Topswara.com -- Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan produk yang masih dipertanyakan kehalalannya. Produk tersebut viral dalam sebuah konten di medsos. Sebut saja Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine yang katanya sudah mendapat sertifikasi halal.
Hal ini diungkapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa ada temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi temuan ini pada Selasa (1/10). Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare. Asrorun menjelaskan, nama-nama produk tersebut tidak dibenarkan sesuai standar fatwa MUI (beritasatu.com, 1/10/2024).
Sertifikasi halal melalui self declare merupakan cara yang ditempuh dengan tidak mengeluarkan biaya alias gratis. Self declare adalah sertifikasi halal yang dilakukan berdasarkan pernyataan pelaku usaha. Penetapan halalnya akan dikeluarkan oleh Komite Fatwa Produk Halal.
Namun persoalannya saat ini adalah mengapa produk pangan dapat lolos tanpa uji kehalalan? Seperti apakah seharusnya jaminan kehalalan benda/dzat sehingga bukan sekedar pemberian sertifikasi?
Halal Bukan Sekadar Sertifikat
Sertifikasi halal memang selayaknya dibutuhkan apalagi dalam kehidupan saat ini yang diterapkan aturan kapitalis sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem kapitalis sekuler, penilaian sesuatu lebih banyak diambil sesuai dengan pandangan manusia baik dan buruk, terpuji maupun tercela.
Manakala membawa keuntungan dan sesuai kebutuhan zaman akan diambil. Tentu pandangan manusia jauh dari pertimbangan halal dan haram. Karenanya produk pangan bisa lolos tanpa harus uji halal, maka akan semakin banyak yang mengurus sertifikasi demi meraih cuan.
Produk pangan melalui sistem self declar dengan tanpa biaya, urusan cepat beres tanpa bertele - tele justru membuka celah terjadinya penyalahgunaan. Tak sedikit produk yang lolos tanpa uji halal sehingga tidak mengetahui kehalalan kandungan/zatnya.
Ini baru beberapa produk saja yang ditemukan namun bisa jadi lebih banyak produk yang kasusnya sama. Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine sekedar nama yang dinilai karena dzatnya aman, bukankah sesuatu yang aneh ?
Justru akan bermasalah bagi masyarakat. Sebab merupakan hal yang prinsip untuk menjaga kemurnian hukum Islam. Masyarakat yang jeli dan waspada akan berhati-hati apalagi terhadap produk yang tidak jelas kehalalannya. Sebab arti sebuah nama mencerminkan isi. Hal ini juga menentukan kepercayaan masyarakat terhadap layanan sertifikasi halal yang sejatinya mampu menjamin kehalalan zatnya.
Namun terkadang layanan yang bersifat gratis tidaklah ketat sehingga bisa saja dimanfaatkan pelaku bisnis yang tidak bertanggung jawab atas kehalalan produk. Sebaliknya ketika lolos uji kehalalan produk namun di luar itu bisa saja mengganti kandungan zatnya dengan sesuatu yang tidak halal.
Di sinilah pokok masalahnya. Ketika hanya perbaruan sertifikasi halal tanpa uji lab ulang, justru berpeluang terjadi kecurangan dan manipulasi.
Karena itu halal bukan sekadar sertifikat, namun harus dibuktikan dengan kejujuran dan keamanahan. Bukan dijadikan sebagai ladang bisnis. Maka, masalah ini sudah menjadi perhatian serius pemerintah menegakkan sistem yang bernuansa ketakwaan pada Allah SWT.
Halal karena Perintah Syariat
Polemik sertifikasi halal pada produk yang diragukan kehalalannya namun dianggap aman karena dzatnya halal hanya terjadi dalam sistem kapitalis sekuler. Model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme hanya mementingkan bisnis. Meskipun nama produknya aneh namun tak jadi soal asal zatnya halal.
Padahal hal itu dapat menimbulkan kerancuan sebab persoalannya adalah halal haramnya dzat suatu benda dan dalam agama Islam merupakan persoalan prinsip yang tak bisa ditawar.
Islam memiliki aturan tentang benda/dzat, ada yang halal dan yang haram. Penetapan halal dan haram dzat dalam Islam didasarkan pada syariat bukan hasil pemikiran manusia. Dalam dzat pangan ada bahan yang halal dimakan, seperti tumbuhan dan hewan.
Kemudian bahan yang haram seperti daging babi, anjing, hewan bertaring. Minuman yang haram seperti minuman beralkohol (arak/khamr)/minuman beralkohol tinggi.
Islam pun menuntun cara memperoleh bahan pangan yang halal. Khusus makanan, ada yang bersifat dzati dan bersifat aridhi. Bersifat aridhi adalah barang yang diperoleh dengan cara mencuri, menipu, berbuat zina, hasil riba, korupsi.
Maka, bagi seorang Muslim wajib menghindari perkara yang haram yaitu dengan mengetahui bahayanya dan berhati-hati terhadap makanan yang dikonsumsi.
Sebab uang yang digunakan untuk memperoleh pangan yang berasal dari sesuatu yang tidak baik, hukumnya menjadi haram meskipun dzatnya halal. Berhati-hati pula dengan cara pengolahannya. Sebab tak sedikit yang lalai dengan perkara haram karena tak mengetahui bahayanya, lemah iman, besarnya godaan, lupa akan siksa akhirat, dan lain - lain.
Karena itu hakikinya sertifikasi halal merupakan bentuk layanan negara yang harus diberikan secara gratis. Negara harus mampu memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap benda/produk sehingga benar-benar aman dikonsumsi.
Negara dengan dibantu para qadhi hisbah bertugas secara rutin melakukan pengawasan baik di pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, pabrik, restoran dan lain-lain untuk mengawasi produk pangan dan distribusinya. Negara memberi sanksi tegas pada pelaku bisnis agar tidak ada kecurangan dan kamuflase.
Menjamin kehalalan benda/produk merupakan kewajiban yang tak bisa ditawar sebab merupakan perintah syariat yang wajib dijaga. Islam telah mengatur nilai-nilai yang harus diraih dalam memperoleh amal sesuai dengan perbuatannya.
Seperti penjual dan pembeli, terdapat nilai yang harus diraihnya bukan saja keuntungan materi namun jujur dan amanah harus diutamakan. Akan mendapatkan pahala jika sesuai perintah Allah SWT dan dosa jika melanggarnya.
Semua ini butuh peran negara agar aturan berjalan sesuai dengan perintah-Nya. Bukan sesuai kebutuhan perut sehingga tak peduli keamanan zatnya. Padahal halal harus menjadi nomor satu sebab terkait dengan masalah kesehatan. Kehalalan pangan sudah seharusnya ditegakkan dengan aturan Islam kaffah agar penduduknya sehat, diberkahi di dunia maupun di akhirat. []
Oleh: Punky Purboyowati, S.S.
(Komunitas Pena Muslimah)
0 Komentar