Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sertifikasi Halal: Legitimasi atau Komodifikasi?

Topswara.com -- Sertifikasi halal, seharusnya menjadi instrumen penting dalam melindungi konsumen Muslim dari konsumsi produk-produk yang tidak sesuai dengan syariat. Perdebatan mengenai sertifikasi halal kembali mengemuka dengan munculnya polemik label halal pada produk-produk yang secara nama dan persepsi publik erat kaitannya dengan barang haram, seperti wine, beer, dan tuak. 

Dalam sistem saat ini, sertifikasi halal tak lagi sekadar memastikan kehalalan sebuah produk, tetapi telah beralih menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Nama produk yang mengandung makna ambigu dianggap tidak masalah selama zatnya dianggap halal, tanpa memikirkan potensi kerancuan yang muncul di kalangan konsumen Muslim. 

Hal ini menciptakan kondisi di mana kapitalisme mereduksi makna kehalalan hanya sebatas persyaratan administratif. 

Sebagai contoh, produk yang diberi nama "beer halal" atau "wine halal" meski secara zat mungkin memenuhi kriteria halal, tetap menimbulkan kebingungan di masyarakat. Nama-nama ini menggiring persepsi publik ke arah yang salah dan menciptakan kebingungan. 

Apakah sesuatu yang disebut "beer" benar-benar halal hanya karena diproses dengan bahan-bahan yang memenuhi syarat halal? Di sinilah masalah utamanya: batas halal dan haram tidak hanya tergantung pada zat, tetapi juga pada persepsi dan nilai-nilai yang dibawa oleh suatu produk.  

Dalam sistem kapitalisme, sertifikasi halal makin menjelma menjadi ladang bisnis yang menguntungkan. Banyak perusahaan merasa tertekan oleh keharusan untuk mendapatkan sertifikasi yang biayanya tidak murah, lengkap dengan aturan batas waktu yang harus diperbarui secara berkala. 

Hal ini berpotensi menciptakan ketimpangan, di mana produsen kecil atau menengah merasa sulit untuk bersaing, sementara produsen besar yang mampu membayar biaya sertifikasi mendapatkan keuntungan besar dalam mengeklaim kehalalan produknya.  

Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga sertifikasi halal, juga dihadapkan pada dilema antara menjaga integritas standar halal dan mengakomodasi kepentingan ekonomi. 

Sertifikasi halal yang seharusnya menjadi layanan publik untuk melindungi konsumen, justru berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, yang menempatkan kepentingan umat di atas kepentingan ekonomi.  

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pendekatan yang jauh lebih komprehensif dan bertanggung jawab dalam menjamin kehalalan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. 

Negara Islam tidak hanya memastikan bahwa produk-produk yang beredar di pasar memenuhi syarat kehalalan, tetapi juga memastikan bahwa proses sertifikasi halal tidak menjadi ajang bisnis yang merugikan produsen kecil dan menengah. 

Sistem Islam juga menugaskan qadhi hisbah, yang bertanggung jawab atas pengawasan pasar dan perdagangan, untuk secara rutin memeriksa produk-produk yang dijual di pasar, pabrik, dan tempat pemotongan hewan. 

Pengawasan ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh produk yang dikonsumsi rakyat tidak hanya halal secara zat, tetapi juga diproses dan didistribusikan dengan cara yang tidak melanggar syariat. Hal ini memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa produk yang mereka konsumsi benar-benar bebas dari unsur haram. 

Di bawah sistem islam, yang diberikan adalah sertifikat haram, bukan sertifikat halal, mengingat produk halal lebih banyak dibanding produk haram. Selain itu sertifikasi haram diberikan oleh negara secara murah, bahkan gratis. Negara tidak memandangnya sebagai peluang bisnis, tetapi sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam melindungi keimanan dan kesejahteraan rakyatnya. 

Dalam sistem islam, tidak akan ada tempat bagi produk-produk yang menimbulkan kebingungan seperti "beer halal" atau "wine halal." Negara akan tegas dalam menegakkan batas antara halal dan haram, baik dari segi zat maupun persepsi yang ditimbulkan oleh produk tersebut. 

Polemik sertifikasi halal dalam kapitalisme menunjukkan ketidakpastian masyarakat terhadap asal-usul produk yang mereka konsumsi. Ketidakpastian ini kemudian dieksploitasi menjadi peluang bisnis. 

Padahal, dalam sistem Islam, negara menjamin keamanan konsumen tanpa harus membebankan mereka dengan biaya sertifikasi yang mahal atau proses yang berbelit-belit. Kehalalan bukanlah sekadar label, melainkan sebuah prinsip yang melibatkan kepercayaan dan moral. Komodifikasi sertifikasi halal tidak hanya merugikan konsumen Muslim, tetapi juga merusak integritas hukum Islam itu sendiri.  

Negara Islam berkewajiban memastikan kehalalan setiap produk yang dikonsumsi oleh warganya, bukan melalui biaya tinggi atau kerumitan administratif, tetapi dengan layanan pengawasan yang murah, bahkan gratis. Ini merupakan tanggung jawab negara untuk melindungi agama dan masyarakat, bukan untuk menjadikannya sebagai ladang bisnis. 

Sistem Islam memberikan kepastian dan kejelasan, di mana masyarakat tidak perlu lagi ragu terhadap apa yang mereka konsumsi. Ketika kehalalan menjadi prinsip utama dalam setiap aspek kehidupan, tidak akan ada lagi ruang untuk kapitalisasi yang mengorbankan keyakinan dan nilai-nilai agama.


Oleh: Hasniah
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar