Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Food Estate: Antara Harapan dan Realita

Topswara.com -- Seakan tidak kapok, Pemerintah masih saja berharap adanya proyek food estate bisa mewujudkan ketahanan pangan. Padahal proyek lumbung pangan berskala besar ini dinilai gagal mewujudkan ketahanan pangan seperti yang diharapkan.

Fakta pun menunjukkan bahwa terjadi kegagalan di beberapa daerah yang dijadikan implementasi proyek food estate. Salah satunya daerah Kalimantan Tengah. Di daerah tersebut, proyek food estate telah berjalan tiga tahun, namun ribuan hektare lahan proyek food estate masih terbengkalai dan ditumbuhi semak belukar. 

Bahkan ada ratusan hektare tanah yang beralih menjadi perkebunan sawit milik swasta. Petani pun menyerah menanam padi di lahan food estate karena berulang kali gagal panen. Kegagalan berulang dari program food estate di Kalimantan Tengah terjadi karena lahan yang digunakan tidak cocok untuk pertanian dan pengelolaan yang buruk (bbc.com, 18/10/24). 

Begitu pula yang terjadi di Merauke, Papua. Food estate di daerah tersebut juga mengalami kegagalan. Tidak hanya gagal panen, tetapi juga muncul persoalan lainnya. Seperti, perampasan lahan, kerusakan lingkungan, dan masalah politik pangan nasional (betahita.id, 16/10/2024).

Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan, namun nyatanya panen food estate gagal hadir di meja makan. Yang terjadi malahan krisis pangan. Sungguh berkebalikan dengan tujuannya. Tidak hanya krisis pangan, proyek ini menyisakan masalah lain yaitu perampasan lahan, kerusakan lingkungan yang bisa menyebabkan bencana alam, dan masalah politik pangan nasional. 

Demi proyek food estate, penguasa rela melakukan perampasan lahan milik rakyat dan hutan adat dengan mengatasnamakan ketahanan pangan. Sebagian besar pengadaan tanah untuk food estate berasal dari pembukaan hutan dan penebangan kayu secara masif, yang bisa merusak ekosistem alam dan habitat satwa. Masyarakat pun terkena dampaknya karena kehilangan hutan alami, wilayah adat, dan sumber pangan. 

Proyek food estate merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sebenarnya bagian dari pembangunan berskala kapitalisme. Pembangunan ini bukan untuk kepentingan rakyat, namun tepatnya untuk kepentingan oligarki. Maka wajar bila muncul konflik dengan rakyat setempat. 

Pengelolaan proyek food estate melibatkan pihak korporasi. Konsep dan implementasi food estate adalah mengganti produsen pangan dari tangan petani ke tangan korporasi. Akibatnya, jumlah petani mengalami penurunan. Pada 2013 jumlah petani mencapai 31,7 juta namun pada 2023 mengalami penurunan menjadi 29,3 juta (betahati, 16/10/2024). 

Inilah yang menyebabkan kehancuran sentra pertanian rakyat. Pembangunan kawasan ketahanan pangan sarat akan kepentingan bisnis yang menguntungkan segilintir orang.  

Selama negeri ini masih menerapkan sistem pengaturan negara dengan sistem Kapitalisme maka kebijakan-kebijakan yang diambil tidak akan menyejahterakan rakyat. Yang diuntungkan adalah korporasi sebagai pemilik modal besar. 

Tentunya berbeda dengan sistem pengaturan negara yang berlandaskan aturan Islam. Sistem Islam membangun mengutamakan kepentingan rakyat. Dalam pengurusan, negara memiliki pemahaman dalam mengurus rakyat (mafhum ra'wiyah). Kepengurusan rakyat merupakan amanah yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. 

Sistem Islam juga mengatur sistem pertanian. Dalam mewujudkan ketahanan pangan, sistem Islam tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, keseimbangan alam, dan kestabilan kehidupan sosial. Proyek untuk ketahanan pangan akan dikaitkan dengan penyediaan bahan pangan yang menjadi bahan pokok masyarakat. Negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. 

Negara Islam membangun ketahanan pangan secara mandiri tidak akan bergantung pada swasta ataupun asing. Negara menentukan kebijakan yang berkaitan dengan produksi hingga distribusi yang dilandaskan pada aturan Islam. 

Negara diperbolehkan melakukan ekstensifikasi lahan dengan memperhatikan konsep pengaturan lahan dalam Islam untuk kemaslahatan umat bukan untuk segelintir orang. Negara juga memperhatikan aspek lingkungan yaitu analisis dampak lingkungan (AMDAL) sehingga kebijakan tersebut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan bencana alam. 

Negara Islam menetapkan bahwa tanah memiliki tiga status kepemilikan yaitu pertama tanah yang boleh dimiliki individu contohnya tanah pertanian. Kedua tanah umum contohnya hutan, karena di dalamnya ada harta milik umum. Maka dari itu, izin konsesi atas tanah hutan tidak boleh diberikan kepada pihak swasta. Dan ketiga tanah milik negara. 

Selain itu, negara juga memberi bantuan kepada petani berupa kebutuhannya seperti modal, sarana-prasarana produksi hingga infrastruktur pendukung secara murah dan bahkan gratis. 

Hal ini untuk memudahkan aktivitas produksi petani. Sehingga kesejahteraan petani maupun rakyat akan terwujud. Dalam sistem Islam ketahanan pangan terwujud tanpa ada perampasan ruang hidup masyarakat. []


Oleh: Alfiana Prima Rahardjo, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar