Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Karena Menolak Disebut Intoleran: Benarkah Merusak Toleransi?

Topswara.com -- Viral berita di media sosial tentang video seorang perempuan mengamuk di sebuah kompleks perumahan di Kota Bekasi, Jawa Barat. Ia tidak terima dengan tetangganya umat Kristiani yang beribadah di salah satu rumah. 

Perempuan berjilbab kuning ini diduga Aparatur Sipil Negara (ASN) marah-marah kepada sekelompok orang. Kasus ini menimbulkan keprihatinan publik. ASN Pemerintah Kota Bekasi itu dinilai tidak mencerminkan sikap toleransi antarumat beragama (inews.id, 26/9/2024).

Pelaksana harian (Plh) Direktur Eksekutif Wahid Foundation Siti Kholisoh menilai, penolakan pendirian Sekolah Kristen Gamaliel di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, oleh sekelompok masyarakat di Parepare, Sulawesi Selatan, mencederai semangat toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. 

Menurutnya, setiap warga negara Indonesia seharusnya bebas mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama yang telah diakui, selama memenuhi persyaratan administratif (beritasatu.com, 29/9/2024).

Sikap penolakan umat Islam pada non-Muslim karena peribadatan seringkali terjadi. Lantas apakah penolakan sama dengan intoleran? Dan benarkah dapat merusak toleransi? Kasus ini perlu dipahami dengan bijak agar tidak salah kaprah dalam menghukuminya. 

Salah Kaprah Memaknai Toleransi dan Intoleransi

Video penolakan terhadap peribadatan non-Muslim tersebut sangat disayangkan beredar luas di masyarakat. Kasus serupa sudah seringkali terjadi di beberapa daerah. Namun kali ini penolakan tersebut diidentikkan dengan sikap intoleran. Padahal penolakan terhadap peribadatan non-Muslim bukan berarti dapat merusak toleransi itu sendiri. 

Bahkan penyebutan intoleran tidaklah tepat. Sebab jika semua penolakan pada non-Muslim lalu dimaknai intoleran akan sangat berbahaya dan tentu saja tidak dibenarkan. Justru kata intoleran ini harus dijauhi. Sebab akan terjadi kesalahpahaman terhadap makna toleransi itu sendiri. Terlebih akan merusak suasana kerukunan beragama. 

Kata intoleran merupakan 'jebakan' yang disematkan pada umat Islam. Masalahnya Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, akan sangat aneh jika penyebutan intoleran muncul dari kalangan umat Islam sendiri. 

Lucunya lagi menyebut saudara semuslim dengan sebutan intoleran. Penyebutan intoleran ini akan menjadi bias/kabur bagi yang tak memahaminya dengan benar. Terlebih akan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerang Islam dari dalam tubuh umat Islam sendiri.

Dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler, kata intoleran seringkali dijadikan kambing hitam. Faktanya umat Islam selalu menjadi pihak yang tertuduh. Istilah intoleran yang digaungkan seolah menjadi ancaman. 

Parahnya seringkali label intoleran ini disematkan pada sekelompok umat Islam, yang dicap sebagai radikal. Namun anehnya pelaku intoleran yang nyata-nyata menghalangi umat Islam menjalankan ajaran agamanya, malah para pelakunya tidak disebut intoleran. 

Misal tentang pelarangan hijab di Bali dan pengrusakan masjid di Papua yang semua itu dilakukan oleh umat non-Muslim namun mereka tidak disebut intoleran. Hal ini terjadi oleh karena definisi toleransi mengacu pada definisi global yang berasal dari Barat, bukan diambil dari definisi yang berasal dari Islam itu sendiri. Karena itu wajar jika akhirnya pemaknaan toleransi tidak sama dengan apa yang dipahami oleh umat Islam. 

Padahal toleransi sendiri sudah pernah dipraktikkan dengan baik kala negara Islam berdiri dan dilanjutkan oleh kekhilafahan Islam berikutnya yang di dalamnya terdapat penduduk non-Islam. Namun tak ada miskomunikasi atau saling menyudutkan, sebab Muslim maupun non-Muslim paham betul makna toleransi dan kapan toleransi itu digunakan. 

Penyebutan intoleran hanya ada dalam sistem demokrasi kapitalis sekuler yang menganut kebebasan berakidah. Menilai apa pun menurut pandangan manusia demikian juga dengan menilai baik dan buruknya sesuatu tanpa memandang apakah bertentangan atau tidak dengan hukum Allah SWT. 

Alhasil menurut pandangan masing-masing. Persoalan ini terjadi ketika negara tidak hadir sebagai pelindung (ra'in) rakyatnya. Sehingga mereka seenaknya menyebut intoleran. Hal ini justru akan membuka lebar permusuhan. Terlebih saat ini negara dengan sengaja membuka kran liberalisasi akidah dan membiarkan terjadinya pemurtadan secara masif, membuat pelaku semakin leluasa bergerak. 

Apalagi menggunakan definisi global mengakibatkan organisasi Islam, sekolah Islam juga individu Muslim yang taat dituduh sebagai radikal. Tanpa disadari, penguasa negeri ini juga bersikap intoleran terhadap keberadaan umat Islam. 

Maka sebuah ironi di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim justru menerapkan sistem demokrasi kapitalis sekuler yang jauh dari nilai - nilai Islam. Maka, apa yang bisa diharapkan dari sistem ini? 

Negara sendiri juga tak mampu atasi persoalan ini. Ketika merajalela pelaku penista agama dari non-Muslim, negara tak mampu tegas menjatuhkan sanksi jera. Maka bagaimana bisa berlaku adil, toleran saja tidak bisa diterapkan dengan benar. Akan mustahil pula dapat menciptakan suasana kerukunan beragama dengan benar.

Toleransi Hakiki dalam Islam

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin sudah pasti terdapat aturan yang rinci mengatur seluruh kehidupan termasuk berhubungan dengan non-Muslim. Islam memiliki definisi toleransi yang jelas sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. 

Toleransi dalam Islam dibolehkan namun selama tidak bertentangan dengan akidah Islam. Toleransi ada batasan-batasannya sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarah Islam, sejak Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul serta pemimpin kaum Muslim, beliau hidup dengan non-Muslim. 

Beliau bertetangga, berkomunikasi, berdakwah, bermuamalah, berpolitik, menjatuhkan sanksi hukum, dan bersikap adil dengan mereka. Beliau tak pernah berdakwah dengan kekerasan fisik atau melontarkan kata-kata tak pantas terhadap Muslim maupun non-Muslim. Justru memberi contoh dengan kata-kata yang bijak dan menenteramkan. 

Berbeda dengan kondisi saat ini, ketiadaan negara Islam yang mampu melindungi menyebabkan umat Islam menjadi sasaran musuh-musuh Islam. Umat Islam pun banyak yang tak memahami tuntunan Islam termasuk definisi toleransi ini. Alhasil pemaknaannya disetir oleh musuh-musuh Islam melalui tafsir ayat tentang toleransi yang jauh dari makna yang sebenarnya. 

Alhasil tak memahami bagaimana harus bersikap dengan non-Muslim. Mereka lebih dihormati, disayang, dilayani bak raja ketimbang saudaranya sendiri yang semuslim. Toleransi dimaknai secara serampangan dan melampaui batas. 

Alhasil gagal menghasilkan sikap toleransi yang benar. Toleransi seolah menjadi satu-satunya jalan mencapai kerukunan beragama atas nama moderasi beragama namun hakikinya justru merusak ajaran agama Islam itu sendiri. 

Karenanya seorang Muslim yang cerdas tak akan mencederai agamanya sendiri dengan menggunakan aturan selain Islam. Umat Islam harus menyadari bahwa umat Islam butuh junnah (pelindung) yaitu seorang khalifah (pemimpin) umat Islam. Agar musuh-musuh Islam tidak dengan mudah mengadu domba dan merusak hubungan antara Muslim dengan non-Muslim. 

Hanya khalifahlah yang mampu mengayomi dan menciptakan kerukunan beragama namun bukan dengan moderasi beragama. Kerukunan beragama hanya dapat diraih ketika mampu menerapkan aturan Islam kaffah sehingga rahmatan lil alamin dan toleran yang hakikinya dapat dirasakan oleh semua makhluk. []


Oleh: Punky Purboyowati
(Komunitas Pena Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar