Topswara.com -- Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyatakan, Indonesia yang telah berdiri selama 79 tahun mengalami tantangan serius dalam hal moralitas penyelenggara negara dan kualitas kehidupan bernegara. Kondisi itu merupakan sebuah kemunduran, bukan hanya sekadar kerapuhan.
Indonesia telah mengalami kemunduran besar dengan maraknya kembali praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, mulai dari kasus BLBI hingga penggunaan jet pribadi yang kini marak diperbincangkan.
Sementara itu, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) 1988-2002 Chandra Setiawan mengungkapkan, kekhawatiran tentang maraknya pelanggaran etika dan hukum di Indonesia.
Krisis ini tidak hanya terjadi di kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi juga di level penegak hukum yang sering memutuskan perkara dengan cara yang mencederai keadilan, yaitu hukum sering tajam ke bawah tumpul ke atas (jawapos.com, 20/9/2024).
Sangat wajar, jika masyarakat termasuk para pakar dibuat resah dan gelisah atas kepemimpinan hari ini. Penguasa yang seharusnya menjalankan amanah untuk mengurusi rakyat, nyatanya justru memanfaatkan kekuasaannya untuk mengurus kebutuhan pribadi, keluarga, dan koalisinya.
Memang benar, praktik kekuasaan seperti ini bukan hanya sekadar kerapuhan malainkan sebuah kemunduran. Kondisi seperti ini niscaya terjadi dalam sistem demokrasi. Karena dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh manusia.
Konsekuensinya, hukum akan berubah-ubah sesuai kepentingan para pembuatnya, dalam hal ini adalah oleh penguasa dan pejabat jahat.
Halal dan haram tidak menjadi standar dalam penilaian perbuatan. Karena semuanya dilihat dari segi manfaat materi yang akan mereka dapatkan.
Tidak aneh apabila kemudian rakyat sering menyaksikan bahwasannya yang benar akan menjadi salah dan sebaliknya perkara yang salah akan menjadi benar. Bahkan sudah menjadi rahasia umum jika hukum di negeri ini dapat diperjualbelikan, semuanya demi uang dan keselamatan jabatan pribadi.
Sehingga sering kita lihat hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sungguh, moralitas telah diabaikan dan agama dibuang dari praktik kehidupan
Begitulah dampaknya jika masih menggunakan sistem demokrasi yang bukan berasal dari Allah Swt Sang Pencipta sekaligus pengatur seluruh alam. Sistem demokrasi lahir dari kesepakatan manusia, yaitu orang-orang Barat yang ingin memisahkan urusan negara dengan agama mereka.
Mereka menganggap agama mereka mengekang manusia, membuat manusia tidak maju dan terbelenggu dengan kegelapan. Mereka beranggapan manusia harus diberi kebebasan sebebas-bebasnya untuk membuat aturan sesuai hawa nafsu sendiri.
Jika mindset seperti ini diimplementasikan dalam sistem politik niscaya menghasilkan para pemimpin zalim yang membuat aturan hanya untuk mengurus kepentingan mereka sendiri.
Karena dengan berkuasa, mereka bisa mendapatkan fasilitas dan kemudahan segala urusan. Rakyat akan menjumpai politik oligarki yang dibangun partai politik berkuasa. Semua anak keturunananya sah ikut berkuasa karena sudah dilegalkan oleh undang-undang yang mereka buat sendiri tanpa mendengarkan pendapat rakyat.
Mereka akan terus memproduksi segala macam undang-undang yang tidak mampu menyolusi berbagai permasalahan rakyat dan negara dan juga tidak mampu memberikan rasa aman bagi tempat tinggal lingkungan masyarakat.
Kejahatan terus merajalela bahkan semakin sadis, korupsi semakin bertambah baik dari sisi jumlah pelaku dan jumlah nominalnya, terlalu banyak kasus yang harus diurus hingga sebagian besar berakhir menjadi kertas tumpukan dimeja pengadilan.
Akibatnya, kondisi masyarakat saat ini sengsaranya luar biasa, tingkat kemiskinan bertambah, tingkat kejahatan juga meningkat, tingkat pengangguran naik, masyarakat sulit mencari pekerjaan, padahal negeri ini sangat kaya akan SDA.
Rakyat menderita di negeri sendiri, seperti ayam mati di lumbung padi karena aksi pejabat jahat yang tidak amanah mengelola SDA, tapi justru loyal melayani tuannya, yaitu para oligarki untuk menguasai hajat milik rakyat
Hal tersebut wajar dalam sistem demokrasi. Karena untuk meraih kekuasaan dalam demokrasi mutlak dinilai dari suara mayoritas. Mau tidak mau, calon penguasa harus membeli suara rakyat. Di sinilah terbuka peluang kerja sama dengan para pemilik modal sebagai bentuk balas budi.
Kemudian akan ada praktik campur tangan oligarki bagi-bagi kekuasaan atau lainnya. Seandainya pun ada penguasa baik secara personal, maka dia juga akan terbentur dengan mekanisme politik yang begitu kotor.
Pilihannya hanya ada dua, yaitu dia keluar atau berkompromi dengan politik kotor tersebut yang menyebabkan dia tersandera dan membisu saat penguasa membuat undang-undang yang jelas-jelas merugikan rakyat.
Oleh karena itu, umat termasuk para ahli harus menyadari makna hakiki dari sistem demokrasi. Sistem ini memang sistem politik, namun sistem politik yang merusak dan membinasakan umat.
Satu-satunya sistem politik yang benar untuk mengatur umat adalah sistem Islam, yaitu sistem yang berasal dari Allah SWT dan langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menjadi kepala negara di Madinah. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar