Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sertifikasi Halal: Antara Jaminan Iman dan Bisnis yang Dipertanyakan

Topswara.com -- Baru-baru ini beredar video yang memperlihatkan produk dengan nama "tuyul," "tuak," "beer," dan "wine" yang memiliki sertifikat halal. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menegaskan bahwa persoalan ini terkait penamaan produk, bukan kehalalannya. 

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Mamat Salamet Burhanudin, menjelaskan bahwa semua produk bersertifikat halal telah melalui proses yang sesuai. Namun, meskipun regulasi melarang nama-nama yang bertentangan dengan syariat, masih ada produk yang lolos sertifikasi dengan nama-nama tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara ulama. 

BPJPH mengajak semua pihak berdiskusi untuk menyamakan persepsi, agar masyarakat tetap yakin akan kehalalan produk tersebut. Mereka juga mengingatkan pentingnya kewajiban sertifikasi halal tahap pertama yang akan berlaku pada 17 Oktober 2024, terutama untuk produk makanan dan minuman. (kumparan NEWS, 03 /10/2024)

Berdasarkan regulasi Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama pada Oktober mendatang. “Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan." kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham di Jakarta, dikutip Tirto, Jumat (2/2/2024).

Penggunaan nama produk yang biasanya diasosiasikan dengan makanan haram, seperti "bacon" atau "beer", untuk makanan atau minuman halal menimbulkan kontroversi di kalangan konsumen Muslim. Di satu sisi, produk-produk ini menawarkan alternatif halal yang aman dikonsumsi, namun tetap meniru nama, tampilan, atau rasa dari makanan haram. 

Misalnya, produk berbahan dasar daging sapi atau ayam yang disebut "bacon" atau "sosis" halal, atau minuman non-alkohol yang diberi nama "beer" halal.

Bagi sebagian orang, penggunaan nama-nama tersebut dianggap inovasi yang menarik karena memungkinkan konsumen Muslim untuk menikmati rasa yang mirip dengan makanan haram, tanpa melanggar ajaran agama. Hal ini juga menciptakan peluang bisnis baru yang menarik bagi produsen untuk menjangkau segmen pasar Muslim yang lebih luas.

Sertifikasi ini tidak lagi sekadar memastikan produk halal, tetapi juga menjadi salah satu sarana untuk menciptakan keuntungan bagi lembaga atau perusahaan yang menyediakan jasa tersebut. Di sisi lain, sertifikasi halal juga digunakan sebagai alat untuk meningkatkan daya saing di pasar global. 

Dengan sertifikat halal, produk bisa menembus pasar negara-negara Muslim dan mendapatkan label "halal" yang menjanjikan pangsa pasar yang lebih luas. Hal ini secara tidak langsung membuat sertifikasi halal lebih menjadi bagian dari strategi pemasaran ketimbang sebagai upaya murni untuk memfasilitasi keyakinan agama.

Namun, di sisi lain, beberapa kelompok Muslim merasa bahwa penggunaan nama-nama ini bisa menimbulkan kebingungan atau bahkan merusak persepsi terhadap makanan halal. Nama-nama yang identik dengan makanan haram dianggap tidak pantas karena bisa mengaburkan batasan yang jelas antara yang halal dan haram. Ini bisa membuat konsumen ragu atau merasa tidak nyaman, meskipun produk tersebut secara teknis telah mendapatkan sertifikasi halal.

Sertifikasi halal seharusnya menjadi jaminan keimanan bagi konsumen Muslim, yang memastikan bahwa produk yang mereka konsumsi sesuai dengan ajaran agama. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sertifikasi halal telah berkembang menjadi industri yang menguntungkan, dan hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah sertifikasi halal masih murni untuk kepentingan agama, atau sudah menjadi alat komersial?

Di satu sisi, sertifikasi halal memberikan kepastian bagi konsumen dan meningkatkan kepercayaan terhadap produk. Namun, di sisi lain, beberapa pihak melihat bahwa proses sertifikasi ini terkadang dikomersialkan dengan biaya yang tinggi, terutama bagi usaha kecil. 

Beberapa produsen bahkan merasa bahwa sertifikasi ini lebih berfokus pada aspek bisnis ketimbang pada nilai-nilai spiritual. Kondisi ini dapat menciptakan ketidakadilan, karena perusahaan besar lebih mudah mendapatkan sertifikat dibandingkan dengan pelaku usaha kecil yang mungkin merasa terbebani oleh biaya dan proses yang rumit.

Hal ini memunculkan pertanyaan etis: Apakah sertifikasi halal yang pada dasarnya adalah jaminan iman boleh dijadikan komoditas yang diperdagangkan dengan harga tinggi? Jika sertifikasi halal berubah menjadi murni bisnis, esensinya sebagai penjaga keyakinan agama bisa terancam. 

Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terhadap regulasi dan biaya yang terlibat dalam proses sertifikasi agar nilai-nilai keagamaan tetap terjaga, dan pelaku usaha dari semua skala tetap bisa berpartisipasi tanpa merasa terbebani secara finansial.

Sertifikat halal dalam pandangan Islam 
Jaminan sertifikasi halal menjadi salah satu bentuk layanann negara kepada rakyat, karena peran negara adalah sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Apalagi kehalalan juga merupakan kewajiban agama. Jaminan produk halal sejatinya merupakan hak rakyat dari pemimpinnya. 

Oleh karenanya, atas dorongan iman dan kewajiban, negara sudah semestinya melakukan berbagai cara untuk memastikan semua barang konsumsi rakyat dijamin kehalalannya, termasuk melalui aturan sertifikasi halal.

Aturan ini tentu tidak boleh membebani rakyat, terutama para produsen barang. Mereka justru harus diberi kemudahan, termasuk dalam hal regulasi dan pembiayaan. Karena sekali lagi, tugas negara adalah mengurus seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka. 

Pengusaha wajib disadarkan bahwa ia mempertanggungjawabkan kehalalan produknya bukan hanya pada umat, tetapi kepada Allah Taala, tuhannya umat.

Rasulullah ï·º bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.“ (HR Muslim).

“Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.“ (HR Muslim dan Ahmad).

Soal makanan dan minuman, status halal dan tayib adalah mutlak bagi kaum muslim. Makanan/minuman yang mengandung keharaman, baik pada zatnya (meski sedikit) maupun prosesnya, tentu tertolak. Sebagaimana tercantum di dalam dua ayat berikut ini. 

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Maidah [5]: 88).

Dalam kedua ayat di atas sudah jelas bahwa mengabaikan aspek halal dan tayib adalah tindakan mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan menerapkan konsep halal dan tayib adalah bagian dari keimanan kepada Allah Taala.

Penting memastikan setiap yang dikonsumsi adalah halal karena ada konsekuensi tidak diterimanya ibadah dan doa ketika masuk makanan yang tidak halal. Sabda Rasulullah saw. riwayat Imam Muslim, 

“Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh sehingga rambutnya kusut dan wajahnya berdebu. la menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, ‘Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!’ Padahal, yang dimakannya adalah haram maka bagaimana akan diterimanya doa itu?”
Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi, lanjutnya, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.”

Mekanisme jaminan aman dalam mengonsumsi produk, baik secara agama (halal dan tayib) maupun secara kesehatan hanya bisa diwujudkankan oleh negara yang menerapkan sistem Islam. 

Wallahualam bishawab.


Oleh: Retno Indrawati, S.Pd.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar