Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fomo: Gaya Hidup Generasi di Sistem Kapitalisme

Topswara.com -- Fear of Missing Out atau yang lebih dikenal dengan sebutan FOMO menjadi frasa yang ramai terdengar di kalangan generasi Z hari ini. FOMO merupakan istilah yang merujuk pada perasaan cemas atau takut karena merasa ketinggalan dalam pengalaman, informasi, atau peristiwa yang dianggap menarik. 

Istilah FOMO pertama kali diperkenalkan oleh Patrick J. McGinnis dalam artikelnya di Harvard Business School pada tahun 2004 (Wardani & Cahyani, 2023). Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi pemicu utama terjadinya peningkatan fenomena FOMO yang cukup signifikan, hal ini dikarenakan mereka terakses pada konten yang menunjukkan kehidupan teman-teman dan selebriti secara real-time, yang menciptakan tekanan untuk selalu terlibat dan mengikuti setiap perkembangan terbaru.

Contoh fenomena yang sedang ramai akhir-akhir ini adalah “Demam” Labubu. Semua orang berlomba-lomba untuk membeli boneka tersebut di Pop Mart Gandaria City pada hari pertama rilisnya di Indonesia, bahkan hingga memicu keributan (Voi.id, 17/9/24). 

Diketahui bahwa Labubu sendiri dibandrol dengan harga yang cukup fantastis untuk sebuah boneka. Harga termurah sekitar Rp400.000 – Rp500.000 dan harga termahalnya mencapai Rp4.500.000 untuk seri langka (tirto.id, 20/8/24/). 

Selain Labubu, gaya hiduo FOMO juga tercermin dari fenomena lain, seperti mengikuti konser dan acara-acara musik lain yang banyak dipamerkan di media sosial, makan di restoran yang sedang viral hingga antre berjam-jam, ataupun berburu barang edisi terbatas seperti gadget, sneakers, dan merchandise idola favorit. 

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kapitalisme memanfaatkan FOMO untuk mendorong generasi muda terus membelanjakan uang pada kebutuhan yang kurang esensial demi mempertahankan citra sosial mereka.

Akar munculnya gaya hidup FOMO adalah sistem liberal kapitalisme demokrasi. Sistem rusak ini mengakibatkan gen Z bergaya hidup bebas, hedonistik dan konsumerisme. Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama. 

Hal ini kerap memicu kecenderungan berutang demi memenuhi gaya hidup yang terlihat sempurna di mata publik, walaupun kurang produktif secara finansial. Akibatnya terjadi pengabaian potensi gen Z untuk berprestasi dan berkarya yang lebih baik, juga menghalangi potensinya sebagai agen perubahan menuju kebaikan sebab fokus utamanya telah teralihkan menjadi orientasi pada materi dan kesenangan semata. 

Ditambah pula dengan regulasi dalam sistem hari ini tidak memberikan perlindungan bagi gen Z, namun justru menjerumuskan gen Z pada lingkaran materiaslistik melalui sosial media yang menciptakan gaya hidup FOMO.

Islam memandang pemuda memiliki potensi luar biasa dan kekuatan yang dibutuhkan umat terlebih sebagai agen perubahan menuju kebangkitan Islam. Dalam Islam, umat diajarkan untuk tidak berlomba-lomba dalam hal konsumsi duniawi atau pencapaian status sosial yang hanya bersifat sementara. 

Sebaliknya, mereka dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan amal saleh. Kebahagiaan dalam islam memiliki makna yang lebih mendalam dari sekadar kesenangan. 

Kebahagiaan adalah suatu momen dimana kita mampu taat dan beribadah kepada Allah SWT. 

Islam memiliki sistem terbaik untuk melejitkan potensi gen Z, mengarahkan hidupnya sesuai dengan tujuan penciptaan dan mempersembahkan karya terbaik untuk umat dan Islam. Potensi ini dibutuhkan untuk membangun kembali peradaban gemilang yang pernah dicapai umat Islam pada masa lalu dalam naungan Khilafah islamiah. 

Dengan adanya sistem islam, negara mampu menghilangkan budaya konsumerisme yang melekat dengan membatasi peredaran penjualan barang serta mengedukasi umat mengenai nilai-nilai kebahagiaan yang sesungguhnya.


Nabila A.S.
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar