Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Syarat Sah Menjadi Imam Salat

Topswara.com -- Afwan kiyai tolong dijelaskan syarat-syarat menjadi imam shalat.

Syarat sah untuk menjadi imam di shalat berjama’ah itu ada beberapa bagian, meliputi perkara yang disepakati oleh para ulama dan yang diperbedapendapatkan. Berikut ini rinciannya.

𝗔. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘀𝗲𝗽𝗮𝗸𝗮𝘁𝗶 :

1. Muslim

Para ulama sepakat bahwa tidak sah bermakmum kepada orang kafir atau mereka yang telah diketahui jelas telah keluar dari keimanan.[1] Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah berkata :

فلا تصح إمامة الكافر بالاتفاق

“Tidak sah imamnya orang kafir berdasarkan kesepakatan ulama.”[2]

2. Berakal

Disyaratkan bagi seorang imam untuk berakal sehat, dan syarat ini juga disepakati oleh para fuqaha (ahli fiqih). Maka, tidak sah imam dari orang yang mabuk, atau imam yang gila permanen, atau imam yang gila tidak permanen saat ia dalam keadaan gila. Hal ini karena shalat mereka untuk diri mereka sendiri tidak sah, sehingga shalat orang lain tidak bisa didasarkan pada shalat yang tidak sah tersebut.[3]

Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah berkata :

فلا تصح الصلاة خلف مجنون

“Tidak sah shalat dibelakang orang yang gila.”[4]

Berkata Syaikh Abdurrahman al Jaziri rahimahullah :

ومن شروط صحة الإمامة العقل، فلا تصح إمامة المجنون إذا كان لا يفيق من جنونه، أما إذا كان يفيق أحياناً ويجن أحياناً، فإن إمامته تصح حال إفاقته، وتبطل حال جنونه باتفاق

"Di antara syarat sahnya imam shalat adalah akal yang sehat. Maka tidak sah imam dari orang yang gila jika ia tidak pernah sadar dari kegilaannya. Namun, jika ia kadang sadar dan kadang gila, maka imamahnya sah ketika ia sadar dan batal ketika ia dalam keadaan gila, menurut kesepakatan ulama."[5]

3. Suci dari Hadas

Imam shalat harus dalam keadaan suci dari hadats besar maupun kecil, karena shalat tidak sah tanpa kesucian. Berkata Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah :

فلا تصح إمامة المحدث، أو من عليه نجاسة لبطلان صلاته

“Tidak sah untuk menjadi imam orang yang sedang berhadts, atau ia terkena najis yang membatalkan shalatnya.”[6]

4. Laki-Laki

Tidak sah kepemimpinan shalat seorang waria atau wanita terhadap kaum laki-laki, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunnah. Terkecuali jika makmumnya adalah kaum wanita maka tidak disyaratkan imamnya harus laki-laki menurut jumhur ulama.[7]

Disebutkan dalam kitab al Mausu’ah :

يشترط لإمامة الرجال أن يكون الإمام ذكرا، فلا تصح إمامة المرأة للرجال، وهذا متفق عليه بين الفقهاء

“Disyaratkan bagi imam shalat laki-laki bahwa imam harus seorang laki-laki, maka tidak sah seorang wanita menjadi imam bagi laki-laki, dan hal ini disepakati oleh para fuqaha."[8]

Al imam Ibnu Abdil Barr ahimahullah berkata :

وأجمع العلماء على أن الرجال لا يؤمهم النساء

“Telah bersepakat para ulama bahwa laki-laki tidak boleh diimami oleh kaum perempuan.”[9]

Al Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata :

ولا يجوز أن تؤم المرأة الرجل ولا الرجال، وهذا ما لا خلاف فيه

“Dan tidak boleh seorang wanita mengimami para laki-laki, dan tentang hal ini tidak ada perbedaan pendapat tentangnya.”[10]

Al imam Zarkasyi rahimahullah berkata :

فإن فعلوا فصلاتهم فاسدة بإجماع

“Jika ada yang mengerjakan shalat seperti itu (imamnya perempuan) rusak shalatnya berdasarkan kesepakan ulama.”[11]

Diantara dalilnya ketetapan ini adalah sebuah hadits marfu’ dari sayidina Jabir radhiyallahu’anhu :

لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلاً

“Janganlah seorang perempuan mengimami laki-laki.” (HR. Ibnu Majah)

5. Bacaan yang Benar

Seorang imam harus memiliki bacaan yang benar, minimal adalah untuk membaca bacaan yang wajib atasnya. Maka tidak sah bermakmum kepada imam yang tidak pandai membaca al Qur’an. Terkecuali jika makmumnya kondisinya sama dengan imam alias tidak lebih baik bacaannya dari sang imam, maka hukumnya sah saja.[12]

Berkata Syaikh Abdurrahman al Jaziri rahimahullah :

اشترطوا ‌لصحة ‌الإمامة أن يكون الإمام قارئاً إذا كان المأموم قارئاً، فلا تصح إمامة أمي بقارئ، والشرط هو أن يحسن الإمام قراءة ما لا تصح الصلاة إلا به

"Disyaratkan untuk sahnya kepemimpinan dalam shalat bahwa imam harus bisa membaca al Qur’an dengan baik jika makmum juga bisa membaca. Maka tidak sah imam yang tidak bisa membaca memimpin orang yang bisa membaca. Syaratnya adalah imam harus mampu membaca apa yang tanpanya shalat tidak sah (seperti surah al Fatihah)."[13]

6. Tidak Sedang Menjadi Makmum

Seorang imam disyaratkan tidak sedang menjadi makmum bagi imam lain. artinya seseorang tidak boleh misalnya menjadikan orang lain yang ada di shaf shalat di depannya misalnya untuk dijadikan imam, padahal ia sednag menjadi makmum.[14]

Berkata Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah :

فلا يصح الاقتداء بمأموم مقتد بغيره... وهذا إجماع

“Tidak sah menjadikan makmum lain sebagai imam... dan ini adalah ijma’ ulama.”[15]

7. Fasih dan Tidak Gagap

Tidak untuk dijadikan imam orang yang gagap bacaannya, yakni mereka yang sering tertukar huruf yang diucapkannya, atau sering mengulang-ulang huruf tertentu. Meskipun dalam hal ini yang disepakati adalah gagap yang parah, sedangkan yang tidak terlalu parah mayoritas ulama memandang sah.[16]

Syaikh Abdurrahman al Jaziri rahimahullah berkata :

من شروط صحة الإمامة أن يكون لسان الإمام سليماً لا يتحول في النطق عن حرف إلى غيره، كأن يبدل الراء غيناً، أو السين ثاء، أو الذال زاياً، أو الشين سيناً، أو غير ذلك من حروف الهجاء

"Di antara syarat sahnya imamah adalah lidah imam harus fasih, tidak berubah dalam pengucapan huruf menjadi huruf yang lain. Misalnya, mengganti huruf ra menjadi ghain, atau sin menjadi tsa, atau dzal menjadi zay, atau syin menjadi sin, atau huruf-huruf hijaiyah lainnya."[17]

𝗕. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗽𝗲𝗿𝗯𝗲𝗱𝗮𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 :

1. Baligh

Menurut mayoritas ulama, seorang imam disyaratkan harus sudah baligh, tidak sah kepemimpinan shalat seorang anak yang belum di usia baligh, ini adalah pendapat dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah.[18] Dalil pendapat ini adalah sebuah hadits yang berbunyi :

‌لَا ‌تُقَدِّمُوا ‌صِبْيَانَكُمْ

“Jangan kalian jadikan imam para anak-anak kalian.” (HR. Dailami)

Sedangkan kalangan Syafi’iyyah berpendapat sah bermakmum kepada anak yang sudah tamyiz meskipun belum baligh. Dalil kalangan Syafi’iyyah adalah sebuah hadits dari Amru bin Salamah, dia berkata :

أممت على عهد رسول الله صلّى الله عليه وسلم وأنا غلام ابن سبع سنين

“Aku pernah menjadi imam di masa Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam sedangkan aku saat itu adalah anak yang masih berumur tujuh tahun.” (HR. Bukhari)

2. Terbebas dari Penyakit yang Sering Menjadi Uzur

Kalangan madzhab Hanafiyah dan Hanabilah menetapkan syarat bahwa imam itu hendaknya tidak tertimpa penyakit yang menyebabkan seseorang sering batal shalatnya seperti mimisan, sering buang angin dan buang air kecil.[19]

Dalilnya adalah sebuah hadits, Rasulullah pernah berkata kepada mereka yang tertimpa udzur ini dengan sabdanya :

‌صَلَّى ‌بأصحابِه ‌في ‌المَطَرِ ‌بالإِيماء

“Pimpinlah shalat teman-temannya yang memiliki udzur seperti itu dengan isyarat.” (HR. Tirmidzi)

Sedangkan madzab Maliki hanya memandang makruh sedangkan Syafi’i menganggap sah bermakmum kepada mereka yang tertimpa penyakit seperti itu.[20]

3. Adil

Kalangan madzhab Hanbali menetapkan bahwa syarat sahnya seorang imam adalah orang yang adil. Pengertian adil di sini adalah dikenal bukan sebagai orang fasiq, yakni yang menampakkan dosa besar seara terang-terangan. Dalam madzhab ini, jika seseorang bermakmum kepada orang fasiq, maka ia wajib mengulang shalatnya kecuali shalat Jum’at dan hari raya.[21]

Sedangkan mayoritas ulama hanya memandang makruh berimam kepada orang yang fasiq alias tetap sah shalatnya.[22]

4. Mampu Menunaikan Rukun-Rukun Shalat

Disyaratkan bagi imam untuk mampu menyempurnakan rukun-rukun shalat, terutama jika ia mengimami orang yang sehat. Maka, seseorang yang shalat dengan isyarat saat ruku’ atau sujud tidak sah menjadi imam bagi mereka yang mampu melaksanakan ruku’ dan sujud secara sempurna menurut mayoritas ulama (Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah). [23]

Berbeda dengan kalangan madzhab Syafi'iyah yang memperbolehkan hal tersebut dengan menganalogikan pada sahnya imam yang berbaring atau tidur menjadi imam bagi orang yang shalat dalam keadaan duduk.[24]

Intinya para ulama berbeda pendapat tentang sahnya imam yang duduk mengimami orang yang berdiri. Malikiyah dan Hanabilah tidak membolehkannya karena dianggap membangun yang kuat di atas yang lemah. 

Namun, Hanabilah mengecualikan imam yang sakit yang diharapkan sembuh, mereka memperbolehkan kepemimpinannya, dan disunnahkan baginya jika ia tidak mampu berdiri untuk menunjuk pengganti. Jika ia shalat dengan duduk, shalat mereka tetap sah.

Sedangkan Syafi'iyah membolehkan hal ini, dan itu juga pendapat mayoritas Hanafiyah, berdasarkan hadits Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ pada akhir shalatnya bersama orang-orang, beliau shalat dalam keadaan duduk, sedangkan orang-orang di belakangnya berdiri.

Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

قد ‌ذكرنا ‌أن ‌مذهبنا ‌جواز ‌صلاة ‌القائم ‌خلف ‌القاعد العاجز وأنه لا تجوز صلاتهم وراءه قعودا

“Kami telah menyebutkan bahwa menurut mazhab kami, diperbolehkan orang yang shalat dengan berdiri mengikuti imam yang duduk karena uzur, dan tidak diperbolehkan mereka shalat di belakangnya dengan duduk."[25]

5. Berniat Menjadi Imam

Kalangan madzhab Hanabilah mensyaratkan bahwa seorang imam harus berniat menjadi imam saat memimpin shalat berjama’ah. Al imam Ibnu Qudamah al Hanbali berkata :

‌أن ‌ينوي ‌الإمام ‌أنه ‌إمام والمأموم أنه مأموم لأن الجماعة يتعلق بها أحكام وجوب الإتباع

"Imam harus berniat bahwa dirinya adalah imam, dan makmum juga harus berniat untuk menjadi makmum, karena shalat berjamaah terkait dengan hukum kewajiban mengikuti (imam)."[26]

Sedangkan ulama madzhab lainnya tidak mensyaratkan akan hal ini.[27]

Wallahu a’lam.


Oleh : K.H. Ahmad Syahrin Thoriq
Pengasuh Ponpes Subulana Kota Bontang 

_________________
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/202)
[2] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1192)
[3] At Thahawi ‘ala Muraqil Falah hal. 157, Jawahir al Iklil hal. 78, Kasyaful Qina (1/475).
[4] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1193)
[5] Al Fiqh ala Madzhab al Arba’ah (1/372)
[6] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1195)
[7] Al Fiqh ala Madzhab al Arba’ah (1/372), Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1195)
[8] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/204)
[9] Al Istidzkar (2/79)
[10] Al Muhalla bil Atsar (2/167)
[11] Muratib al Ijma hal. 27
[12] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (6/204)
[13] Al Fiqh ala Madzhab al Arba’ah (1/372)
[14] Al Fiqh ‘ala Madzhab al Arba’ah (1/375)
[15] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1195)
[16] Fiqh al Islami wa Adlillatuhu (2/1197)
[17] Al Fiqh ala Madzhab al Arba’ah (1/374)
[18] Az Zaila’i (1/140), Jawahir al Iklil (1/78), Kasyf al Qina (1/480), Fath al Qadir (1/310),
[19] Kasyf al Qina (2/560), Dur al Mukhtar (1/541)
[20] Mughni al Muhtaj (1/241), ad Dusuqi (1/330).
[21] Al Mughni (2/187),
[22] Ibnu Abidin (1/376), Qalyubi (3/227), Jawahirul Iklil (1/78),
[23] Fath al Qadir (1/220), Ibnu Abidin (1/396), ad Dusuqi (1/328), al Mughni (2/223), Kasyf al Qina (1/476).
[24] Mughni al Muhtaj (1/240).
[25] Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (4/265)
[26] Syarh al Kabir ‘ala Muqni’ (1/496)
[27] Fath al Qadir (6/207), Bulghah as Salik (1/451), Mughni al Muhtaj (2/204)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar