Topswara.com -- Program makan siang gratis tentu menjadi isu menarik saat pertama kali diwacanakan sebagai program unggulan salah satu paslon. Dan sekarang ketika sang paslon telah menjadi presiden dan wakil presiden terpilih tentu program ini harus terealisir.
Program makan siang gratis yang sekarang berganti menjadi program makan bergizi gratis (MBG) rencana akan diberlakukan pada 2 Januari 2025.
Pemerintah menargetkan jumlah penerima MBG sebanyak 15,42 juta jiwa yang terdiri dari anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita di 514 kabupaten/kota. Dalam program ini, makanan yang disediakan mengikuti standar kecukupan gizi yang ditetapkan, termasuk protein, vitamin, mineral, dan energi.
Bagi rakyat kecil program ini tentu disambut suka cita. Karena paling tidak meringankan sedikit tugas para ibu untuk menyiapkan bekal bagi putra-putrinya. Atau bagi para ibu hamil sedikit menambah asupan gizi mereka.
Namun bagi sebagian kalangan yang mengamati program pemerintah dengan lebih cermat, tentu akan berpikir dari mana sumber anggaran untuk membiayai program ini ? Penguasa sekarang saja sudah morat-marit menjalankan kebijakannya, apalagi jika presiden dan wakil presiden terpilih akan mewujudkan program barunya yaitu makan siang gratis.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa anggaran program makan siang gratis akan diambil dari pengalihan dana subsidi BBM. Padahal ketika subsidi BBM dicabut atau dialihkan, efek multipliernya akan mengakibatkan harga-harga naik.
Kekhawatiran lain menyebutkan jika dana pengalihan subsidi BBM belum mencukupi untuk biaya makan siang gratis, pemerintah akan menambah utang atau menaikkan pajak. Lagi-lagi ini beban buat masyarakat jika pajak dinaikkan. Dengan beban pajak yang sekarang saja masyarakat sudah sangat tercekik, apalagi jika dinaikkan.
Sumber lain menyebutkan bahwa program makan siang gratis diambil dari sumber dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tentu ini mendatangkan kritikan dari para praktisi pendidikan. Karena jika diambilkan dari dana BOS tentu akan mengurangi pembagian alokasi dana komponen lainnya yang dibiayai oleh BOS selama ini.
Padahal dana BOS di alokasikan untuk kesejahteraan guru honorer, pengembangan ekstrakurikuler, pengembangan sarana dan prasarana sekolah, dan lain-lain yang tentunya sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan pendidikan nasional.
Solusi Instan
Program MBG tentu harus dikaji ulang untuk menjadi solusi atas persoalan yang terjadi di negeri ini. Jika berangkat dari problem stunting yang ingin diatasi maka cukupkah hanya dengan pemberian makan bergizi gratis? Atau jika ingin mewujudkan SDM yang berkualitas melalui pemenuhan gizi generasi, maka apakah makan bergizi gratis mampu menjadi solusi?
Jika benar program ini ingin mengatasi kasus stunting, bisa kita cermati seperti apa realitas kasus stunting itu. Bahwa kasus stunting merupakan masalah kegagalan pertumbuhan akibat nutrisi yang tidak cukup atau kurang pada anak.
Periode krusial pemenuhan nutrisi pada anak dimulai dari masa kehamilan sampai anak usia 24 bulan. Sehingga upaya tepat untuk menyelesaikannya adalah dengan memberikan asupan gizi pada anak. Dan ini harus dimulai saat anak dalam kandungan hingga ketika lahir kelak.
Maka seorang ibu harus paham masalah gizi seimbang agar tidak sekadarnya menyediakan makanan untuk dirinya dan keluarga. Protein hewani wajib tersedia, misalnya.
Namun pemahaman masalah gizi seimbang pun tidak cukup, jika daya beli tidak ada pada keluarga-keluarga di Indonesia, terutama mereka yang termasuk kelas ekonomi menengah ke bawah.
Penghasilan yang terbatas sudah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk pendidikan dan kesehatan. Akhirnya, mereka kesulitan menyajikan makanan gizi seimbang. Alih-alih menyediakan makanan bergizi, bisa makan sehari-hari saja sudah bersyukur.
Jika bantuan ini diberikan kepada ibu hamil, berupa susu misalnya, apakah cukup memenuhi asupan gizi seimbang untuk ibu hamil? sementara lauk dan sayur yang di konsumsi sehari-hari seadanya saja. Tentu solusi yang tak sampai pada akarnya.
Kemudian jika program ini diperuntukkan kepada anak sekolah, apakah cukup memenuhi asupan gizi harian mereka? Apalagi terdengar isu adanya pemotongan anggaran makan siang gratis dari Rp15 ribu menjadi Rp7.500 per porsi atau separuhnya. Banyak pihak mempertanyakan apakah dengan nominal sekian mampu mencukupi gizi seimbang?
Belum lagi perubahan kebijakan mengganti susu sapi dengan susu ikan secara tidak langsung telah memberi kesempatan bagi korporasi untuk meraup keuntungan.
Saat ini tidak banyak industri dalam negeri yang memproduksi bubuk HPI (susu ikan) sehingga ada peluang bagi industri susu atau penyedia pangan dari luar negeri untuk melakukan investasi di Indonesia, seperti Jepang dan Australia yang merespons positif program ini. Belumlah diberlakukan resmi, namun program ini sedikit banyak sudah di ubah-ubah.
Maka pemberian makan bergizi gratis hakikatnya tidak menyentuh pada akar masalah, lebih menyolusi di permukaan saja. Akar masalah yang sesungguhnya tetaplah ada.
Biang Masalah
Maka akar masalah dari kasus stunting atau buruknya kualitas SDM adalah kemiskinan yang sistemis. Mengapa sistemis? karena sistem saat inilah yang justru “memproduksi” kemiskinan itu sendiri. Kebijakan-kebijakan yang lahir membuat SDA dikuasai swasta/asing. Alhasil, hanya tersisa sedikit SDA untuk dikelola anak bangsa.
Meski ada upaya menanggulangi kemiskinan namun nyatanya upaya tersebut hanyalah pemberian BLT, melakukan seminar-seminar, kredit usaha, dan lainnya, padahal upaya-upaya itu merupakan tambal sulam saja.
Solusi Tuntas
Jika ingin problem ini tersolusi, maka harus secara mendasar, yaitu penyelesaian multidimensi.
Pertama, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Negara memberi kemudahan setiap kepala keluarga mencari nafkah melalui kebijakan yang memberi akses seluas-luasnya untuk mendapat pekerjaan. Sehingga para ayah tidak akan merasa waswas mencukupi kebutuhan pokok keluarganya.
Tercukupinya nafkah memungkinkan bagi keluarga mendapat asupan gizi dan nutrisi yang cukup, khususnya ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Mereka juga tidak akan kesulitan mengakses makanan bergizi yang harganya mahal, seperti sayuran dan buah-buahan. Negara juga menjamin distribusi bahan pangan merata, sehingga harga pangan menjadi murah.
Kedua, negara menyediakan infrastruktur kesehatan yang memadai bagi seluruh warga. Tidak boleh ada pembatasan akses layanan kesehatan bagi siapa pun. Orang kaya maupun miskin berhak terjamin akan kesehatannya, terutama ibu hamil dan balita.
Ketiga, negara memberikan edukasi terkait gizi pada masyarakat. Edukasi ini dapat berjalan efektif manakala faktor yang menjadi sebab terbatasnya akses makanan bergizi, seperti kemiskinan dapat terselesaikan dengan dua peran negara yang telah disebutkan sebelumnya.
Jika negara menjamin pemenuhan pendidikan untuk seluruh warga, masyarakat akan memiliki kepekaan literasi dan mampu mencerap edukasi yang diberikan. Peningkatan SDM melalui layanan pendidikan untuk seluruh lapisan masyarakat sangat penting bagi keberlangsungan dan masa depan sebuah bangsa.
Jika orientasi masih untung-rugi, masih minim dari melayani rakyat maka jangan harap negeri ini mampu mengatasi problem krusialnya. Maka solusi-solusi di atas hanya bisa terealisasi manakala sistem pemerintahan berorientasi pada pelayanan kepada rakyat, yaitu dengan menerapkan Islam secara kaffah. []
Oleh: Sari Diah Hastuti
(Aktivis Muslimah di Yogyakarta)
0 Komentar