Topswara.com -- Kasus kekerasan yang terjadi dalam keluarga kian sering terjadi. Anak yang disiksa oleh orang tuanya. Orang tua yang dibunuh oleh anaknya sendiri. Kakak adik yang saling berselisih hingga saling bunuh. Peristiwa tragis dalam keluarga semacam ini telah menjadi sebuah hal biasa di masyarakat.
Kita miris kala mendengar seorang ibu di Balikpapan Barat yang meninggal secara tragis karena dibunuh oleh anaknya sendiri yang diduga mengalami gangguan jiwa. Tidak kalah menyayat hati nasib seorang bocah di Pontianak yang disiksa hingga tewas oleh ibu tirinya gara-gara kesal dengan sang ayah.
Anak kecil itu menjadi pelampiasan emosi sang ibu tiri. Sementara itu di Cirebon, seorang ayah tewas di tangan putranya sendiri. Setelah membunuh ayahnya, si anak laki-laki ini juga melukai adik perempuannya.
Sungguh sangat tragis nasib keluarga hari ini. Alih-alih menjadi tempat yang aman dan membahagiakan bagi anggotanya, keluarga justru menjadi sumber derita hingga hilangnya nyawa. Keluarga yang seharusnya tempat saling berkasih sayang acapkali dinodai oleh tindak menyakiti, bahkan menghabisi. Keluarga tidak lagi menjadi tempat berlindung yang aman dan nyaman bagi seluruh anggotanya.
Persoalan ekonomi dan ketidakmampuan mengelola emosi ditengarai menjadi penyebab terjadinya kekerasan hingga pembunuhan dalam keluarga. Impitan ekonomi yang makin berat telah membuat manusia gelap mata dan hilang akal.
Manusia bisa berbuat tanpa berpikir akibatnya. Emosi telah menguasai hati hingga diluapkan begitu saja tanpa memandang ada anak, orang tua, ataupun saudara yang tersakiti.
Keluarga dalam Pusaran Materi
Memang di alam yang materialistis ini, materi menjadi dasar kehidupan. Materi menjadi alasan manusia berbuat. Hal ini merasuki seluruh sendi kehidupan, termasuk keluarga. Materi seolah lebih penting daripada hubungan darah.
Akibatnya, kasih sayang antara naggota keluarga pun makin terkikis. Hasrat berlebihan pada materi telah mematikan perasaan dan hati, bahkan kepada keluarga sendiri.
Dalam pemikiran yang dipenuhi materi, orang merasa hampa tanpanya. Tanpa materi hidup seperti tak berarti. Tak ada materi, hidup menjadi sengsara. Materi dipandang sebagai sumber kebahagiaan dan ketenangan. Ketiadaan materi membuat orang gelisah, stres, dan depresi hingga nekad berbuat apa saja.
Hubungan dalam keluarga tidak dilandasi pada kasih sayang yang tulus, melainkan karena materi. Pun ketika ada masalah, hawa nafsu yang lebih mendominasi. Akibatnya, persoalan bukannya beres malah makin bertambah.
Seperti inilah keluarga hidup dalam tatanan sekularisme. Agama sebagai panduan kehidupan tidak diterapkan. Keluarga pun berjalan sendiri dengan aturannya masing-masing hingga menimbulkan konflik kepentingan yang berujuang pada perselisihan dan penderitaan.
Pendidikan Sekuler Rapuhkan Keluarga
Mindset sekularisme juga gagal membentuk karakter manusia yang mulia. Pendidikan yang sekuler telah mencetak pribadi yang hanya berfokus pada materi, sibuk mengejar dunia, dan lupa pada akhirat.
Pendidikan yang sekuler telah membuat manusia kering ruhaninya dan jauh dari kesadaran akan keberadaan dirinya sebagai hamba Sang Pencipta. Akibatnya, manusia mudah rapuh dan hilang arah bila menemui masalah. Parahnya lagi, ia mengambil solusi yang salah karena tidak paham bagaimana mengatasi masalah secara tepat.
Pendidikan ala sekularisme mengabaikan akidah, padahal akidah ibarat fondasi. Bila fondasinya lemah, maka apa pun yang ada di atasnya tak akan mampu bertahan. Pun bila fondasinya rusak, maka semua yang di atasnya akan ikut rusak. Fondasi keluarga yang lemah, bahkan salah, hanya akan membuat penghuninya dipenuhi dengan permasalahan dan kesengsaraan.
Negara Gagal Melindungi Keluarga
Kasus kekerasan dalam keluarga yang terus meningkat dari waktu ke waktu menjadi bukti rusaknya sekularisme sebagai aturan hidup. Ini tentunya sebagai konsekuensi dari penerapan sekularisme oleh negara. Tanggung jawab terbesar dipikul oleh negara sebagai institusi tempat keluarga dan masyarakat hidup.
Negara yang seharusnya menjadi raa’in telah gagal dan justru menjerumuskan rakyatnya sendiri. Fungsi negara sebagai pelindung dan pengayom menjadi mandul. Negara tak mampu melindungi keluarga dari bahaya pemikiran sekuler dan kapitalisme. Akibatnya, keluarga pun tak bisa berfungsi dengan baik.
Keluarga Terjaga dengan Islam
Beda halnya bila Islam yang menjadi sistem kehidupan. Dengan aturan Islam yang lengkap dan komprehensif, seluruh perkara manusia diatur secara baik. Begitu pula dengan keluarga akan dibangun dengan landasan yang kokoh dari prinsip-prinsip Islam yang mulia.
Dalam Islam, keluarga tidak hanya berperan dalam pengasuhan, tetapi juga dalam pendidikan. Keluargalah tempat pendidikan pertama bagi anak-anak. Orang tua wajib mendidik anak-anaknya dengan akidah Islam sehingga menjadi pribadi yang mulia.
Keluarga juga sebagai tempat menyalurkan kasih sayang kepada anggota keluarga sebagaimana tuntunan syariat Islam. Hubungan dalam keluarga dilandasi cinta kepada Allah taala. Kasih sayang yang diberikan selalu dibingkai takwa kepada-Nya sehingga bukan nafsu atau amarah yang berbicara.
Hubungan yang makruf pun meliputi keluarga. Saling menyayangi, saling menghormati, dan saling mengingatkan pada kebaikan hingga kebahagiaan pun tercipta dalam keluarga.
Hal ini mungkin terwujud ketika negara menerapkan aturan Islam secara kaffah. Penerapan Islam secara sempurna oleh negara akan menutup segala celah yang dapat merusak keluarga. Segala pemikiran yang rusak seperti sekularisme dan kapitalisme akan dihilangkan.
Hanya nilai-nilai Islam yang menjadi panduan bagi keluarga untuk menjalani kehidupan. Dengan begitu, keluarga akan berdiri tegak di atas ketakwaan pada Sang Khalik.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Oleh. Nurcahyani
Aktivis Muslimah
0 Komentar