Topswara.com -- Bisnis kosmetik, terutama skincare menjadi primadona. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyebut, jumlah pelaku usaha meningkat dari 819 pada 2021 menjadi 913 pada 2022 dan 1.010 pada 2023. Setara dengan pertumbuhan bisnis ini yang mencapai 20,6 persen pada 2022 dan 21,9 persen pada 2023 (indonesia.go.id).
Periode 2018-2022, kosmetik merupakan top 3 penjualan di market place. Volume penjualan mencapai 145,44 juta, setara dengan nilai transaksi Rp13.287,4 triliun. Potensi market size secara nasional pada 2023 meningkat lebih dari 10 kali lipat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Sisi positifnya, membuka lapangan pekerjaan. Pada 2022, ada sebanyak 59.886 orang yang bekerja di bidang ini. Fenomena ini juga melahirkan orang-orang kaya baru dengan pendapatan miliaran tiap bulan.
Sayangnya, iklim bisnis kosmetik tercemar oleh kelakuan kotor para pelakunya. Seperti adanya kandungan berbahaya, overclaim hingga flexing sebagai strategi marketing. Tak ayal jika muncul isu tak sedap di balik gurihnya bisnis skincare. Seperti dugaan money laundry hingga mafia skincare.
Manipulasi Sifat FOMO
Dugaan money laundry muncul, terkait begitu mudahnya para owner skincare membangun bisnis. Jika dalam tempo 2-3 tahun langsung melesat, kemungkinan ada praktik “bakar uang” dalam strategi marketingnya. Misal fenomena fake order. Artinya, produk yang terjual tak selaris yang dipamerkan di media sosial.
Pertanyaannya, dari mana biaya marketing yang mereka gelontorkan untuk menaikkan nama brand tersebut? Lalu biaya untuk produksi massal secara cepat? Apakah jangan-jangan, ada investor yang mencuci uang haramnya di sana? Ini pertanyaan kritis yang harus dijawab pihak berwenang. Butuh bukti, bukan asumsi. Ini penting untuk membersihkan dan menyehatkan bisnis skincare itu sendiri.
Selain itu, juga melindungi konsumen dari praktik manipulasi. Pasalnya, kebanyakan brand yang cepat naik daun ini menggunakan flexing alias pamer kemewahan sebagai strategi marketing. Mulai pamer barang pribadi, hingga pamer capaian keuangan. Pamer rumah megah, mobil mewah dan capaian penjualan. Misal, ribuan paket yang sengaja digelar memenuhi rumah, atau omset sekian miliar yang dipertontonkan.
Itu dimaksudkan untuk merangsang calon buyer agar percaya pada produk tersebut. Mereka pandai memanipulasi sisi psikologis calon customer. Di tengah masyarakat kita yang tingkat literasinya kurang dan mudah latah, banyak customer yang terjebak membeli.
Karena, mindset kebanyakan masyarakat adalah, kalau produk itu laris dan banyak yang pakai, pasti bagus. Jadilah mereka ikut-ikutan. Kalau produknya benar-benar bagus, tak mengapa. Masalahnya, ternyata banyak yang abal-abal alias zonk.
Merugikan Konsumen
Belum lama ini, jagat maya dihebohkan dengan dugaan mafia skincare. Ini terkait dengan fakta bahwa gurita bisnis skincare ternyata ada yang tidak jujur. Misal brand yang maklon di pabrik tertentu. Ada yang overclaim, dan ada juga yang mengandung bahan berbahaya seperti hydroquinon dan merkuri.
Ini setelah muncul pihak-pihak yang masih punya hati nurani dan kejujuran, untuk membongkar kebusukan bisnis tersebut. Misalnya dokter-dokter kulit yang sengaja me-review produk-produk viral. Setelah diuji lab, ternyata, kandungan skincare yang beredar dari brand-brand pabrik itu, diduga tidak sesuai komposisi yang dipasarkan.
Produk tidak layak, karena kandungannya tidak sesuai klaim. Misal diklaim bisa mencerahkan, ternyata senyawa yang dianggap dapat mencerahkan kulit, malah nol persen. Artinya, skincare itu hanya krim kental biasa tanpa khasiat apapun. Jelas hal itu sangat merugikan masyarakat sebagai konsumen. Mereka terlanjur membeli dengan harga yang tidak murah. Nyatanya hanya memperkaya owner skincare yang kekayaannya kemudian dipamerkan.
Mafia skincare juga merujuk pada beredarnya produk etiket biru, yang seharusnya hanya diberikan atas resep dokter di klinik. Nyatanya, brand tertentu malah menawarkan skincare racikan itu kepada customer alias dijual bebas tanpa pengawasan dokter.
Atas kegaduhan tersebut, akhirnya BPOM menutup sementara salah satu pabrik dan penghentian produksinya (Detik.com). Namun, hingga kini belum jelas tindak lanjutnya. Apa bukti ketegasan pemerintah untuk membersihkan bisnis skincare yang telah merugikan masyarakat sebagai korban. Bagaimana bentuk perlindungan negara atas hal ini?
Antara Latah dan Sadar
Pesatnya pertumbuhan bisnis skincare didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan perawatan kulit. Dulu, semangat untuk merawat kulit tidak semasif sekarang. Termasuk di kalangan muslimah, yang awalnya tidak terlalu memperhatikan penampilan, sekarang begitu peduli dengan perawatan diri.
Di satu sisi ini bagus, karena kulit masyarakat bisa menjadi lebih sehat dan terawat. Sayangnya, kesadaran itu tidak disertai pengetahuan yang cukup hasil berliterasi. Tidak melek data, tetapi hanya asumsi. Tergiur iming-iming glowing secara instan. Terlebih di era media sosial, di mana masyarakat, khususnya wanita, merasa harus tampil good looking.
Mereka cenderung latah alias FOMO (fear of missing out). Tidak benar-benar paham, apa dan bagaimana seharusnya merawat kulit. Tidak mencermati komposisi produk. Tidak selektif memilih produk. Tidak konsultasi pada tenaga ahli yaitu dokter kulit di klinik. Malah lebih suka mengikuti apa kata artis sebagai brand ambasador atau influencer terkenal.
Tidak hanya itu, mayoritas termakan narasi-narasi tentang kecantikan dan ketampanan yang diciptakan oleh bisnis kosmetik. Tampil kinclong, putih,dan glowing seolah merupakan ikon kepribadian seseorang. Mendorong mereka yang tidak seperti itu, menjadi pribadi yang insecure alias rendah diri.
Akibatnya, kurang mensyukuri nikmat berupa anugerah wajah yang dimiliki. Berlomba-lomba mempercantik diri dengan segala cara. Lahirlah orang-orang yang diperbudak industri kecantikan. Rela menggelontorkan ratusan ribu hungga jutaan rupiah hanya demi penampilan. Sangat disayangkan, energi, waktu dan sumber daya uang tercurahkan untuk hal-hal yang kurang sigfinikan manfaatnya baik bagi kehidupan dunia maupun akhirat.
Kondisi ini diperparah dengan tidak ketatnya sistem pengawasan negara atas peredaran produk kecantikan. Produk yang didaftarkan ke BPOM, disinyalir tidak sama dengan yang diedarkan ke pembeli. Sebab, jika menggunakan bahan yang aman, cenderung lama menampakkan hasil. Sedangkan jika menggunakan bahan kimia berbahaya, hasil lebih cepat sehingga produk lebih laris. Jika ketahuan, paling hanya dirazia tetapi sanksi tidak tegas.
Penampilan Luar Bukan Segalanya
Memang benar, adalah fitrah bahwa manusia ingin tampil menawan. Namun, penampilan luar bukan segala-galanya. Sukses dalam hidup ini bisa saja ditunjang penampilan, tetapi tanpa pengetahuan, akan kosong. Ilmu sangat berkaitan dengan amal. Bagaimana bisa melakukan amal terbaik jika ilmu minim.
Sayangnya, masyarakat saat ini, khususnya kaum perempuan, lebih fokus pada tampilan luar dibanding tampilan dalam. Lihat saja, mereka begitu fokus menggapai hal-hal yang bersifat duniawi untuk menunjang agar good looking. Adapun berkaitan dengan good knowledge tidak terlalu diprioritaskan.
Ini adalah salah satu tanda-tanda kemunduran kaum perempuan. Mereka fokus pada pakaian dan dandanan. Isi tas tangan wanita, bahkan kalangan pelajar, bukan buku pengembangan diri, tetapi perlengkapan make up. Waktu wanita habis di depan cermin, bukan di depan buku.
Bisnis fashion dan skincare melesat, di sisi lain bisnis buku terjun bebas. Tempat belanja ramai pengunjung, begitu pula kafe dan tempat wisata. Sedangkan tempat belajar seperti seminar atau kajian, hanya itu-itu saja yang datang. Itupun jika dianggap tidak sejalan dengan kaum kapitalis liberal, akan dibubarkan dengan barbar.
Influencer good looking dan good rekening, dikerubuti banyak penggemar. Dipuja sebagai sukses hasil kerja keras. Sedangkan figur pendidik, sepi dari penggemar di dunia maya. Terlebih lagi para inspirator dan motivator, malah dicaci sebagai orang yang hanya bisa jual ludah.
Inilah hasil penerapan sistem sekuler kapitalis, yang memperbudak manusia pada industri yang mengutamakan penampilan luar. Apapun yang menjanjikan kecantikan, kepopuleran dan kekayaan, itulah yang akan tumbuh subur. Perlahan tetapi pasti, menggerogoti kecerdasan masyarakat, terutama perempuan.
Jika ibu dari peradaban ini telah dilemahkan daya pikirnya, entah bagaimana masa depan peradaban manusia. Sadarlah kaum perempuan. Jangan mau diperbudak oleh industri kecantikan. Tetaplah cerdas dan bertakwa, agar hidupmu glowing dunia dan akhirat.
Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
0 Komentar