Topswara.com -- Pahlawan Devisa, begitulah sebutan bagi pekerja migran Indonesia (PMI). Akan tetapi selalu ada cerita pilu yang menimpa mereka.
Dilansir dari Jabarekspres.com (30/10/2024), seorang tenaga kerja wanita (TKW) bernama Lilis Ule (44) janda anak tiga, warga Kampung Sindangwargi RT01 RW18, Desa Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, nasibnya terbilang memprihatinkan.
Lilis TKW di Dubai, Uni Emirat Arab selama 2,3 tahun. Dirinya selama itu terlantar, tersiksa dan sulit untuk pulang ke tanah air. Berharap pemerintah bisa mengupayakan namun sulit terlaksana.
Karena dorongan rasa sakit, tersiksa, terlantar, juga rasa rindu yang tinggi untuk berjumpa keluarga, akhirnya bisa mengusahakan pulang secara mandiri ke kampung halaman.
Kisah pilu tidak hanya menimpa Lilis. Berbagai macam kasus dan ancaman kerap terjadi pada PMI lain. Menurut sumber dari media voaindonesia.com, berdasarkan data tahun 2020 tercatat 54.248 kasus yang menimpa PMI. Ini bukan jumlah yang sedikit.
Menjadi pekerja migran merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah lebih layak, semata dilakukan karena terbatasnya penyerapan tenaga kerja dalam negeri dengan upah yang memadai terlebih bagi tenaga kerja yang tidak memiliki skill (keahlian) dan pendidikan yang cukup.
Mayoritas pekerja migran Indonesia tergolong dalam pekerja skill rendah, seperti pekerja rumah tangga ( PRT).
Selain keahlian dan pendidikan yang rendah diperparah dengan maraknya praktik calo, layanan terpadu yang belum maksimaI, perekrutan ilegal serta perdagangan manusia dan yang lainnya, kerap merugikan para PMI.
Selama ini pemerintah sudah menerbitkan undang-undang tentang perlindungan pekerja migran Indonesia ( PMI), namun pada praktiknya tidak mampu mengurangi kasus PMI. Negara tidak mampu menyelesaikan dan tidak bisa tegas menindak negara penampung PMI. Akibatnya kasus terus berulang.
Persoalan di atas semestinya menjadi perhatian pemerintah. Kalaulah di dalam negeri tersedia lapangan pekerjaan dengan upah layak, untuk apa mereka harus jauh-jauh mencari kerja meninggalkan tanah air dan keluarga tercinta.
Berita malang menimpa PMI, nyatanya tidak menyurutkan para pencari kerja untuk mengadu nasib di negeri orang. Mereka bukan tidak mengetahui akan berita tersebut, namun keadaanlah yang membuat mereka nekad. Itulah kenyataan hidup di bawah penerapan sistem kapitalis.
Kapitalisme hanya menjadikan negara atau penguasa sebagai regulator/ fasilitator saja, bukan sebagai pengurus dan pelindung rakyat.
Kapitalisme meniscayakan kekayaan alam melimpah dikelola swasta, sehingga negara tidak memeiliki kemampuan menyediakan lapangan kerja yang luas bagi warganya. Selain itu pendidikan dalam sistem kapitalisme justru dikapitalisasi, akibatnya banyak warga yang tidak mampu menjangkau pendidikan tinggi.
Kapitalisme berbeda dengan sistem Islam. Penguasa diposisikan sebagai pengatur seluruh urusan umat, termasuk dalam hal menyediakan lapangan kerja dan kemudahan akses pendidikan.
Diutamakan bagi laki-laki sebagai penanggung nafkah, negara akan mengadakan berbagai pelatihan yang bisa menunjang kemudahan dalam bekerja. Rasulullah saw. bersabda:" Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya". (HR. Bukhari Muslim).
Negara sangat mampu menyelenggarakan pendidikan gratis dan berbagai pelatihan. Semua pembiayaan di antaranya berasal dari pengelolaan sumber daya alam milik umum yang wajib dikelola negara, selanjutnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Andaikan ada warganegara yang bekerja di luar negeri dipastikan keamanannya. Jika terjadi hal buruk menimpa mereka, maka negara akan menindak tegas. Karena negara yang tegak berasaskan Islam adalah negara yang nerwibawa dan mandiri sebagaimana sejarah mencatatnya.
Ketika negara maksimal mengayomi rakyat, tentunya warganegara tidak akan terdorong untuk bekerja di luar negeri, terlebih bagi seorang wanita yang punya kewajiban mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.
Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Atika Nur
Aktivis Muslimah
0 Komentar