Topswara.com -- Kondisi Muslim Rohingya kini tertutup oleh sorotan dunia yang terarah pada konflik di Gaza serta hiruk-pikuk pemerintahan baru di Indonesia. Di tengah derasnya perhatian media terhadap Palestina, tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim Rohingya tampak semakin terlupakan.
Padahal, beberapa waktu lalu, media Kompas.com melansir sebanyak 146 pengungsi Rohingya terdampar di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (24/10/2024).
Pengungsi Rohingya ini sempat mengalami penolakan sebelum akhirnya diizinkan mendarat. Insiden ini menambah panjang derita komunitas Rohingya yang terusir dari tanah kelahiran mereka di Myanmar karena diskriminasi agama dan etnis.
Nasib Muslim Rohingya seolah tidak mendapat tempat yang layak dalam narasi besar umat Islam maupun dalam perhatian global. Padahal, bagi umat Islam, isu Rohingya bukan hanya persoalan kemanusiaan tetapi juga persoalan umat.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya umat Islam menunjukkan solidaritas, kepedulian, serta mengambil langkah nyata untuk membantu saudara-saudara mereka ini. Namun, apakah bentuk pertolongan yang diberikan cukup memadai? Bagaimana seharusnya umat Islam, khususnya Indonesia, merespons masalah ini dengan serius dan strategis?
Krisis Rohingya Adalah Tragedi yang Terus Berulang
Tragedi yang menimpa Muslim Rohingya bukanlah kejadian baru. Dalam satu dekade terakhir, minoritas Muslim ini telah mengalami diskriminasi sistemik yang ekstrem di Myanmar. Mereka diusir, dijadikan sasaran kekerasan, hingga ditempatkan di kamp-kamp pengungsian dengan kondisi yang sangat minim.
Tragedi ini bukan hanya terjadi dalam hitungan tahun, namun telah berlangsung puluhan tahun. Meski begitu, upaya penyelesaian dari pemerintah Myanmar dan tekanan internasional masih sangat minim.
Ketika Rohingya terpaksa mengungsi, negara-negara tujuan pengungsian mereka, termasuk Indonesia, juga seringkali terjebak dalam dilema. Indonesia, yang belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi 1951, memiliki keterbatasan dalam penanganan pengungsi.
Meski demikian, alasan kemanusiaan dan ikatan persaudaraan sesama Muslim seharusnya cukup untuk mendorong negara memberikan pertolongan. Terlebih, Islam mengajarkan untuk saling tolong-menolong dan memperhatikan saudara-saudara yang tertindas.
Sudah sepatutnya pemerintah dan masyarakat bersatu untuk memberikan bantuan yang lebih konkret, baik dalam bentuk tempat penampungan, kebutuhan pangan, hingga dukungan kesehatan dan pendidikan bagi pengungsi.
Kapitalisme Tidak Mampu Menyelesaikan Krisis Kemanusiaan
Sistem kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini memberikan banyak keterbatasan dalam penyelesaian masalah kemanusiaan seperti yang dialami oleh Muslim Rohingya. Sistem ini mengedepankan kepentingan nasional dan ekonomi, yang sering kali menyingkirkan aspek kemanusiaan.
Di bawah kapitalisme, negara cenderung mempertimbangkan segala tindakan dengan kalkulasi untung rugi. Karena itu, ketika negara-negara tujuan pengungsi, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak pengungsi, pertimbangan biaya dan risiko sering kali mendominasi keputusan mereka.
Indonesia, yang belum menandatangani Konvensi PBB tentang Pengungsi, juga menghadapi dilema serupa. Di satu sisi, banyak kalangan yang mendesak pemerintah untuk lebih peduli dan bersikap tegas dalam menangani krisis Rohingya; di sisi lain, ada pula yang menganggap bahwa kebijakan terkait pengungsi harus diatur dengan hati-hati agar tidak membebani negara secara berlebihan.
Keterbatasan dalam penanganan pengungsi ini semakin memperlihatkan kelemahan sistem kapitalisme, yang sering kali gagal memberikan solusi jangka panjang dan hanya menghasilkan bantuan sesaat.
Peran Umat Islam dalam Membela Rohingya
Sebagai bagian dari umat Islam, kepedulian terhadap nasib Muslim Rohingya menjadi kewajiban kolektif yang tak dapat diabaikan. Dalam Islam, persaudaraan sesama Muslim sangat ditekankan.
Hadis Rasulullah SAW bahkan menyebutkan bahwa umat Islam bagaikan satu tubuh; jika satu bagian tubuh terluka, maka bagian tubuh yang lain akan ikut merasakannya. Maka, umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, seharusnya turut merasakan penderitaan yang dialami oleh Muslim Rohingya dan mengambil langkah untuk membantu mereka.
Dalam sejarah Islam, Khilafah Islamiyah dikenal sebagai sistem pemerintahan yang mengedepankan keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, bukan hanya untuk warga negara atau komunitas tertentu.
Dalam konteks ini, khilafah tidak menganut nasionalisme yang terbatas pada batas-batas geografis, melainkan menempatkan kepentingan umat di atas segalanya. Hal ini berbeda dengan negara bangsa dalam sistem kapitalisme yang seringkali terikat oleh kepentingan nasional dan politik internal.
Seandainya ada satu pemerintahan Islam yang bersifat global seperti Khilafah, Muslim Rohingya dan komunitas Muslim lain yang tertindas di berbagai belahan dunia akan memiliki tempat berlindung.
Dalam sistem ini, setiap Muslim berhak mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari negara, tanpa melihat asal usul atau kebangsaan mereka. Sejarah menunjukkan bahwa Khilafah Islamiah pernah menjadi pelindung bagi berbagai komunitas dan minoritas yang teraniaya.
Selain itu, Khilafah juga memiliki mekanisme untuk menyalurkan zakat, wakaf, dan dana-dana sosial lain yang berpotensi besar untuk membantu pengungsi. Dalam konteks Rohingya, dukungan ini sangat diperlukan untuk membangun kembali kehidupan yang layak, baik di negara tempat mereka mengungsi maupun jika memungkinkan untuk kembali ke tanah kelahiran mereka dengan aman.
Oleh karenanya kondisi Muslim Rohingya harusnya menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa masalah ini bukan sekadar isu kemanusiaan yang terjadi di negara lain, melainkan tanggung jawab bersama. Di tengah perhatian yang terfokus pada isu Gaza dan politik domestik, umat Islam harus kembali merapatkan barisan dan mengedepankan solidaritas.
Untuk itu, langkah konkret yang bisa dilakukan adalah menyuarakan kepedulian terhadap Muslim Rohingya, baik melalui media sosial, aksi damai, atau advokasi kebijakan yang mendukung hak-hak mereka.
Namun yang lebih penting adalah umat perlu mendorong pembentukan sistem pemerintahan yang mampu melindungi seluruh umat Islam di dunia secara adil, yaitu dengan kembali pada konsep Khilafah Islamiah yang berlandaskan pada keadilan dan persaudaraan.
Pada akhirnya, harapan akan adanya sistem yang tidak hanya berpikir nasionalisme sempit, tetapi juga menjunjung tinggi solidaritas umat adalah sesuatu yang mendesak dan sangat dibutuhkan.
Muslim Rohingya tidak seharusnya berjuang sendiri. Mereka membutuhkan dukungan nyata dari saudara-saudara mereka di seluruh dunia. Kini, saatnya kita mengulurkan tangan dan mengingatkan bahwa penderitaan mereka adalah bagian dari kepedulian kita bersama.
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar