Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Formalitas Sertifikasi Halal

Topswara.com -- Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya jika masyarakatnya mudah untuk mencari makanan dan minuman halal serta terjaga dari makanan dan minuman haram. 

Namun apa jadinya jika label halal yang seharusnya menjadi penjamin kehalalan bagi konsumen muslim malah terdapat pada produk-produk yang diragukan kehalalannya. Hal ini tentu akan mengkhawatirkan bagi masyarakat. 

Seperti yang ditemukan oleh MUI terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. (Wartabanjar.com, 01/10/2024)

Selain diatas, masih banyak lagi jenis-jenis makanan yang mendapat sertifikat halal padahal jelas mengandung bahan-bahan haram seperti babi, alkohol, dan sebagainya. Lebih miris lagi makanan dan minuman seperti itu tersebar luas sehingga membingungkan dan meresahkan masyarakat.

Di sisi lain, persebaran makanan dan minuman haram juga seakan tak terkontrol. Ada sebuah toko miras di salah satu kampung di Jogja yang dulunya dikenal sebagai kampung santri. Sehingga miras sangat mudah untuk diakses, termasuk oleh para pelajar di sana.

Hal itu disampaikan dalam pernyataan sikap bersama untuk menolak berdirinya toko minuman keras oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY, dan Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama DIY
(kumparan.com, 21/09/2024)

Dengan dalih kandungan bahan haram yang sangat sedikit atau untuk kepentingan pariwisata maupun menjaga hak asasi manusia, maka sertifikat halal itu menjadi sekedar formalitas yang bisa diperjualbelikan.

Hal ini lumrah terjadi dalam sistem kapitalisme dimana halal haram bukan menjadi acuan untuk menentukan kebijakan dalam negara. Profit oriented menjadi standar yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah ideologi yang berasaskan pemisahan agama dari kehidupan. 

Sehingga hal-hal dari agama dijadikan sebagai simbol atau formalitas belaka dalam pengaturan kebijakan negara.

Sangat berbeda sekali dengan negara yang diatur oleh Islam atau negara Islam. Semua aspek kehidupan dalam negara akan dipastikan diatur berdasarkan syariat Islam dan negara mengontrol ketat akan hal itu. 

Dalam masalah makanan dan minuman maka negara akan memastikan semua produk di pasaran adalah produk halal mulai dari bahannya, cara pembuatannya, hingga kemasannya dan lain-lain. Negara akan menugaskan para qadhi hisbah (hakim) untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. 

Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Bagi yang melakukan penipuan maka negara akan menegakkan hukum yang tegas. 

Adapun bagi orang-orang non muslim yang ingin mengkonsumsi bahan-bahan non halal, maka negara akan memastikan bahwa produk-produk itu ada di pemukiman atau di kalangan non muslim saja, sehingga tidak diperjualbelikan secara bebas. 

Penerapan kebijakan tersebut juga dibarengi dengan kebijakan di bidang yang lain. Seperti dalam pendidikan dimana negara akan menyiapkan kurikulum yang menguatkan ketakwaan warga negaranya sehingga menjadikan halal haram sebagai satu-satunya standar dalam perbuatannya. 

Kemudian dalam bidang sosial budaya bahwa negara akan memberikan edukasi yang semakin menguatkan. Termasuk juga dalam hal politik dalam negeri dan politik luar negeri, negara secara tegas menolak kerjasama dengan asing yang membuka celah masuknya produk haram ke dalam negeri.

Dengan demikian tidak ada dalih keuntungan materi yang menjadikan negara longgar membiarkan produk-produk halal abal-abal untuk beredar di tengah masyarakat Islam. 

Wallahu a'lam bish shawab.


Oleh: Maya Issama Feminia 
Aktivis Dakwah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar