Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Keniscayaan Politik Dinasti dalam Sistem Demokrasi

Topswara.com -- Pada hari Selasa 1 Oktober 2024 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) resmi di lantik. Sebanyak 580 anggota dewan diharapkan mampu berpihak dan mewakili kepentingan selama lima tahun kedepan.

Anggota DPR tidak boleh tunduk dan patuh pada kepentingan parpol dan elit politik. Apalagi mempunyai pemikiran meraup keuntungan pribadi dan golongannya, pasalnya politik dinasti diduga masih melekat pada anggota DPR periode 2024-2029 saat ini.

Hasil riset Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat dari 580 anggota dewan yang terpilih hari ini, sedikitnya 79 orang yang terindikasi dinasti politik atau ada ikatan kekeluargaan dengan pejabat publik. Relasi kekerabatan mereka beraneka ragam, ada yang statusnya anak, keponakan, bahkan sampai dengan statusnya yang suami istri.

Seperti Rahmawati Herdian dari partai Nasdem merupakan anak dari Wali Kota Lampung. Sandi Fitrian dari partai Golkar merupakan anak Gubernur Kalsel yaitu Sahbirin Noor. 

Contoh lain, yang merupakan suami istri Ahmad Muzani dari partai Gerindra berama istrinya Himmatul Aliyah, Marlyn Maisarah dan Sugiono, bahkan dari kalangan artis pun yang berstatus suami dan istri Ahmad Dhani dan Mulan Jameela berhasil lolos menjadi anggota DPR-RI.Tirto, Selasa (1/10/2024).

Lolosnya mereka dikarenakan ada anggota DPR terpilih yang mengundurkan diri. Terlebih saat DPR terpilih pengganti adalah artis ternama, orang dekat atau kerabat dari ketua umum parpol. Suara rakyat seakan tidak memiliki kuasa untuk melawan kehendak pribadi dari elit parpol.

Praktik politik dinasti lahir dari sistem demokrasi yang di wadahi oleh kapitalisme, sehingga praktik politik ini di dominasi oleh tujuan meraih keuntungan materi sebesar besarnya. Tanpa memandang apakah ini baik atau buruk, yang penting tujuan mereka tercapai.

Akibatnya, kekuasaan tidak lagi mengurusi hajat hidup orang banyak, melainkan mengembangkan kepentingan pribadi dan golongannya. Kekuasaan ini menjadi alat penguasa untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya dan kroni-kroninya. Kekuasaan ini juga menabrak apa saja yang menjadi penghalang bagi tujuan mereka termasuk hukum.

Karena sejatinya hukum itu di jungjung tinggi, tapi di bawah demokrasi hukum itu tidak bernilai dan harus tunduk pada kepentingan dinasti. Sayangnya, politik dinasti ini tidak hanya melibatkan Eksekutif (Penguasa) dan Legislatif (partai penguasa parlemen) tetapi juga Yudikatif (peradilan/hukum). Jadilah keputusan hakim tidak obyektif, melainkan di setir oleh kekuasaan.

Seperti yang telah terjadi saat ini, demi melanggengkan kekuasaannya undang undang yang mengatur tentang batas usia pejabat bisa di rubah hanya dalam hitungan detik saja. Malapraktik ini akan terus terjadi, aturan hukum akan di rubah sesuai keinginan penguasa.

Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun pada kenyataannya pihak yang berperan dalam menentukan kebijakan adalah segelintir politisi dari lembaga legislatif. 

Mereka "merangkul" pihak Yudikatif untuk merancang undang-undang yang hanya menguntungkan diri sendiri dan kroni-kroninya. Walhasil, peraturan yang dibuat banyak menyakiti hati rakyat dan atas nama undang-undang kekuasaan demokrasi sudah menzalimi rakyat.

Hal ini berbeda secara frontal dengan sistem pemerintahan Islam. Asas kekuasaan di dalam Islam adalah akidah Islam sehingga tujuan kekuasaan adalah riayah syu’unil umah (mengurusi urusan rakyat). Penguasa dalam pemerintahan Islam (khilafah) menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, bukan untuk kepentingan pribadi dan kroni. Sikap ini lahir dari keyakinan akidah dan menafakuri sabda Nabi yang mulia SAW.,

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Penguasa dalam Islam di syaratkan orang yang adil dan mempunyai kemampuan untuk menjalankan amanah kepemimpinan, Allah SWT berfirman 
اِÙ†َّ اللّٰÙ‡َ ÙŠُØ­ِبُّ الْÙ…ُÙ‚ْسِØ·ِÙŠْÙ†َ
Artinya "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil".

Ayat ini menunjukan bahwa seorang Khalifah harus adil dalam memutuskan perkara. Calon Khalifah akan di lihat dari rekam jejaknya sepanjang hayat, sehingga jelas bahwa ia termasuk orang yang adil dan tidak pencitraan. Selain itu, proses pemilihan khalifah di dalam Islam sangat sederhana dan efektif sehingga tidak butuh waktu lama dan biaya yang sangat besar.

Demikian juga dengan syarat mampu (min ahlil kifayah), yaitu mampu mengemban amanah kepemimpinan. Seorang calon khalifah akan terlihat mampu di lihat dari rekam jejaknya selama ini.

Tidak ada tempat bagi politisi karbitan yang awam politik untuk menjadi seorang pemimpin atau wakil pemimpin. Bahkan seorang khalifah harus dari negarawan visioner level dunia agar dia mampu menyebarkan Islam keseluruh penjuru dunia.

Dengan syarat adil dan mampu pada calon khalifah, maka akan mencegah terjadinya politik dinasti yang rawan korupsi. Jika dalam sistem Islam telah terjadi politik dinasti, maka hal tersebut bukanlah dari Islam tapi merupakan "Malapraktik Syariat". Dan sejarah tersebut tidak boleh menjadi referensi pelaksanaan sistem Islam pada masa depan.

Wallahu'alam Bishawab.


Oleh: Diah Setyarini
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar