Topswara.com -- Masyarakat Indonesia kebanyakan adalah buruh pabrik, bekerja menjadi buruh pabrik menjadi pilihan untuk mendapatkan upah agar memenuhi kebutuhan, namun bagaimana jika nasib buruh tidak seperti yang di harapkan? Nasib buruh kini terombang-ambing, mereka di peras tenaganya bak sapi perah, sedangkan upah mereka tidak setara dengan kerja keras mereka.
Dengan adanya pergantian kabinet, masyarakat sangat berharap akan adanya perubahan, terutama gaji pada buruh, namun apa jadinya jika ternyata rencana kenaikan upah buruh tahun 2025 sangatlah kecil.
Seperti yang disampaikan menteri koordinator bidang politik dan keamanan Budi Gunawan, bahwa pemerintah daerah supaya berhati-hati dalam menetapkan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten ataupun kota. menurutnya, penetapan upah itu rawan menjadi kebijakan populis pemerintah daerah.
Budi Gunawan mengatakan upah minimum provinsi terlalu tinggi dan tidak rasional berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu akan menyebabkan penurunan rekruitmen pekerja baru. (7/11/2024. Tirto.id).
Kabinet merah putih mempunyai program unggulan salah satunya adalah menurunkan angka kemiskinan hingga nol persen, namun jika dikaitkan dengan penurunan angka upah minimum kota/propinsi yang kecil maka apakah program tersebut bisa berhasil? Ditambah dengan rencana kenaikan pajak ditahun 2025 yang makin tinggi, yakni sebesar 12 persen per Januari 2025. (Tempo.com).
Upah buruh terhitung sangatlah rendah untuk mencukupi kebutuhan hidup saat ini yang serba mahal, dari mulai kebutuhan pokok mahal, pendidikan mahal, kesehatan, dan lain-lain yang serba sulit.
apa jadinya jika upah minimum juga tidak di naikkan? Bagaimana nasib rakyat ? Padahal buruh dianggap sebagai faktor produksi namun tidak di hargai apalagi di apresiasi.
Permasalahan buruh memang seakan tidak ada habisnya, terutama masalah upah, sejak awal penetapan upah minimum sudah salah, upah buruh di tetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum, yang di standarkan pada hidup seorang pekerja lajang yang hidup layak secara fisik dalam satu bulan, tanpa beban keluarga.
Sedangkan buruh kebanyakan yang sudah berkeluarga dan memiliki tanggungan hidup yang cukup banyak. Seharusnya negara mempunyai perhitungan cukup teliti dan peduli terhadap nasib buruh dengan memberikan upah layak dan mencukupi kebutuhan hidup buruh itu sendiri dan keluarganya.
Namun inilah kenyataan hidup dalam sistem yang meniscayakan aturan hidup yang sebenarnya, sistem yang hanya menguntungkan bagi para pemodal besar, oligarki yang terus menghantui di setiap negeri meskipun kepemimpinan telah berganti.
Inilah watak sistem kapitalisme sekularisme, negara hanya bertindak sebagai regulator saja, bukan sebagai pemberi fasilitas atau pengelola, dalam sistem kapitalisme upah buruh di buat seminimal mungkin demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.
Selain itu, konsep upah dalam sistem kapitalisme membuat buruh hidup dalam keadaan jauh dari kata cukup, atau berlebih, karena gaji mereka di sesuaikan dengan standar hidup minimum di tempat mereka bekerja.
Karena kondisi ini sesuai dengan regulasi yang ada dalam sistem kapitalisme. Bahkan buruh juga tidak memiliki posisi tawar tinggi karena keahlian dan pendidikan juga tetap menjadi tolok ukur.
Persoalan buruh seperti ini, tidak akan muncul dalam sistem IsIam, karena Islam menjamin kesejahteraan rakyatnya dari mulai hal pokok, baik itu kebutuhan yang mendesak untuk memenuhi hajatul udwiyyah ataupun kebutuhan lainnya. Karena itu merupakan tanggungjawab negara sebagai raa'in. Dan didalam IsIam buruh dibayar sesuai kerja yang ia berikan berdasarkan kesepakatan.
Islam tidak merinci secara eksplisit tentang penetapan upah, ini terbukti dari tidak adanya ketentuan rinci dalam Al-Qur'an tentang upah minimum. Namun demikian penerapannya didasarkan pada pemahaman dan pemahaman teks-teks Al-Qur'an dan al-Hadis yang diwujudkan dalam prinsip-prinsip keadilan dan kelayakan.
Allah SWT secara tegas mewajibkan majikan membayar upah para pekerja yang bekerja untuknya. Jumlah upah dalam Islam yang harus dibayar oleh majikan kepada pekerja didasarkan pada prinsip keadilan dan kelayakan, yang ditentukan melalui perjanjian yang didasarkan pada taradhin atau suka antara majikan dan pekerja.
Transaksi ijarah di lakukan terhadap seorang ajir (pekerja) atas jasa yang di lakukan. Dan upahnya di berikan sesuai jasanya.
Jika ada perselisihan antara pekerja dan majikan terkait upah, maka ada pihak atau pakar yang dipilih oleh keduanya untuk menentukan upah sepadan, jika masih bersengketa, maka negaralah yang memilih pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak mengikuti keputusan pakar tersebut. Maka tidak akan ada yang merasa di rugikan diantara keduanya.
Begitulah Islam mengurus urusan umat dengan sedemikian rupa agar umat merasakan kesejahteraan yang sesungguhnya.
Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Ade Siti Rohmah
Aktivis Muslimah
0 Komentar