindungan terhadap usaha peternak sapi perah lokal dan menjamin kepastian pasar. 

Selain kebijakan impor di hulu, keruhnya masalah di hilir seperti perawatan pabrik yang tak mudah, apatah lagi daya beli masyarakat turun ataupun ada perbaikan standar kualitas namun harus diselesaikan masyarakat sendiri. 

Kondisi tersebut membuat peternak merasa putus asa. Sebab seolah tidak adanya alternatif lain untuk penyerapan susu lokal akibat adanya pembatas penerimaan susu oleh pabrik jelas merugikan para peternak sapi.

Padahal, seharusnya menjadi tanggung jawab negara bukan oleh komunitas masyarakat semata. 

Sebagaimana tugas pokok dan fungsi (tupoksi) negara untuk mengurus kepentingan rakyat yakni melindungi nasib peternak dengan memberikan jaminan terjaminnya mutu dalam pembuatan susu bukan hanya mengandalkan Badan pengawas obat dan makanan (BPOM) serta memastikan tertampungnya serta terdistribusinya susu segar lokal. 

Kelalaian negara kini tak terlepas dari pengaruh hegemoni sistem kapitalisme yang menjadikan peran negara hanya sebagai regulator atau sekadar menyimak kegiatan ekonomi lalu menyerahkan kekuasaan pasar pada kelompok-kelompok yang memiliki modal yang lebih besar (monopoli pasar). Akhirnya, pengusaha kecil sangat rentan untuk dimarginalkan. 

Atau fenomena yang paling banter pemerintah memiliki peran ganda sebagai pemerintah-pengusaha sehingga regulasi yang dibuat berdasarkan kepentingan yang cenderung tak berpihak pada rakyat. 

Sepatutnya pemerintah mengambil peran sebagai pengurus umat namun itu sebuah kemustahilan di sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme tentu akan menerapkan asasnya yaitu materialisme diatasnya segala-galanya pada setiap lini kehidupan. Urusan politik saja diekonomisasi apatah lagi kegiatan ekonomi tentu akan semakin ugal-ugalan. 

Sehingga, kebijakan impor menjadi celah para pemburu rente atau pihak yang mencari keuntungan tanpa kerja nyata untuk mendapatkan keuntungan dari impor susu, kemudian peternak sapi menjadi tersubordinasi di negeri sendiri mendapatkan nasib tak mendapatkan jaminan atas usaha mereka dari negara. 

Aksi protes peternak dan pengepul susu segar semakin membuka mata masyarakat bahwa negeri ini telah kehilangan sistem kehidupan yang mampu menjamin hajat hidup manusia dan memberikan rasa aman. 

Hal ini amat berbeda dalam pengaturan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), khilafah yang regulasinya berdasarkan dari sumber syariat menempatkan negara sebagai pengurus yang bertanggung jawab atas kebutuhan rakyat dan yang melingkupinya. 

Rasulullah SAW, bersabda Imam/khalifah, adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya (HR. Muslim dan Ahmad). 

Sehingga, atas konsekuensi seruan syariat yang menjadi pecut setiap pemimpin, dimana ketika dia adil maka pemimpin tersebut akan mendapat kejayaan di dunia serta pahala untuk diakhirat. Namun, apabila pemimpin tersebut zhalim maka keterpurukan di dunia dan diakhirat negeri yang kekal akan menjadi balasannya.

Pecutan tersebut, niscaya akan memberikan sosok pemimpin yang didekap oleh rakyatnya serta mampu memberikan siasat yang menuntaskan derita rakyat. 

Dalam kebijakan khilafah terkait pertanian dan peternakan akan mengutamakan swasembada pangan yang tentu diambil dari warga lokal yang telah dipersiapkan untuk program tersebut. 

Kebijakan impor hanya terjadi manakala terdapat hambatan kondisi alamiah yang tidak bisa dielakkan atau bahkan impor hanya diberlakukan oleh jaringan pedagang saja, bukan oleh pemerintah langsung sehingga peternak lokal masih tetap mendapatkan keuntungan dan ekonomi negara tetap sehat bebas dari mafia yang memanfaatkan.
 
Bahkan, khilafah telah memberikan pencegahan untuk memberantas mafia pangan dengan mengeratkan hubungan kerjasama dengan pihak luar negeri pada pihak yang tak menentang syariah Islam. Tanpa perlu diviralkan terlebih dahulu untuk mendapatkan keadilan sebagaimana kini.

Wallahu ‘alam bisshawab.


Oleh: Kiki Zaskia, S.Pd.
Pemerhati Media
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar