Topswara.com -- Menyedihkan, itulah yang bisa menggambarkan industri tekstil di Indonesia saat ini. Belum juga pulih dari situasi keterpurukan karena covid-19, hingga saat ini satu persatu pabrik tekstil dinyatakan pailit bahkan beberapa juga bangkrut.
Menurut artikel di cnbcindonesia.com (26/09/2024) ada tujuh pabrik tekstil yang sudah dinyatakan pailit atau bangkrut baik di Jawa Barat maupun Jawa Tengah. Pabrik lokal yang menghentikan kegiatan operasinya berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan besar-besaran.
Ada beberapa faktor mengakibatkan hal itu bisa terjadi. Menurut Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengatakan penurunan daya beli global dan konflik geopolitik (konflik Ukraina-Rusia) yang diperparah dengan banjirnya produk China ke Indonesia. Ketiga hal tersebut menjadi penyebab hancurnya industri tekstil.
Untuk mengatasinya, Menteri Perdagagan Zulkifli Hasan akan menetapkan tarif bea masuk 200 persen terhadap barang masuk dari China sebagai proteksi kepada produk dalam negeri. Namun kembali lagi, apakah dengan terbitnya kebijakan tersebut akan mampu mengatai seluruh masalah pertekstilan ini. Sedangkan permasalahan lain yang saat ini juga menghantam produk dalam negeri adalah banjirnya barang impor ilegal dari China.
Pemerintahpun telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengatasi hal tersebut di tengah pesimisnya berbagai pihak terhadap efektivitas kinerja satgas tersebut. Alasan pesimisnya khalayak adalah karena selama ini sudah berbagai satgas dibentuk namun secara dampak juga tidak signifikan dalam menyelesaikan masalah.
Tindakan pemerintah memang tampak hanya sekedar tambal sulam belaka. Pembentukan satgas ataupun penerbitan aturan bea masuk 200 persen keberhasilan pelaksanaannya akan tergantung pada banyak hal, karena memang hal tersebut bukan solusi fundamental.
Bila ingin menyentuh solusi yang fundamental, setidaknya harus mampu mengatasi faktor-faktor penyebab dari ketiga hal di atas. Mengenai dampak pandemi covid-19 terhadap industri tekstil misalnya, China sebagai negara yang juga terdampak pandemi mampu melakukan recovery yang cepat dan bahkan mampu menggencarkan pemasaran produknya ke seluruh dunia terutama ke Indonesia.
Maka satu-satunya solusi fundamental dalam hal ini adalah political will dari para pelaksana pemerintahan sendiri. Pertanyaannya adalah kenapa pintu masuk barang impor ini semakin mudah ke tanah air? Tentu saja tak lepas dari kebijakan yang sudah diputuskan oleh pemerintah beberapa tahun ke belakang. Bukankah pemerintah dahulu telah menandatangani berbagai persetujuan yang mengarah pada perdagangan bebas semisal di tingkat Asia (Asia Free Trade Area).
Mengapa pemerintah bersedia menandatangai berbagai perjanjian perdagangan yang sejatinya bisa menghancurkan industri dalam negeri? Berbagai perjanjian-perjanjian yang sejatinya merugikan memang dibungkus dengan kata “kerjasama” dan biasanya tertuang dalam MoU pinjaman-pinjaman negara ini kepada negara lain termasuk China.
Maka tak ada cara lain dalam mengatasi hancurnya industri dalam negeri kecuali support pemerintah untuk menghidupkan dan mengembangkan industri dalam negeri termasuk tekstil dan juga keberanian dalam menolak berbagai pinjaman ataupun kerjasama, perjanjian yang sejatinya merugikan bangsa sendiri.
Hanya bila negara ini kembali bersandar pada ideologi yang benarlah yang akan mampu menghasilkan sistem, kepemimpinan dan pemerintahan yang berani menolak pada seluruh hegemoni negara asing terhadap negeri ini.
Dalam Islam sendiri industri tekstil termasuk industri dalam rangka pengadaan perkara dharuriah berupa pakaian yang dibutuhkan oleh masyarakat juga untuk memenuhi barang kamaliyah atau pelengkap. Industri akan dilaksanakan sekedar memenuhi apa yang dibutuhkan oleh pasar yaitu masyarakat.
Berbeda dengan industri kapitalisme saat ini yang memang industri digenjot untuk menghidupkan perekonomian. Butuh atau tidak butuh masyarakat terus dirangsang pada untuk bersifat konsumtif pada barang dan jasa supaya perekonomian makin maju.
Dalam Islam sendiri, industri yang utama adalah persenjataan, karena negara yang kuat adalah negara yang besar perhatiannya terhadap masalah kemiliteran. Bagaimana mungkin negara bisa berani melawan bangsa lain kalau secara kekuatan militer tidak diperhatikan bahkan sebagai industri pilar utama.
Industri tekstil dikembangkan dalam rangka memenuhi permintaan pasar baik itu dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintahan yang berlandaskan aqidah Islam menyandarkan segala bentuk aktivitas pengaturan urusan rakyatnya pada ketaqwaan kepada Allah SWT. Syariat Islam diberlakukan pada segala bidang termasuk dalam mengatur perdagangan.
Negara haram mengadakan kerjasama-kerjasama kepada negara lain yang mengakibatkan kerugian kepada negara dan rakyat, semisal perjanjian ekspor-impor yang nantinya malah mematikan industri dalam negeri.
Apabila itu tetap dilakukan, kepala negara yang dalam hal ini khalifah bisa diberi muhasabah oleh rakyat melalui majelis ummat hingga bisa dimakzulkan atau diberhentikan oleh qadhi madzalim apabila sampai mengakibatkan pengangguran yang bisa berdampai ekonomi secara luas.
Wallaahu’alam.
Oleh: Ratna Mufidah, SE.
Aktivis Muslimah
0 Komentar