Topswara.com -- Harga beras di Indonesia tergolong lebih mahal 20 persen ketimbang harga beras di pasar global (kompas.com 20-9-2024). Demikian diungkapkan Bank Dunia. Tidak hanya itu, harga beras yang terus konsisten tinggi berada di kawasan Asean.
Carolyn Turk, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste mengungkap berbagai penyebab tingginya harga beras, antara lain, adanya kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor serta kenaikan biaya produksi hingga kebijakan pengetatan tata niaga melalui non tarif.
Harga beras yang melangit tentu menjadi ironi di Indonesia yang merupakan negeri agraris. Fakta menyebutkan begitu banyak petani yang menduduki posisi ekonomi sulit alias hidup di bawah garis kemiskinan (cnnindonesia.com, 25-9-2024).
Survei Terpadu Pertanian 2021, menunjukkan kesejahteraan petani Indonesia masih di bawah rata-rata. Pendapatan petani kurang dari US$1 per hari atau setara Rp15.207 dan setahun di bawah US$341 dolar AS atau Rp5 juta.
Besaran pendapatan petani ini disebutkan tidak sebanding dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani untuk menggarap lahan agar produktif. Sehingga secara langsung, penduduk Indonesia harus merogoh kocek dalam untuk mendapatkan beras.
Tata Kelola Keliru
Harga beras tinggi disebabkan biaya produksi tinggi. Semua alur ini disebabkan adanya penguasaan oligarki di sektor pertanian, mulai dari hulu hingga hilir. Beragam kebutuhan petani terkait produksi dikapitalisasi oleh para kapitalis bermodal besar.
Sementara negara tidak mampu memberikan bantuan kepada petani berupa kemudahan akses penyediaan benih berkualitas, pupuk, pengairan dan beragam hal terkait produksi. Mau tidak mau, petani dipaksa mandiri. Terlebih bagi para petani yang minim modal usaha.
Berbagai tantangan dan masalah terus menjadi penghalang petani untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Keluhan sulitnya pengairan saat musim kemarau menjadi hal yang sulit temu solusi hingga kini.
Tidak hanya masalah pengairan, petani pun mengeluhkan mahalnya harga pupuk. Pupuk subsidi yang tersedia hanya sedikit, akses untuk mendapatkannya pun sulit. Harga beras yang dijual pun tidak mampu menjanjikan kesejahteraan.
Kebanyakan petani lebih memilih untuk mengkonsumsi sendiri ketimbang menjualnya. Karena beragam mekanisme penjualan yang jelas-jelas merugikan bagi pihak petani.
Sementara itu, saat ini negara yang tengah gencar membatasi impor beras mendapati produksi beras yang jauh di bawah harapan. Alhasil, harga beras dalam negeri menjadi mahal. Bahkan harganya lebih mahal daripada beras impor.
Kondisi ini pun makin mendorong pemerintah untuk membuka keran impor beras lebih besar daripada sebelumnya. Tidak bisa dihindarkan, kebijakan tersebut sangat menguntungkan bagi oligarki dan semakin memojokkan nasib petani lokal. Mirisnya lagi, ritel-ritel yang menguasai bisnis beras dengan mudah memainkan harga beras di pasaran.
Segala bentuk kebijakan terkait tata kelola beras hanya disandarkan pada kepentingan oligarki dan pemodal. Nasib petani semakin dilalaikan karena keadaan yang terus menekan.
Inilah refleksi diterapkannya sistem kapitalisme sekularistik dalam tata kelola beras di tanah air. Meskipun negeri ini negeri agraris yang mampu berpotensi untuk swasembada pangan, buktinya justru nol besar. Petani selalu diposisikan dalam keadaan merugi. Alhasil, kebutuhan beras dalam negeri pun terbelit sistem rusak yang zalim.
Sistem ini telah menempatkan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator. Negara sama sekali tidak mampu mengurusi urusan rakyat. Parahnya, tata kelola pangan justru dikendalikan pihak swasta yang berorientasi bisnis.
Segala bentuk pengelolaan dikapitalisasi sehingga menyusahkan rakyat secara langsung. Dan inilah sumber utama rusaknya tata kelola pangan, khususnya beras di dalam negeri.
Tata Kelola Islam
Beras merupakan bahan pangan utama masyarakat, sehingga posisi beras menempati komoditas strategis karena mempengaruhi setiap sisi kehidupan masyarakat. Tidak hanya dari sisi ketahanan pangan, namun beras juga merupakan komoditas yang harus diatur secara politis. Karena dalam tata kelolanya dibutuhkan kebijakan amanah untuk mengurusi.
Paradigma Islam menetapkan bahwa ketahanan pangan dan ketersediaannya merupakan tanggung jawab negara. Dalam Islam, negara menjadi pengurus utama dan pelayan yang melindungi seluruh urusan umat.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari).
Terkait pengelolaan pangan, khususnya beras, negara akan menetapkan pengelolaan pengadaan produksi beras secara mandiri. Tanpa melibatkan pihak swasta apalagi asing. Sehingga negara mampu mengendalikan segala bentuk hal yang berkaitan dengan produktivitas hingga pembentukan harga di pasar.
Negara pun akan menetapkan kebijakan untuk memudahkan akses produksi beras seperti kemudahan akses pupuk, penyediaan benih unggul berkualitas, sistem irigasi hingga pengawasan mekanisme pasar.
Di sisi lain, negara tidak akan membiarkan lahan produktif terabaikan tanpa diolah. Sehingga semua tanah yang tidak diolah akan diambil alih oleh negara dan difungsikan sebagai lahan pertanian dengan berbagai metode dan strategi sehingga mampu menghasilkan produk pangan aman berkualitas dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Segala bentuk penyelewengan dalam mekanismenya akan ditindak tegas dengan sanksi yang jelas. Strategi ini pun akan menjamin ketahanan pangan yang tangguh dan mandiri. Kebijakan impor mampu dieliminasi dalam sistem yang mengurusi rakyat.
Demikianlah Islam memiliki strategi cerdas menuju ketahanan pangan. Konsep apik ini hanya mampu diwujudkan sistem Islam dalam institusi khilafah. Satu-satunya wadah yang menjamin terselenggaranya fungsi negara sebagai periayah, pengatur urusan rakyatnya. Pangan terjamin aman, nasib petani pun terjamin sejahtera.
Wallahu'alam bisshawab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar