Topswara.com -- Dilansir dari Kesatu.co(6/9/2024), banyaknya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kereta api menunjukkan bahwa kedisiplinan pengendara saat berlalu lintas, terutama tatkala melintasi perlintasan sebidang masih minim.
Karena itu, PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero) terus berupaya meminimalisir terjadinya kecelakaan, khususnya pada perlintasan sebidang. Satu di antara sekian banyaknya upaya tersebut yaitu menutup perlintasan sebidang liar, seperti yang dilakukan PT KAI (Persero) Daerah Operasi (Daop) 2 Bandung.
Ayep Hanapi, Manager Hubungan Masyarakat (Humas) PT KAI (Persero) Daop 2 Bandung, mengungkapkan, penutupan perlintasan sebidang liar merupakan upaya jajarannya mencegah dan meminimalisir kecelakaan.
Kecelakaan kereta api memang kerap terjadi, terlebih di Kabupaten Bandung. Berulangnya tabrakan kereta api sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk evaluasi diri, mengapa begitu sering terjadi kecelakaan kereta api? Benarkah penyebabnya human error semata ataukah ada sistem error?
Infrastruktur perkeretaapian di Indonesia sudah terbilang uzur, karena sebagian besar adalah Infrastruktur warisan zaman penjajahan Belanda.
Sungguh ironis, disaat pemerintah jor-joran membangun proyek-proyek prestisius yang menelan biaya puluhan triliun, justru infrastruktur kereta api kita masih banyak belum mendapatkan perhatian yang serius untuk lebih meningkatkan keselamatan banyak pihak, baik penumpang, petugas, maupun masyarakat sekitar.
Keamanan dan kenyamanan transportasi adalah hak warga negara. Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan, dan melakukan berbagai mitigasi dalam rangka meminimalisir resiko kecelakaan. Oleh karenanya negara tidak boleh abai terhadap urusan ini.
Mitigasi bencana atau kecelakaan apapun bukan semata soal dana sehingga ketika anggaran dinaikkan seolah masalah sudah selesai, apalagi dalam menyelesaikannya hanya tambal sulam. Justru hal yang demikian berpeluang memunculkan masalah baru.
Sebenarnya ada hal yang mendasar yaitu perspektif pemimpin dalam mengurusi rakyatnya. Seorang pemimpin harus memahami akan tanggung jawabnya atas rakyat yang dipimpinnya, termasuk bertanggung jawab atas keselamatan nyawa rakyatnya.
Oleh karena itu sebuah kecelakaan tidak boleh hanya dilihat dari sisi jumlah korban yang meninggal dan luka-luka, kemudian diberikan santunan untuk keluarganya.
Sudah semestinya upaya pemerintah harus maksimal meminimalisir kecelakaan, karena kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban atas semua rakyat yang dipimpinnya, termasuk keselamatannya.
Sayang seribu sayang, perspektif pemimpin yang mampu bertanggung jawab penuh atas rakyatnya tidak ada dalam sistem demokrasi kapitalisme, yang ada justru pemimpin membuat kebijakan untuk kepentingan segelintir orang (para pemilik modal) bukan untuk kemaslahatan rakyat. Kapitalisme yang mengedepankan keuntungan materi berpengaruh besar terhadap lahirnya setiap kebijakan.
Pembangunan infrastruktur banyak dibangun sejatinya bukan untuk rakyat, tetapi lebih banyak menguntungkan para pemilik modal, rakyat hanya mendapatkan sarana transportasi yang sudah uzur dengan keamanan yang minim karena perbaikan yang hanya tambal sulam serta berakibat rawan terjadi kecelakaan. Rakyat menjadi korban dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan penguasa.
Lalu bagaimana keamanan dalam Islam?
Dalam Islam, negara bertanggung jawab menyediakan dan mewujudkan sarana dan prasarana transportasi yang aman dan nyaman bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hal ini dilakukan sebagai bentuk peri'ayahan atau pengurusan yang dibebankan Sang Pencipta kepadanya. Pembangunannya tidak boleh diserahkan kepada swasta yang orientasinya keuntungan.
Negara akan membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi mutakhir yang dimiliki, tak terkecuali juga teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan, hingga alat transportasi itu sendiri.
Terbukti pada tahun 1900, Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek Hejaz Railway. Jalur kereta api ini terbentang dari Istanbul-ibu kota khilafah-Makkah, melewati Damaskus, Yerusalem dan Madinah.
Dalam sistem Islam tidak dikenal jalan berbayar dan tidak berbayar seperti jalan tol dalam sistem kapitalisme. Begitupun transportasi kereta api, biaya yang dikenakan terjangkau seluruh lapisan masyarakat bahkan dengan serendah-rendahnya, karena hubungan penguasa dan rakyat bukan hubungan bisnis.
Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Atika Nur
Aktivis Muslimah
0 Komentar