Topswara.com -- Teriakan intoleransi segera membahana mengiringi penolakan DPRD Parepare, Sulawesi Selatan, terhadap pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel di Kota Parepare. Ketua LBH GP Ansor Parepare menyebut sikap DPRD melanggar amanat konstitusi (sulselsatu.com, 24/09/2024).
Tak mau ketinggalan, Plh. Direktur Eksekutif Wahid Foundation ikut mengkritisi sikap penolakan pendirian sekolah keagamaan di Parepare. Menurutnya, peristiwa itu bersifat intoleransi yang mengganggu dan merusak hak agama lain (antaranews.com, 26/09/2024).
Seorang influencer, Abu Janda, bahkan menyebutnya dengan Kristenfobia yang dilindungi negara. Menyindir DPRD Parepare sebagai institusi negara.
Kasus ini lanjutan dari tahun lalu. Saat warga melakukan aksi demo atas pendirian sekolah Kristen di komunitas Muslim. Proses pembangunan pun dihentikan sementara. Tahun lalu, Direktur Eksekutif Setara Institute juga memberi stigma kelompok Intoleransi kepada masyarakat yang menolak pembangunan sekolah Kristen (bbc.com, 13/10/2023).
Hanya untuk Umat Muslim
Stigma intoleransi berdengung kencang terhadap kaum Muslim. Namun beda ceritanya jika korbannya adalah umat Muslim. Sebutlah kasus penolakan pembangunan masjid di Manokwari Selatan, Papua Barat. Kelompok yang menolak tak disebut melakukan aksi intoleransi.
Di Tolikara Papua pun dulu pernah ada Perda pelarangan pembangunan rumah ibadah selain gereja. Di Bali, dulu pun sempat ada larangan menggunakan hijab hampir di seluruh sekolah. Dan di bulan Juli 2024 tadi, pembangunan pondok pesantren mendapat penolakan di Perumahan Jaya Abri Entrop, Papua.
Adakah aksi penolakan itu mendapat perhatian dari ormas, lembaga hingga para influencer? Adakah mereka-mereka yang menolak itu disebut pelaku aksi intoleransi?
Inilah nasib Muslim Indonesia, laksana tirani minoritas di negeri mayoritas Muslim. Saat menolak pembangunan sekolah atau rumah ibadah lain di lingkungan masyarakat Muslim, dituduh intoleransi. Saat membangun Masjid atau pesantren di masyarakat non-Muslim, wajib mengalah demi toleransi. Benar-benar pilih kasih.
Toleransi versi Barat
Stigma intoleransi seiring dengan kampanye War on Terrorism (WoT) yang digaungkan AS sejak tahun 2001. Perang melawan terorisme yang diumumkan si negara adikuasa AS sejatinya adalah perang melawan Islam teroris dan Islam radikal. Dengan definisi teroris dan radikal ditujukan untuk Islam.
Antitesa dari teroris dan radikal pun dibuat oleh AS yaitu Islam liberal dan moderat. Didefinisikan sebagai Islam yang ramah terhadap nilai-nilai Barat, toleran dan menerima apapun ide-ide dari Barat. Adapun ide-ide Barat tersebut adalah pluralisme, feminisme, sekularisme, sinkretisme dan berbagai isme lainnya yang merusak pemikiran kaum Muslimin.
Toleransi antarumat beragama yang diinginkan Barat adalah mengakui dan membenarkan agama lain. Turut mengucapkan selamat hari raya pada agama lain. Kelas bertentangan dengan akidah Islam.
Potensi Konflik
Sebenarnya perbedaan agama atau kepercayaan telah ada sejak zaman dahulu. Itulah fitrah manusia yang tersimpan dalam naluri menyucikan sesuatu. Namun di sistem demokrasi kapitalisme, perbedaan agama ini justru berpotensi konflik.
Ada dua penyebab utama konflik umat beragama. Pertama, pilar kebebasan yang diagungkan sistem demokrasi. Prinsip kebebasan inilah yang membuat siapa pun merasa berhak melakukan apa pun. Termasuk mendirikan rumah ibadah atau sekolah agama yang berbeda dengan penduduk mayoritas.
Kedua, negara yang abai. Berasas sekularisme, negara di sistem demokrasi abai terhadap penjagaan akidah rakyatnya. Bertindak hanya sebagai regulator dan fasilitator, negara akan memberikan izin pembangunan selama syarat-syarat dipenuhi.
Tidak peduli tentang bagaimana syarat itu bisa terpenuhi, apakah dengan cara yang baik atau tidak. Tidak peduli juga bagaimana dampak pembangunan bagi masyarakat sekitar. Secara fitrah, tentu tidak nyaman dan khawatir melihat syiar agama lain di lingkungan yang mayoritas Muslim, pun sebaliknya. Negara takkan peduli akan hal itu.
Toleransi dalam Islam
Di negara Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW, terdapat agama Yahudi dan Nasrani selain agama Islam. Rasulullah SAW memimpin dengan toleran dan adil. Dengan penerapan syariat Islam, hukum yang bersumber dari Allah SWT maka akidah umat Islam akan terjaga dan umat agama lain tetap masih bisa menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
Toleran yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW adalah manifestasi dari firman Allah SWT dalam surah Al-Kafirun. Umat agama lain dibiarkan beribadah sesuai dengan keyakinannya.
Namun mereka tidak boleh memaksa umat Muslim untuk mengakui dan membenarkan agama lain dan mengikuti ritual agama lain seperti mengucapkan salam agama lain dan mengucapkan selamat hari raya. Jelas keharamannya bagi seorang Muslim.
Dan untuk menjaga akidah umat Muslim, negara khilafah yaitu negara warisan Rasulullah SAW, akan melarang segala bentuk syiar dari agama lain di ruang publik. Termasuk melarang pembangunan rumah ibadah agama lain di komunitas Muslim. Agama lain diperbolehkan syiar di komunitasnya sendiri dan membangun rumah ibadah di perkampungannya sendiri.
Demikian toleransi dalam Islam. Umat Islam akan terjaga akidahnya, umat lain tenang beribadah, dan menihilkan potensi konflik. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar