Topswara.com -- Pada Rapat Kerja (Raker) Komisi VII DPR yang berlangsung Senin, 26 Agustus lalu, Bahlil Lahadalia mengungkapkan rencananya untuk merevitalisasi sumur minyak yang saat ini menganggur alias tidak aktif (idle).
Strategi ini dilakukan sebagai upaya untuk menggenjot produksi minyak nasional. Dengan harapan Indonesia dapat terbebas dari impor minyak dan dapat menambah devisa negara. Dari total 44.900 sumur minyak yang ada, hanya 16.300 sumur yang masih memproduksi minyak secara aktif. Selain itu, tercatat sebanyak 16.250 sumur terkategori idle well alias tidak aktif.
Melihat keterbatasan modal dan kompleksnya tata kelola revitalisasi, Bahlil pun memiliki rencana untuk menawarkan proyek ini kepada investor, entah investor dalam maupun luar negeri. "Ada kurang lebih 5 ribu sumur yang bisa dioptimalkan.
Ini gak dilakukan kita bikin lagi seperti mazhab IUP, ini kan punya negara pengelolaan ke KKKS yang atau BUMN. Mendingan kita buka untuk swasta nasional atau swasta asing yang mengelola sumur ini dengan target pendapatan negara.
Target pendapatan negara kita 600 ribu barel (per hari) sama dengan US$ 12 miliar”, ujar Menteri ESDM yang baru dilantik tersebut. (CNBC Indonesia, 26 Agustus 2014)
Investasi, Fokus Tujuan atau Demi Cuan?
Keputusan revitalisasi sumur minyak ini tentu sangatlah cemerlang, mengingat Indonesia adalah negara yang sumber daya migasnya melimpah dan harus dioptimalkan potensi besarnya. Namun jika dilihat dari strategi, ada baiknya kita meninjau ulang fokus dan tujuan sebenarnya dari rencana proyek reaktivasi ini.
Pengelolaan sumber daya alam memang memerlukan modal yang besar. Meskipun dana revitalisasi tidak sebesar memulai eksplorasi dari awal, dana dan waktu yang harus dikerahkan tetaplah besar. Di era liberalisasi ekonomi seperti ini, peranan badan usaha atau swasta menjadi satu hal yang penting dalam pembangunan ekonomi negara.
Atas nama menggerakkan roda perekonomian, pintu investasi pun dibuka besar-besaran. Hal tersebut diharapkan dapat mengcover sisa kebutuhan pembangunan negara, mempercepat, dan pastinya mendatangkan mutualisme alias saling menguntungkan satu sama lain antara pihak swasta dan pemerintah.
Maka tidak heran jika kedepannya proyek-proyek seperti revitalisasi minyak akan terus bersandar pada investasi swasta maupun asing. Keyakinan ini sejalan dengan sistem kapitalisme-liberal yang diterapkan hampir di seluruh dunia hari ini.
Sekilas, investasi memang memberi keuntungan, namun kerugiannya pun tak kalah riskan. Bahkan tak jarang, investasi dijadikan sebagai alat berkuasa oleh pihak investor, belum lagi resiko inflasi, perubahan kurs, sentimen pasar, suku bunga, dan masih banyak lagi.
Pengelolaan Sumber Daya Minyak dalam Islam
Berbeda dengan solusi investasi yang ditawarkan di atas, Islam memiliki sistem pengaturan yang komprehensif terkait pengelolaan sumber daya alam, termasuk minyak. Pengaturan ekonomi dalam Islam didasarkan pada tiga prinsip kepemilikan harta, yakni kepemilikan individu, umum, dan negara.
Berdasarkan hal ini, sumur minyak merupakan kepemilikan umum yang artinya seluruh masyarakat memiliki hak untuk menikmati hasil dari pengolahan minyak tersebut. Dalam hal ini, pengelolaan kepemilikan umum diserahkan sepenuhnya kepada negara, mulai dari eksplorasi hingga distribusi sampai ke tangan rakyat.
Atas dasar tersebut, revitalisasi sumur minyak tidak boleh diserahkan kepada swasta/asing atau bahkan individu.
Rasulullah SAW bersabda
“Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yaitu air, padang, dan api.” (HR Abu Dawud).
Illat kepemilikan dari hadis di atas adalah sesuatu yang jumlah/depositonya besar (bagaikan air yang mengalir). Api, dalam hal ini sumber daya energi (minyak bumi, gas alam, batu bara, nuklir, geotermal), termasuk hasil bumi yang depositonya besar dan melimpah sehingga aktivitas industri tambang merupakan industri milik umum/umat.
Maka dari itu, dalam sisem ekonomi Islam, segala industri yang bergerak di sektor kepemilikan umum haruslah berupa BUMN. Keterlibatan pihak swasta dalam kepemilikan industri umum tidaklah diperkenankan.
Mengenai hal ini, swasta hanya boleh dilibatkan dalam konteks ijarah (kontrak kerja) saja. BUMN boleh mengontrak swasta/asing untuk melakukan pekerjaan dalam kontrak, bukan memiliki hasil produksi industri. Misalnya, BUMN mengontrak swasta untuk mengebor batu bara yang selanjutnya dibayar untuk pekerjaan tersebut.
Hal yang sama berlaku juga pada pendanaan modal, di mana wewenang dan kewajibannya dilimpahkan kepada negara. Konsekuensinya, swasta nasional maupun asing dilarang ikut campur dalam pemberian dana di industri kepemilikan umum.
Dalam hal ini, negara memiliki anggaran khusus dan independen yang berasal dari Baitul Mal. Segala jenis invesatasi dan bentuk kerjasama dengan pihak swasta tidak boleh dilakukan dalam pendanaan industri di sektor kepemilikan umum.
Begitupun hasil produksi dari industri tersebut, nantinya akan dikelola dan dimanfaatkan untuk kebutuhan umat secara gratis dan keseluruhan.
Sungguh kontras perbedaan tata kelola SDA dalam Kapitalisme dan Islam. Terlihat jelas sistem mana yang memang murni ingin menyejahterakan rakyatnya, dan sistem mana yang fokus memperhatikan aspek keuntungan materi semata.
Sampai kapan pun, hanya sistem yang berasal dari Allah-lah yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia, dan semoga sistem tersebut dapat segera tegak kembali di muka bumi ini, secepat dan setepat mungkin.
Wallahu a’lam bisshawwab.
Oleh: Janitra A.
Aktivis Muslimah
Referensi : Ernawati. Komparasi Pengelolaan Migas dalam Sistem Ekonomi Kapitalisme dan Islam. Muslimah News [Online] Available at: https://muslimahnews.net/2024/06/16/30239/
0 Komentar