Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sampai Kapan Dunia Abai pada Gaza?

Topswara.com -- Miris “zona kemanusiaan aman” di Jalur Gaza kini menjadi tumpukan puing-puing dan abu. Entitas Zionis Yahudi hanya menyisakan 9,5 persen wilayah "zona aman" bagi warga sipil yang mengungsi. Awal November 2023, pasukan Israel mengusir ratusan ribu warga sipil dari Gaza utara ke Gaza selatan melalui invasi darat dan mengeklaim area tersebut sebagai “zona kemanusiaan yang aman” (antaranews.com). 

Awalnya zona tersebut memiliki luas 230 kilometer persegi atau 63 persen dari total wilayah Gaza, termasuk lahan pertanian dan fasilitas komersial, ekonomi, serta layanan yang tersebar di wilayah seluas 120 kilometer persegi. Namun semakin menyusut setelah terjadi serangan militer Israel. 

Hal tersebut memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, karena warga sipil saat ini hanya memiliki tempat yang lebih kecil untuk melarikan diri dari aksi kekerasan. Blokade juga telah menyebabkan kelangkaan akut pada bahan makanan, air bersih, dan obat-obatan serta menyebabkan kehancuran pada sebagian besar wilayah tersebut.

Terhitung sejak 7 Oktober 2023 serangan Israel telah menewaskan lebih dari 40.200 warga Palestina yang sebagian besarnya adalah perempuan dan anak-anak dan 93 ribu orang luka-luka. Meski demikian Israel tetap menolak melakukan gencatan senjata. 

Sementara itu, sikap abai dunia Islam terhadap Gaza kian membuat miris. Negara tetangga terbesar di kawasan jazirah yakni Arab Saudi, diketahui tengah membangun 15 stadion megah persiapan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034 tanpa sedikit pun peduli dengan tumpahnya darah saudara sesama muslim di Gaza.

Demikian halnya Mesir, enggan membuka pintu perbatasan untuk memberikan bantuan logistik meski berbatasan langsung dengan Gaza. Sedangkan negara-negara Arab lainnya malah menormalisasi hubungan dengan Israel, tanpa secuil pun rasa kepedulian bagi Gaza. Sedangkan nun jauh di sana, ada Turki yang hanya bisa mengecam tanpa aksi nyata.

Fakta ini menunjukkan sikap abai dunia Islam terhadap Gaza akibat sentimen kebangsaan. Ikatan akidah sesama Muslim tidak lagi terdepan dalam menyikapi krisis kemanusiaan besar-besaran di Gaza. 

Sebaliknya, negeri-negeri Muslim tidak berkutik untuk membela saudaranya di Palestina disebabkan ide nasionalisme yang sudah mengakar di dalam negeri Muslim sendiri. 

Seharusnya para penguasa negeri Muslim bisa berbuat lebih banyak dari sekadar mengecam dan mengutuk kebrutalan Israel. Di antaranya pengiriman militer sebagai langkah strategis dan mengeluarkan kebijakan pemboikotan terhadap produk-produk Israel beserta negara-negara pendukungnya. 

Namun, sayangnya langkah-langkah itu tidak diambil, inilah bukti nyata rusaknya kepemimpinan para penguasa di negeri-negeri Muslim.

Selain itu, atas nama kekuasaan para penguasa negeri Muslim mengabaikan persatuan umat atas nama akidah Islam demi melawan kebrutalan Zionis Yahudi. 

Hal ini sebagaimana telah diingatkan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sungguh, tegaknya sistem jahat sekuler- kapitalis yang diterapkan saat ini telah membuat negeri-negeri Islam mati rasa. Ketidakpedulian mereka pada Gaza menegaskan sikap individualistis, padahal Gaza membutuhkan perkara yang lebih tinggi dari sekadar kecaman, sebab krisis di Gaza bukanlah serangan biasa. 

Krisis Gaza adalah peristiwa genosida akibat tindakan keji Israel yang didukung sistem kapitalis-sekuler. Namun miris, para pemimpin Muslim lebih rela menjadi antek musuh Islam, dibandingkan membantu kesulitan saudara sesama Muslim. 

Lebih dari itu, krisis Gaza termasuk krisis kemanusiaan dan wujud perang ideologi antara ideologi kufur kapitalisme dan ideologi sahih, yakni Islam. Menjadikan ideologi negeri-negeri Muslim membebek pada negara Barat. Sehingga suara solidaritas dari seluruh penjuru dunia atas pembelaan Palestina bisa begitu mudah diabaikan. 

Sejatinya Palestina membutuhkan solusi sistemis, yaitu bersatunya seluruh umat muslim dalam ideologi yang satu yakni ideologi Islam sebagai lawan sepadan bagi kapitalisme. Yang diemban oleh individu masyarakat dan diterapkan oleh negara, sebagai daulah Islam sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Daulah slam memiliki strategis kebijakan dalam menghadapi entitas Zionis Yahudi, diantaranya kebijakan politik luar negeri berupa dakwah dan jihad. Bukan dengan perundingan maupun resolusi PBB, upaya gencatan senjata, yang faktanya tidak menyolusi, dan tidak mampu menghantam kebrutalan dan kebebalan Zionis Yahudi.

Khalifah dalam daulah Islam akan berperan menjadi perisai bagi kaum Muslim. Sebagaimana tercantum dalam sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya” (HR. Muttafaqun ‘alaih). 

Penerapan kembali aturan hukum syariat Islam dan penegakannya dalam Daulah Islam harus menjadi kesadaran dan opini umum di tengah umat. Kesadaran ini akan terbentuk melalui jalan dakwah di tengah masyarakat. 

Sehingga mendorong seluruh umat Muslim turut berjuang dengan sungguh-sungguh, penuh keikhlasan demi tegaknya kembali daulah Islam yang mampu menuntaskan masalah umat dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. []


Oleh: Yenny Haifa
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar