Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Intoleransi di Indonesia, Benarkah Merusak Hak Umat Beragama?

Topswara.com -- Belum lama ini, sejumlah warga di kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel) menggelar demonstrasi penolakan kelanjutan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel. Aksi penolakan tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P).

Dilansir dari detiksulsel, massa melakukan unjuk rasa untuk menuntut Sekolah Kristen Gamaliel dihentikan pembangunannya, mencabut perizinan sekolah tersebut, dan melakukan relokasi. 

Menurut mereka pembangunan sekolah tersebut tidak sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Kemendikbudristek Nomor 26 Tahun 2021 (20/09/2024)

Unjuk rasa penolakan pembangunan Sekolah Kristen ini bukanlah kali pertama. Sebelumnya juga telah dilakukan masyarat Parepare untuk membatalkan hingga menghentikan pembangunam tersebut, karena masyarakat khawatir dengan keberadaan tersebut nantinya akan merusak keimanan masyarakat sekitar. Namun, hingga hari ini permasalahan twraebut belum usai ditangani dan justru semakin memanas.

Tampaknya, isu intoleransi makin deras diopinikan hari ini. Bahkan Plh. Direktur Eksekutif Wahid Foundation Siti Kholisoh menilai, penolakan ini dianggap sebagai tindakan intoleransi yang merusak hak umat beragama lain hanya karena berbeda keyakinan dengan mayoritas orang Indonesia (baca: Islam). (Islam kaffah, 26-9-2024). Benarkah demikian?

Jika kita cermati tampak jelas bahwa istilah intoleransi dianggap sesuatu yang mengancam kehidupan beragama negeri ini. Seolah negeri yang mayoritas berpenduduk muslim terjangkit virus intoleransi. 

Padahal kita dapat melihat upaya yang dilakukan massa dan masyarakat yang melakukan penolakan itu sebagai bentuk untuk mempertahankan akidah Islam umat supaya tidak terbawa arus moderat dengan adanya pembangunan Sekolah Kristen tersebut.

Seharusnya perlu ada pendetailan penyebab masyarakat muslim di suatu daerah sampai menolak berdirinya lembaga pendidikan berbasis agama tertentu. Bisa jadi selama ini ada indikasi bahwa di balik berdirinya lembaga berbasis agama, ada misionaris yang hendak memurtadkan warga muslim di daerah. Wajar jika masyarakat muslim khawatir akan hal tersebut.

Mirisnya, masyarakat yang berupaya untuk mempertahankan aqidahnya justru terlebel intoleran. Mereka dipandang tidak memiliki rasa toleransi terhadap agama lain. Ada apa dengan negeri ini? Kenapa hanya umat Islam yang menjadi sasaran intoleran ketika melakukan penolakan apapun terhadap agama lain? 

Bagaimana dengan agama lain yang menghalangi umat Islam melaksanakan ajaran agamanya, apakah mereka juga termasuk intoleran?

Seperti inilah fenomena yang terjadi pada negeri kita yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme. Negara justru membuka peluang munculnya liberalisasi aqidah dan membiarkan terjadinya permutadan secara masif. 

Di sisi lain, label intoleransi yang disematkan kepada umat Islam menunjukkan bahwa negara tidak menginginkan penerapan Islam kaffah di tengah-tengah umat. Penyematan istilah intoleransi ini sendiri juga merupakan bagian dari merendahkan Islam dan melanggengkan agenda sekuler di tengah umat muslim.

Terlebih, istilah toleransi bagi mereka adalah umat Islam bersedia menerima ajaran, pemikiran, dan aktivitas yang tidak sesuai dengan Islam. Istilah ini justru berbeda ketika mereka diminta untuk bersedia menerima ajaran Islam. Inilah dampak masalah yang muncul tatkala negara tidak hadir sebagai raa’in (pelindung) bagi rakyatnya. 

Islam adalah agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk soal toleransi. Istilah toleransi dalam Islam diartikan sebagai sikap menghormati agama lain dengan membiarkan mereka beribadah sesuai agamanya masing-masing tanpa mencampuradukan ajarannya dengan ajaran Islam. 

Allah Swt. berfirman, 
“Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya” (TQS. Al-Baqarah: 42).

Islam juga memberikan ketentuan dan rambu-rambu terkait persoalan toleransi. Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran dan keyakinan agama selain Islam. 

Dalam firman Allah Swt,
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (TQS. Ali Imran: 85)

Selain itu, Islam tidak pernah menoleransi keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam dan Islam tidak menoleransi orang yang menolak kewajiban salat, zakat, puasa, keharaman zina dan pergaulan bebas, keharaman membunuh tanpa hak dan kewajiban, dan larangan lain yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i.

Bentuk sikap toleransi yang diajarkan dalam Islam lainnya dengan mengizinkan umat Islam berinterakasi dengan nonmuslim dalam perkara yang mubah, seperti menikah dengan nonmuslim dan segala sesuatu yang tidak dapat diubah dengan mengatasnamakan toleransi.

Sungguh, Rasulullah pun telah mengajarkan bentuk toleransi kepada nonmuslim dengan menjenguk orang yahudi yang sakit, melakukan jual beli, dan menghargai tetangga nonmuslim. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi, hidup berdampingan satu sama lain. 

Mereka hidup bersama dalam naungan pemerintahan Islam. Masyarakat nonmuslim mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai keyakinan mereka.

Demikianlah gambaran jejak peradaban Islam dengan memperlakukan adil terhadap nonmuslim dan sikap toleransi yang luar biasa diaplikasikannya. 

Oleh karenanya, jika masih ada yang mempersoalkan toleransi dalam Islam, sesungguhnya merekalah yang intoleran. Maka sudah seharusnya umat banyak mengkaji Islam dan memahami Islam secara kaffah. Cintai agamamu dan berIslam kaffah.

Wallahu’alam.


Oleh: Novriyani, M.Pd.
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar