Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Beras oh Beras: Bikin Petani kian Terkuras

Topswara.com -- Harga beras naik lagi. Bahkan harga beras di Indonesia menjadi harga beras tertinggi di antara negara- negara ASEAN. Hal ini seperti yang di sampaikan oleh Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Carolyn Turk. Ä°a pun menyebutkan harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dari harga beras di pasar global. 

Menurutnya, tingginya harga beras ini terjadi karena beberapa hal seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor, kenaikan biaya produksi, hingga pengetatan tata niaga melalui nontarif. Hal senada disampaikan pula oleh Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional, Rachmi Widiriani. Rachmi menuturkan, biaya produksi beras di dalam negeri memang telah meningkat. 

Belum cukup sampai di situ, kondisi ini diperparah pula dengan dikuasainya sektor pertanian dari hulu hingga hilir oleh para pemodal besar. Sehingga mereka bisa memainkan harga di pasaran. 

Ä°mbas dari kenaikan harga beras tentu masyarakat yang mengonsumsinya. Mereka kian menjerit. Untuk memenuhi kebutuhan pangannya saja sulit, belum kebutuhan lainnya. 

Petani kian Terkuras

Petani sendiri yang seharusnya jadi pihak yang diuntungkan saat harga beras naik ternyata tak meraup keuntungan banyak, yang membuatnya jadi kaya raya. Hidup petani tetap saja sederhana. Terlebih mereka para petani penggarap yang tidak memiliki lahan, hidup mereka cenderung ada di bawah garis kemiskinan. 

Sehingga saat harga beras naik sekali pun, tetap tidak berpengaruh secara signifikan pada peningkatan kesejahteraan kehidupan petani. Petani tetap terkuras tenaga dan hartanya untuk memenuhi biaya tanam dan perawatan.

Menurut data BPS tahun 2017, bahwa komposisi pengeluaran petani padi terbesar adalah biaya tenaga kerja (48,95%), diikuti oleh sewa lahan (26,36%), pupuk (9,4%), pestisida (4,3%), dan benih (3,8%). 

Kemudian dalam hal permodalan menurut data survei menunjukkan bahwa 50,1% petani meminjam uang kepada individu, 29,3% ke bank, dan sisanya ke lembaga keuangan lain seperti koperasi. Dalam prosesnya pun terkadang tidak mudah, terutama bagi petani yang tidak memiliki agunan. 

Hal itu membuat banyak petani kesulitan dalam berproduksi sehingga sebagian terjerat oleh pinjaman rentenir yang menawarkan bunga tinggi. Sejumlah petani bahkan terpaksa menjual lahannya dan beralih menjadi buruh tani.

Jika begini, siapa yang harus dipersalahkan? Masyarakat menolak kenaikan harga beras, petani sebagai pihak yang memproduksi tak kuasa menurunkan harga karena tingginya biaya produksi, lantas apakah kesalahan ada pada tata kelola sektor pertanian?

Tata Kelola Carut-Marut 

Tata kelola sektor pertanian dari dulu hingga sekarang sepertinya selalu tak pernah tuntas. Sebagai negara agraria, pemerintah seharusnya hadir memberikan solusi dan melindungi kaum petani. Tapi apa yang bisa kita lihat, negara justru melepaskan tanggung jawabnya dengan mengalihkan kepada pihak lain. Hal ini bisa dilihat dari;

Pertama, negara tidak hadir untuk memberikan subsidi terhadap kenaikan biaya produksi. Jika faktor tingginya harga beras karena besarnya biaya produksi, negara harus memiliki kebijakan untuk memberikan penyediaan bahan produksi yang murah bagi petani. 

Kedua, masalah rantai distribusi dari produsen ke konsumen cukup panjang. Ini menyebabkan harga beras di tingkat konsumen akhir tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan petani. 

Sebagai contoh, beras dijual ke tengkulak, dari tengkulak dijual ke distributor, lalu dijual lagi hingga sampai konsumen akhir dengan harga lebih tinggi. Tengkulak, distributor, dan agen ketiban untung, petani kena buntung. Rantai distribusi yang panjang sangat merugikan petani sebagai tangan pertama produsen beras.

Di sisi lain, praktik tengkulak beras masih marak terjadi. Mereka membeli gabah dengan harga rendah sebelum panen. Para petani yang terjebak dengan praktik ini tidak bisa berbuat banyak. Mereka akan kalah dengan para tengkulak yang kerap memainkan harga.

Ketiga, sektor pertanian dikuasai oligarki dari hulu ke hilir. Petani bermodal kecil dengan lahan sawah dan teknologi seadanya akan tergeser oleh pemilik usaha pertanian bermodal besar yang memiliki lahan berhektar-hektar yang ditunjang teknologi pertanian yang canggih. 

Akibatnya petani bermodal terbatas harus terseok-seok memenuhi biaya produksi. Maka saat harga beras tinggi, petani tak juga merasakan kenaikan pendapatan. 

Ä°nilah keadaan negara ini, negara agraris namun penguasanya tak mengayomi para petani, sebagai pihak yang memproduksi pangan. Bagaimana mungkin negeri agraris akan memiliki ketahanan pangan jika penguasanya tak memiliki tata kelola yang baik?

Kembali pada Islam 

Pangan adalah sesuatu yang penting bagi sebuah negara. Bahkan negara harus memiliki ketahanan pangan, agar mampu memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Maka negara harus memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan produksi pangan yaitu lahan pertanian, alat produksi dan petani. 

Islam memiliki politik ekonomi tentang hal ini. Politik ekonomi negara Islam bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan perumahan bagi seluruh rakyat, sambil memberikan kesempatan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. 

Untuk sektor pertanian negara memberikan perhatian yang serius karena untuk memenuhi salah satu kebutuhan pokok warga negaranya. Hal ini bisa dilihat di masa Umar bin Khaththab, misalnya, sebagaimana yang dirangkum oleh Al-Haritsy (2003) berbagai kebijakan diterapkan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian. 

Salah satu langkahnya adalah membiarkan wilayah-wilayah yang ditaklukkan dikelola oleh penduduk asli tanpa pembagian kepada penakluk. Hal ini dilakukan agar tanah tersebut lebih produktif di tangan penduduk asli yang lebih memahami dan mampu mengembangkan lahan daripada pihak lain.

Masih di masa Umar bin Khaththab ra, beliau pernah menerapkan inovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Kawasan delta Sunga Eufrat dan Tigris serta daerah rawa sengaja disulap dengan dikeringkan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan itu diteruskan hingga Khilafah Bani Umayyah.

Sementara Pada masa kekhalifahan Umayyah, jaringan irigasi dibangun di seluruh wilayah lalu dikembangkan pompa-pompa irigasi hingga kincir air.
Khilafah juga membiayai pemeliharaan kanal-kanal besar untuk pertanian. Air dari sungai Eufrat dialirkan hampir ke seluruh wilayah Mesopotamia (sekarang Irak), sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia. Negara juga membangun sebuah kanal besar yang menghubungkan dua sungai di Baghdad.

Ä°nilah di antara perhatian kekuasaan Islam pada sektor pertanian di masa lampau. Tentu hal tersebut bisa kembali dilakukan, yaitu seperti: 

Pertama, membangun infrastruktur pertanian yang memadai, seperti jaringan irigasi yang canggih. 

Kedua, memberikan dukungan permodalan baik dalam bentuk pemberian tanah, harga bibit dan pupuk murah, atau pinjaman tanpa bunga seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pinjaman tersebut baru dikembalikan dua tahun setelahnya.

Ketiga, menyediakan sarana produksi pertanian secara memadai dan memastikan produksi petani terdistribusi dengan baik, seperti membeli gabah petani dengan harga tinggi.

Keempat, mengembangkan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi, termasuk di bidang pertanian. 

Ä°tu semua bisa dilakukan, jika penguasa negeri ini memiliki perhatian pada kepentingan rakyat. Namun jika masih setengah hati, tentu akan sulit. Maka untuk bisa memunculkan penguasa dan sistem kehidupan yang berpihak pada kemaslahatan umat, tentu harus dimunculkan sistem kehidupan Islam, yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. []


Oleh: Sari Diah Hastuti
(Aktivis Muslimah di Yogyakarta) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar