Topswara.com -- Setelah bagi-bagi kue kekuasaan akhirnya 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah dilantik masa bakti 2024-2029. Kabarnya oknum-oknum yang menempati kursi tersebut disinyalir memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan pejabat publik, elite politik bahkan sesama anggota DPR terpilih lainnya.
Hal tersebut bukan hanya ‘trust issue’ semata sebab dalam sebuah laporan hasil riset Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat bahwa, kurang dari 79 orang dari total 580 anggota DPR terpilih periode 2024-2029 diindikasikan dinasti politik. Adapun bentuk relasi kekerabatannya mulai dari suami-istri, anak, keponakan, hingga caleg terpilih yang merupakan anak pejabat.
Dalam sebuah riset Litbang Kompas juga, menemukan ada 220 anggota DPR RI terindikasi dengan previllege mempunyai ikatan kekerabatan dengan pejabat publik atau tokoh politik nasional. Dengan begitu, masyarakat semakin mempertanyakan akuntabilitas kinerja di Parlemen.
Polemik dinasti politik ditubuh demokrasi, apatah lagi kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang berhak untuk membuat aturan/UU semakin menampakkan kerapuhan demokrasi. Kerapuhannya tak hanya pada persoalan ini, namun sejak dijadikannya pemikiran manusia berdaulat secara total pada apa yang ada di atas kehidupan ini.
Ibarat petuah masyhur dikalangan pembaca novel Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa ‘seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan’.
Hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada para cendekiawan yang menggunakan partai untuk kepentingan segelintir (baca:oligarki) mengatasnamakan kepentingan seluruh rakyat, sebangsa dan setanah air. Ironis.
Selain itu, terpilihnya wakil rakyat yang bukan karena kapabilitas namun karena popularitas menjadikan Senayan menjadi ruang untuk drama, atau bahkan sekadar menjadi tempat arisan dan piknik keluarga.
Idealnya, Senayan menjadi ruang untuk menampung aspirasi rakyat, sebagaimana gulali demokrasi bahwa suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei) namun kenyataan memperlihatkan kondisi krisis yang bisa dikatakan hanya menina bobokan rakyat hanya untuk patuh pada aturan rigid tak berarti bagi rakyat.
Dalam demokrasi money politik telah menjadi hal lumrah hingga dinasti politik kini seolah menjadi tren. Sebab, dari hulu ke hilir memperlihatkan hal permisif tersebut mulai dari anak presiden, menantu, ipar maka normalisasi dinasti politik yang tentu juga menggunakan cara money politik menjadi tumbuh subur di negeri ini.
Nahasnya, rakyat hanya di buai-buai pada saat pemungutan suara namun setelah itu suara mereka dicampakkan begitu saja. Nasib rakyat tak tentu arah, bahkan kebijakan DPR kerapkali tidak berpihak pada rakyat.
Lihat saja, bagaimana disahkannya UU Minerba yang digadang-gadang untuk memperbaiki sektor pertambangan di Indonesia yang justru merugikan rakyat.
Masyarakat di daerah pertambangan apatah lagi di wilayah Sulawesi Tengggara, harus siap menghadapi kerusakan lingkungan, dirampas tanahnya, bahkan ada beberapa anak balita yang di beberapa titik wilayah pertambangan mengalami penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang akut. Adapun masyarakat yang berjuang untuk mempertahankan tanah miliknya juga kerap kali di kriminalisasi.
Hal ini tentu mengecewakan rakyat atas semua harapannya pada setiap perhelatan demokrasi. Padahal, dengan keterlibatan rakyat pada demokrasi secara tidak langsung rakyat juga menerima segala konsekuensi permainan demokrasi. Baik secara teknis maupun paradigmatik.
Olehnya itu, hendaknya rakyat bisa memiliki kesadaran, bahwa kehidupan ini telah di rusak tatkala kedaulatan berada ditangan penuh aturan manusia. Kemudian, setiap kezaliman yang silih berganti hadir dengan UU yang tak pro-rakyat semakin menampakkan kebenaran dari firman Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dan bumi. Namun, jika mereka mendustakan ayat-ayat Allah, maka Allah akan menjatuhkan siksaan kepada mereka” (QS. Al-A’raf: 96)
Wakil Rakyat dalam Islam
Islam adalah agama rahmatan lil alamin, sehingga Islam bukan hanya mengatur spiritual semata saja, namun secara komprehensif atas kehidupan ini, termasuk dalam Politik. Dalam Islam serapan kata Politik di ambil dari Bahasa arab siyasah (sasa, yasusu, siyasatan) yang berarti mengatur, mengurusi atau strategi.
Sehingga, dalam Islam niscaya ada pemerintahan karena Islam sarat dengan Ideologi. Pemerintahan dalam Islam di sebut khilafah. Adapun wakil rakyat dalam Islam disebut Majelis Umat.
Dalam sebuah kitab karya syekh Taqiyuddin An-Nabhani diuraikan bahwa majelis umat merupan dewan yang terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan, mewakili umat dalam melakukan muhasabah atau mengontrol para pejabat pemerintahan (al-Hukkam).
Dalam kekhilafahan yang di pimpin oleh Rasulullah, Muhammad SAW, beliau sering meminta pendapat bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.
Serta, perlakuan khusus Rasulullah SAW, terhadap orang-orang tertentu diantara para sahabat beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat (dibandingkan dengan merujuk kepada sahabat-sahabat lainnya).
Selain itu, Syaikh Ahmad Athiyat dalam kitab Ath-Thariq menjelaskan beberapa wewenang utama Majelis Umat diantaranya yaitu:
Pertama, memberikan pendapat (usulan) kepada khalifah dalam setiap urusan dalam negeri seperti pendidikan, ekonomi, Kesehatan. Sebagaimana, usulan mendirikan sekolah, membuat jalan, atau mendirikan rumah sakit. Pendapat majelis umat bersifat mengikat.
Kedua, mengoreksi khalifah dan para penguasa tentang berbagai hal yang dianggap oleh mereka sebagai sebuah kekeliruan. Pendapat majelis ini bersifat mengikat jika pendapat mayoritasnya bersifat mengikat pula. Saat terjadi perbedaan dengan khalifah maka perkara tersebut diserahkam kepada Mahkamah Madzalim.
Ketiga, menampakkan ketidaksukaan terhadap para wali atau para mu’awin yang memberatkan rakyat misalnya ketika menjadi imam bacaan suratnya terlalu panjang, dan khalifah harus memberhetikan mereka yang diadukan itu.
Keempat, memberikan pandangan dalam undang-undang yang akan ditetapkan dan membatasi kandidat khalifah.
Kontradiksi antara wakil rakyat dalam demokrasi dan wakil rakyat dalam Islam sangat berbeda. Majelis umat hanya bertugas untuk menyampaikan aspirasi namun tidak memiliki wewenang untuk membuat aturan.
Dalam Islam, kedaulatan Allah SWT melalui syariat Islam, manusia hanya sekadar menjalankan syariat. Hal ini tentu meniscayakan politik dinasti akan lenyap dengan sendirinya.
Sehingga, masyarakat perlu merasionalisasi bahwa penting untuk meninggalkan demokrasi. Kemudian, untuk menuju pada ajaran Islam kaffah dalam institusi khilafah adalah kewajiban atas setiap muslim.
Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Kiki Zaskia. S.Pd.
Pemerhati Sosial
0 Komentar