Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fomo, Penyakit Generasi

Topswara.com -- Mudah, efisien, dan praktis, mungkin inilah manfaat dari aplikasi fintech (financial technology) yang kita rasakan ketika menggunakannya dalam transaksi keuangan. 

Lokadata.id melaporkan 78 persen masyarakat generasi milenial (kelahiran 1981- 1996) dan gen z (kelahiran 1997 sampai 2012) telah menggunakan aplikasi fintech setiap harinya, yang di dalamnya termasuk dompet digital, layanan pinjaman, dan pembayaran digital. Bahkan data tingkat adopsi layanan fintech pada kalangan muda, milenial, dan gen z terus meningkat dari waktu ke waktu.

Sayangnya, tingginya minat adopsi terhadap layanan fintech ini tidak jarang menimbulkan dampak negatif bahkan kerugian pada pengguna layanan ini jika tidak diimbangi dengan literasi keuangan yang baik. 

Public and Goverment Manager 360Kredi, Harbiyanto Rosyidi, menyatakan kondisi dominasi populasi anak muda dalam dunia kerja membawa dampak positif, namun ternyata gaya hidup anak muda yang cenderung merasa takut tertinggal fear of missing out (FOMO) menjadi tantangan bagi mereka khususnya bagi kesehatan finansial kaum muda. 

Tidak hanya itu, istilah YOLO (you only live once) dan FOPO (fear of other people’s opinion) juga menjadi faktor- faktor permasalahan finansial kaum muda jika tidak disikapi dengan baik dan bijak. 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Juli 2024, mencatat tingkat kredit macet lebih dari 90 hari atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWPO90) di perusahaan pinjol atau peer to peer (P2P) lending sebesar 2,53 persen di dominasi oleh kalangan milenial dan gen z. (kompas.com 11/10/2024)

Fenomena fomo telah menjadi tren signifikan di kalangan milenial dan gen z. Fomo sendiri mencerminkan bagaimana dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu terutama di kalangan remaja dan dewasa usia muda. 

Dampak dari kemudahan interaksi dalam era digital saat ini menjadikan orang yang telah terserang fomo cenderung suka memantau media sosial untuk mengetahui dan mengikuti tren terbaru. Dan parahnya, kebiasaan seperti ini juga bisa menimbulkan kecemasan, kekhawatiran hingga depresi jika orang tersebut tidak bisa mengikuti tren. 

Kita bisa melihat bagaimana saat ini penggunaan media sosial seperti Instagram, Twitter hingga TikTok dijadikan sarana seseorang untuk mengunggah rutinitas harian hingga ajang untuk flexing. 

Unggahan dalam media sosial inilah yang kemudian memunculkan perasaan cemas bagi viewer, dan pada akhirnya masyarakat yang terpengaruhi efek buruk media sosial cenderung untuk membanding- bandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna dan bahagia yang dia lihat di media sosial.

Lebih jauh lagi, tren ini juga sangat mempengaruhi maindset seseorang dalam mengatur hidupnya baik itu dalam masalah ekonomi, sosial bahkan dalam masalah hukum dan ketaatan pada perintah agama. 

Hal ini terjadi karena orang yang fomo akan cenderung melakukan doom spending dalam membelanjakan uang, ia merasa ketika mengeluarkan uang untuk mengikuti tren dan keinginan itu sah- sah saja. 

Karena semua itu dapat mengakomodir keinginannya dan mendatangkan kebahagiaan, ia akan merasa cemas terhadap pendapat orang lain ketika tertinggal dan tidak dapat mengikuti tren. 

Parahnya, maindset seperti ini dapat menjadikan seseorang terjerumus pada kemaksiatan dan kezaliman. Ia menjadi egois, rakus, abai terhadap hukum, bahkan tidak lagi peduli terhadap halal dan haram. 

Orang yang fomo akan melakukan segala cara untuk memenuhi ambisi dan keinginannya, melakukan apapun yang bisa membuatnya bahagia karena berpikiran kesempatan hidup ini hanyalah berlangsung satu kali. 

Dan rugi jika tidak memanfaatkan kesempatan ini serta melewatkannya begitu saja tanpa diisi dengan kebahagiaan dan kesenangan walaupun semua itu hanya bersifat semu. Inilah bahaya penyakit fomo yang menjangkiti generasi saat ini.

Generasi muda sebagai motor penggerak peradaban menjadi mandul dalam karya dan prestasi, mereka sibuk dengan kepentingan dan masalah pribadi sehingga terhalang dari potensi untuk menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik lagi. 

Semua ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme yang sekular dan serba bebas, yang akhirnya berimbas pada kehidupan kaum muda. Sehingga kaum muda menjadi materialisatik, hedonis, liberal dan cenderung mempunyai sifat konsumerisme. 

Dalam peradaban Islam, pemuda adalah aset yang memiliki potensi dan kekuatan luar biasa yang dibutuhkan umat sebagai pembangun dan penegak peradaban-peradaban gemilang. 

Untuk menyiapkan pemuda sebagai generasi penerus peradaban, Islam memiliki sistem terbaik dalam melejitkan potensi pemuda dan mengarahkan kehidupan kaum muda agar mereka hidup sesuai dengan tujuan penciptaanya sebagai mahluk Allah SWT. 

Serta menjadikan mereka dapat mempersembahkan karya terbaik untuk kejayaan dan kemuliaan Islam. Maka dari itu, negara Islam akan memberikan pendidikan terbaik sesuai akidah Islam, mengoptimalkan kontrol sosial berupa seruan dakwah dalam keluarga dan masyarakat, mengatur arus media dan informasi, melakukan penjagaan melalui penerapan aturan persanksian yang berasal dari hukum syariat Islam.

Catatan sejarah membuktikan, hanya peradaban Islam yang dapat mencetak generasi pemuda mulia penegak peradaban gemilang.

Wallahu ‘alam bishawab.


Oleh: Selly Amelia 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar