Topswara.com -- Di balik topeng social media yang memperindah pandangan mata. Terdapat jerit tangis generasi yang begitu mendalam karena kesehatan mental yang terus terancam. Fakta yang mengejutkan mengunkapkan bahwa Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), mensurvei kesehatan mental nasional pertama untuk remaja 10-17 tahun di Indonesia.
Hasilnya menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia menghadapi masalah kesehatan mental, setara dengan 15,5 juta remaja. Dan lebih mengkhawatirkan lagi, satu dari dua puluh remaja (2,45 juta) terdiagnosis gangguan mental, yang dipanduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia. Di kutip dari timesindonesia.co.id (17/10/2024).
Penyebab masalah kesehatan mental sangatlah kompleks, tidak hanya dipengaruhi faktor mikro (internal), melainkan juga makro (eksternal).
Faktor makro meliputi pola asuh yang toxic, keluarga yang kurang harmonis, serta dampak ekonomi, budaya, dan media sosial. Faktor-faktor makro tersebut tercipta dan terpelihara di dalam lingkungan yang sekuler kapitalistik.
Saat ini, kita hidup di bawah ideologi sekuler kapitalisme yang berorientasi materi dan menciptakan benteng antara si kaya dan miskin. Budaya hedon dan konsumerisme alias sering berfoya-foya juga menciptakan kebahagiaan palsu.
Kondisi ini memberikan banyak tekanan terhadap mental yang kopong alias kosong secara spiritual karena akibat dari prinsip sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan.
Potensi yang sangat besar yang dimiliki oleh Indonesia seharusnya mampu menjadikannya sebagai negara maju. Tapi sangat miris, jeratan sistem kapitalis liberalisme menyebabkan generasi ini tak berdaya dan tak tentu arah. Mereka hidup dalam belenggu sistem yang rusak dan merusak.
Tidak sedikit anak muda yang hidupnya tidak punya tujuan yang jelas mereka hanya mengedepankan nafsu belaka tidak tahu mana yang baik dan buruk, maupun halal dan haram. Tak memakai aturan Islam. Sungguh miris melihatnya.
Pada faktanya generasi Z saat ini, mereka lebih sibuk dengan dunia maya atau media sosialnya. Sehingga lupa akan kewajibannya sebagai generasi muslim.
Generasi yang akan memajukan peradaban Islam seharusnya disibukkan dengan ketaatan, yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai seorang pemuda yang bertakwa sehingga hidupnya akan selalu menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya sehingga mereka tidak akan sibuk dalam hal yang sia-sia dan kemaksiatan.
Genggaman teknologi digital dikalangan remaja seharusnya menjadi alat yang mendukung yang positif, bukan malah sumber dari gangguan psikologis. Namun, minimnya pendidikan literasi digital dan kesehatan mental membuat banyak remaja tidak mampu mengelola dampak negatif dari paparan teknologi ini.
Misalnya, kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain (FOMO) di media sosial sering kali didapati pada remaja yang cenderung akan menghasikan depresi dan kecemasan yang lebih tinggi. Terutama ketika standar yang ditampilkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada.
Sistem demokrasi kapitalisme adalah akar dari permasalahan ini. Sehingga terbentuknya kesehatan mental yang begitu rapuh pada generasi. Padahal modal besar yang dimiliki Gen Z adalah sebagai agen perubahan. Termasuk perubahan sistem kearah yang lebih manusiawi.
Potensi luar biasa dari gen Z sangat dibutuhkan untuk mengembalikan peradaban yang mulia yaitu peradaban islam yang mulia yang pernah memimpin dunia 13 abad lamanya. Penduduk terbesar pemuda didunia adalah generasi muda di Indonesia.
Hal ini merupakan modal menjadikan para generasi sebagai agen perubahan dunia untuk tatanan dunia baru yaitu Khilafah. Sistem yang digadang-gadang di takuti oleh seluruh negeri kaum kafir.
Maka dari itu, pentingnya mengarahkan para remaja kepada hal-hal yang bersifat positif misalnya melakukan pembinaan dan mengkaji Islam secara kaffah.
Dimana para generasi akan berpeluang menjadi generasi yang berkepribadian Islam, bertanggung jawab serta selalu berpegang teguh pada tali agama Allah Swt. Sehingga kerusakan mental takkan lagi menjadi permasalahan di masa depan nanti.
Wallahualam bi shawwab.
Oleh: Suci Nurani
Aktivis Muslimah
0 Komentar